Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 – Pendakian yang Katanya Biasa Saja
Namaku Raka, umur dua puluh satu tahun, dan sejak awal aku sudah ngerasa pendakian kali ini nggak bakal sesederhana yang dibilang Dimas.
“Tenang aja, Ka. Gunung Arunika itu ramah pemula,” kata Dimas waktu kami nongkrong di warung kopi dekat kampus, dua minggu sebelum keberangkatan. “Paling capek doang. View bagus, jalur jelas, basecamp rapi. Aman.”
Sekarang, berdiri di depan gerbang kayu bertuliskan “SELAMAT DATANG DI GUNUNG ARUNIKA” dengan huruf putih yang mulai pudar, aku nggak yakin lagi sama kata-kata itu.
Angin dingin turun dari lereng, bawa bau tanah basah dan sedikit asap kayu dari warung-warung kecil di sekitar basecamp. Matahari sudah miring, kuning keemasan, tapi suasana di sini terasa aneh. Terlalu sepi untuk ukuran akhir pekan.
“Biasanya rame, lho,” celoteh Sari sambil merapatkan jaket gunung warna merahnya. Nafasnya sudah mulai kelihatan tipis di udara. “Kok cuma kita doang ya?”
“Udah sore, mungkin pada udah naik duluan,” sahut Arif, cuek. Dia sibuk ngecek ulang carabiner di tas, padahal dia bukan pemandu dan nggak ada yang minta dia jadi teknisi perlengkapan.
Lintang, yang dari tadi banyak diam, hanya melirik ke arah pos pendaftaran. “Atau… mungkin orang-orang emang lagi nggak mau naik,” gumamnya pelan.
Aku mengikuti arah tatapannya. Di depan pos, ada papan pengumuman kayu dengan beberapa kertas yang ditempel pakai paku kecil. Satu di antaranya paling baru, kertas putih yang tepinya masih rapi. Di bagian atasnya, huruf kapital hitam:
> PENGUMUMAN:
UNTUK SEMENTARA, DIHARAPKAN PENDAKI MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI SEBELUM MENDAKI GUNUNG ARUNIKA.
Di bawahnya ada penjelasan tentang kondisi cuaca yang tidak stabil, kabut tebal, dan “insiden” yang sedang diselidiki pihak berwenang. Kata insiden itu nggak dijelasin lebih jauh.
“‘Mempertimbangkan kembali’ tuh maksudnya apa?” tanyaku. “Kalau bahaya ya ditutup sekalian, kenapa pake bahasa halus gini?”
Dimas, yang dari tadi sibuk isi formulir pendaftaran pendakian, cuma nyengir. “Biasalah, birokrasi. Santai, mereka aja masih buka jalur. Kalau bener-bener berbahaya udah dipalang dari bawah, Ka.”
Aku mendengus pelan, tapi tetap ikut maju ke loket. Di balik kaca, bapak-bapak berseragam oranye, mungkin petugas relawan gunung, menatap kami satu per satu. Ada kerutan kekhawatiran di wajahnya yang nggak hilang walau dia mencoba tersenyum.
“Kalian berlima?” tanya beliau.
“Berempat, Pak,” jawab Dimas. “Saya Dimas, ini Raka, Sari, sama Arif. Lintang nyusul bentar lagi, lagi ke toilet.”
“Berempat atau berlima?” tanyanya lagi, agak menekankan.
“Lima, Pak,” sahut Lintang tiba-tiba dari belakang kami. Dia muncul sambil menenteng jaket yang belum dipakai, rambutnya masih sedikit basah entah karena cuci muka atau keringat. “Maaf, Pak. Tadi saya ketinggalan.”
Petugas itu mengangguk pelan, tapi matanya memperhatikan kami dengan cermat, seperti lagi menghitung sesuatu yang penting. “Baik. Pastikan jumlah anggota kelompok nggak berubah, ya. Yang naik lima, yang turun juga harus lima.”
Nada bicaranya datar, tapi kata-katanya bikin tengkukku merinding entah kenapa.
“Emang pernah ada yang nggak turun, Pak?” tanya Arif, setengah bercanda.
Petugas itu tidak langsung menjawab. Dia menatap Arif cukup lama, lalu mengalihkan pandangan ke buku catatan di depannya.
“Gunung bukan tempat buat bercanda,” katanya akhirnya. “Tanda tangan di sini. Baca dulu aturannya.”
Dimas nyengir kecut dan cepat-cepat ambil bolpen. Kami ikut tanda tangan satu per satu. Di bagian bawah formulir ada tulisan kecil: Pihak pengelola tidak bertanggung jawab atas kehilangan jiwa dan harta benda. Klise, tapi tiba-tiba terasa sangat serius.
---
Setelah urusan administrasi selesai, kami istirahat sebentar di depan warung. Penjualnya, seorang ibu-ibu dengan kerudung cokelat dan tangan yang cekatan meracik mi instan, sesekali melirik ke arah kami.
“Lho, Bu, sepi amat. Biasanya kan kalau weekend rame,” kata Sari sambil meniup sendok mi panas.
Ibu itu hanya mengangkat bahu. “Belakangan ini orang-orang pada milih gunung lain, Mbak.”
“Karena cuaca, Bu?” tanyaku ragu. “Atau… karena insiden yang di papan itu?”
Ibu itu berhenti mengaduk panci sebentar. Sorot matanya berubah lebih hati-hati.
“Udah baca, ya?” katanya pelan. “Ya… gitu deh. Katanya kemarin ada rombongan hilang. Sampai sekarang belum ketemu.”
Sari yang tadinya lahap langsung berhenti mengunyah. “Hilang gimana, Bu? Tersesat atau… jatuh?”
Ibu itu seolah menimbang-nimbang apa perlu cerita atau nggak. Akhirnya dia mendekat, suaranya diturunin.
“Katanya sih, mereka naik bertujuh. Turun cuma tiga. Tiga orang lagi katanya pulang duluan. Satunya entah kemana. Tapi pas dicek… di pos ini cuma ada nama enam orang di buku. Yang satu lagi nggak ke-registrasi sama sekali.”
Aku merinding. “Maksudnya… ada satu orang yang naik bareng mereka, tapi bukan pendaki resmi?”
Ibu itu mengangkat alis. “Kalau saya sih mikirnya gitu. Tapi orang kampung sini bilang lain.”
Dia menunduk, berbisik, “Katanya, gunung nambah ‘tamu’. Tamu yang nggak pernah balik.”
Dimas tertawa, sedikit terlalu keras. “Ah, Bu. Bikin merinding aja. Pasti cuma kabar simpang siur, ya kan. Orang hilang kan berarti lagi dicari. Ada logikanya.”
Tawa Dimas menggantung di udara, nggak ada yang ikut.
Lintang menatap mi-nya yang sudah mulai menggumpal. “Udah jelas-jelas ada pengumuman gitu, Dim.”
“Ya kalau pada takut, kita bisa pulang,” jawab Dimas, tiba-tiba nada suaranya jadi agak defensif. “Tapi kita udah latihan fisik, pinjem perlengkapan, cuti kuliah sehari. Masa mau batal cuma karena cerita yang nggak jelas sumbernya?”
Arif menepuk bahu Dimas. “Tenang, Kapten. Gue ikut aja. Lagian, bukannya makin menantang ya?”
Sari menghela napas panjang. “Aku juga masih mau naik. Tapi jangan pada sok jago, ya. Kalau cuaca nggak enak, kita turun.”
Semua menoleh ke aku, seolah menunggu keputusan terakhir.
Aku melirik ke arah lereng gunung yang puncaknya tertutup kabut, garis hutan pinus seperti tembok gelap menjulang di belakang basecamp. Dari jauh terdengar suara azan magrib, sayup-sayup bercampur suara serangga.
Rasanya… nggak enak. Tapi aku juga tahu, kalau aku bilang nggak jadi, Dimas bakal kepikiran terus, dan mungkin kami nggak akan pernah naik gunung bareng lagi. Pendakian ini semacam janji kecil di antara kami sebelum masing-masing sibuk skripsi.
“Ya sudah,” kataku akhirnya. “Kita naik. Tapi jangan maksa kalau ada yang aneh. Setuju?”
“Setuju,” jawab mereka hampir bersamaan.
Hanya Lintang yang suaranya paling pelan.
---
Kami mulai mendaki lewat jalur resmi sekitar pukul lima sore lewat sedikit. Petugas tadi sempat mengingatkan lagi supaya kami nge-camp di pos dua saja, jangan maksa sampai pos tiga karena kabut malam sering turun cepat.
“Jalur sampai pos dua aman,” katanya. “Jangan lewat jam sembilan masih di hutan. Kalau jam sembilan belum nemu pos, balik.”
Dimas mengangguk, tapi aku sempat nangkap ekspresi seolah dia ngerasa diremehkan.
Langkah pertama meninggalkan basecamp selalu jadi bagian favoritku: suara kerikil di bawah sepatu, bunyi gesekan carrier, dan rasa antusias yang belum dicampur capek. Kami menyusuri jalan setapak yang awalnya masih lebar, lewat kebun warga, beberapa kali disalip anjing kampung yang berlari bebas.
Perlahan, rumah-rumah makin jarang, digantikan pepohonan tinggi. Udara makin dingin. Matahari tenggelam di balik punggungan, meninggalkan langit yang berangsur jingga tua.
“Eh, kalian sadar nggak dari tadi kita nggak ketemu rombongan lain?” bisik Sari setelah sekitar setengah jam jalan.
“Kan enak, sepi,” jawab Arif. “Berasa gunung pribadi.”
Aku melirik ke jejak tanah di depan. Jalurnya memang jelas, tapi terasa seperti belum banyak dilewati hari ini. Daun-daun kering masih utuh, nggak banyak yang terinjak.
“Biasanya jalur populer gini tanahnya becek, keinjek terus,” kataku. “Ini kok…”
“Udah, Ka. Kebanyakan nonton channel horor kamu,” Dimas memotong. Dia berjalan paling depan, headlamp sudah dipasang meski langit masih samar-samar terang. “Fokus napas dulu. Ntar ngos-ngosan, nyalahinnya medan.”
Aku ingin membalas, tapi suara sesuatu dari arah kanan bikin langkahku terhenti. Seperti ranting yang diinjak, krek, jelas sekali. Bukan dari kami; jaraknya agak jauh di balik semak.
Lintang juga berhenti. “Kalian dengar?”
Sari merapat ke dekatku. “Apa itu?”
Kami semua diam. Hanya suara angin yang menyusuri dedaunan, dan detak jantungku sendiri yang mendadak terasa keras di telinga.
“Paling kucing hutan atau apa,” Arif berkata, tapi nadanya terdengar ragu. “Atau pendaki lain.”
Dimas menoleh ke kami, kelihatan sedikit kesal. “Kalau pendaki lain ya bagus. Jangan panik tiap denger suara. Kita di hutan, bukan di mall.”
Meski begitu, aku perhatikan langkah Dimas setelah itu jadi sedikit lebih cepat, seolah ingin buru-buru lewat area itu.
Beberapa menit kemudian, suara itu terdengar lagi. Bukan ranting, lebih mirip langkah pelan di tanah lembut. Tap… tap… tap… lalu berhenti begitu kami berhenti.
“Dim,” panggilku pelan. “Lu yakin kita cuma berlima?”
Dimas berhenti dan mendudukkan carrier-nya di tanah. “Maksud lu?”
“Kayak ada yang ngikutin dari tadi,” bisikku, berusaha supaya Sari nggak panik. Tapi sudah terlambat; wajahnya pucat.
Lintang menyalakan headlampnya meski langit belum gelap total, lalu menyorotkan cahaya ke sisi kanan jalur. Hanya semak-semak dan pohon-pohon kurus. Tidak ada apa-apa.
“Kalau ada yang ngikut, pasti kelihatan refleksi dari mata hewan atau apa,” kata Lintang, terdengar sok yakin padahal tangannya sedikit gemetar.
Arif mencoba tertawa. “Jangan-jangan ada fans lu, Ka, ngikutin sampai atas.”
“Bisa diem nggak, Rif?” Sari menggerutu.
Kami memutuskan untuk terus jalan. Langit berganti dari jingga ke ungu gelap. Aroma tanah lembap makin kuat, bercampur bau keringat dan napas kami sendiri. Lampu kota di kejauhan mulai tampak sebagai noktah oranye kecil.
Di tengah-tengah jalur yang mulai menanjak tajam, Dimas tiba-tiba berhenti lagi.
“Kenapa?” tanyaku, ngos-ngosan.
Dia menunjuk ke tanah di depan. Di sana ada jejak sepatu bot yang jelas, masih baru. Bukan jejak kami, karena arahnya menurun.
“Berarti ada yang udah turun duluan,” kata Arif, lega. “Tuh kan, nggak cuma kita di gunung ini.”
Tapi di samping jejak itu, ada sesuatu yang lain.
Jejak kaki. Telanjang. Kecil, seperti kaki anak-anak, tapi panjang jari-jarinya nggak wajar. Jejak itu basah, seolah pemiliknya berjalan di atas tanah yang baru saja diguyur hujan, padahal jalur di sekeliling kering.
Jejak itu menyalip jejak sepatu bot, kadang di samping, kadang di depan. Lalu menghilang begitu saja di antara akar pohon.
Sari menutup mulutnya. “Anak kecil mana yang… naik gunung malam-malam gini tanpa alas kaki?”
Nggak ada yang menjawab.
Angin tiba-tiba berembus lebih kencang, mengayunkan pucuk-pucuk pohon. Dari kejauhan, terdengar suara seperti peluit ditiup, panjang dan melengking, lalu putus di tengah.
“Dim,” kataku pelan, “kalau lu mau balik sekarang, gue nggak bakal protes.”
Dimas menatap jejak itu sekilas, lalu menegakkan bahunya. Sorot matanya keras, tapi aku bisa lihat ada keraguan tipis di sana.
“Kita udah sejauh ini,” katanya. “Pos satu sebentar lagi. Kita istirahat di sana, kalau kalian masih mau turun setelah itu… kita ngobrol lagi. Setuju?”
Tidak ada jawaban lantang, tapi kami kembali melangkah.
Yang aneh, setelah itu, suara langkah yang tadi kami dengar menghilang. Tapi perasaan diawasi seolah menempel di tengkuk. Setiap kali aku menoleh ke belakang, cuma ada jalan setapak kosong yang memanjang turun, diselimuti bayangan pohon.
Sampai akhirnya, di tengah kegelapan yang mulai menelan hutan, aku mendengar suara pelan di telingaku sendiri. Bukan dari luar, melainkan seperti dari dalam kepala.
“Yang naik lima… yang turun belum tentu.”
Aku berhenti mendadak. Nafasku tercekat.
“Ka? Kenapa?” Sari menabrak punggungku pelan.
Aku menelan ludah, mencoba tersenyum seolah nggak terjadi apa-apa.
“Gak apa-apa,” kataku. “Cuma keinget kata-kata Pak petugas tadi.”
Dalam hati, aku tahu satu hal: pendakian ini memang bukan pendakian biasa. Dan mungkin, bukan semua dari kami yang bakal pulang dalam keadaan sama seperti saat berangkat.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor