Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selembar Kerudung dan Salib yang Terpisah
Indira Safitri menarik napas panjang, bau buku-buku lama bercampur pendingin ruangan menyambutnya di lorong perpustakaan. Rasanya baru kemarin ia dan Revan menghabiskan waktu di lantai yang sama, membaca buku yang sama, di kampus yang sama. Sekarang, jarak yang memisahkan mereka bukan hanya lorong, melainkan jurang.
“Galau, ‘kan? Baru kutinggal sebentar sudah langsung mode termenung.”
Suara renyah itu milik Neli, yang baru saja meletakkan dua gelas es teh di meja. Di sampingnya, Imel menimpali sambil membuka laptop.
“Jangan begitu, Nel. Sudah tiga bulan mereka beda kampus. Wajar kalau Indira masih terasa aneh.” Imel menatapku penuh empati. “Kamu baik-baik saja, Ra?”
Aku tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja. Hanya ... merasa aneh saja. Dulu, jika aku mendongak, aku pasti melihat Revan sedang membaca di salah satu sudut sana. Sekarang, jika aku mendongak, aku hanya melihat langit-langit."
Neli menyikut lenganku pelan. “Revan Elias Nugraha itu cuma pindah kampus, bukan pindah planet. Dia di kampus Kristen sana, kamu di sini. Kalian hanya butuh waktu check-in lebih banyak.”
"Justru itu masalahnya, Nel," gumamku, memejamkan mata sebentar. "Sebelum dia pindah, semuanya terasa mudah. Sekarang, jarak fisik kami tidak seberapa dibandingkan jarak lain yang memisahkan."
Imel, yang selalu paling peka, menutup laptopnya. “Kamu memikirkan batasan agama itu lagi, Ra?”
Aku mengangguk. Sejak Revan memilih jalannya, sejak salib perak itu tergantung jelas di lehernya, hubungan kami berubah, terasa lebih murni dan lebih menyakitkan.
Sore itu, ponselku bergetar dengan panggilan video. Wajah Revan memenuhi layar. Ia tersenyum, senyum andalannya yang selalu terasa seperti rumah.
"Kenapa melamun? Keningmu berkerut, Indira Safitri," tanyanya lembut.
"Tidak ada. Hanya selesai ujian akhir mata kuliah Pengantar Filsafat," balasku, berusaha bersikap ceria.
"Dan kamu pasti menjawab semua soal dengan benar. Aku tahu itu." Ia tertawa kecil. Tiba-tiba Revan mencondongkan wajahnya, seolah ingin menciumku, tetapi ia berhenti. Ekspresinya berubah serius.
"Aku tahu, kamu masih memikirkan batasan itu, bukan?"
Aku terdiam. Revan selalu tahu. Itu yang membuatku semakin mencintainya dan semakin merasa bersalah.
"Aku tidak bisa bohong, Van. Aku tidak tahu harus bagaimana dengan hati ini. Cara kamu memperlakukanku ... itu membuatku semakin mengagumi kamu, semakin ingin terus bersama kamu. Tapi... " Aku menghela napas, menunjuk kerudung di kepalaku.
Revan menatapku, tatapan matanya tulus tanpa sedikit pun nafsu yang sering kulihat pada laki-laki lain. Dia memahami. Dia menghormati. Kehangatannya terasa nyata, tetapi tidak pernah melewati garis haram.
"Indira, dengarkan aku baik-baik," katanya, suaranya pelan dan penuh keyakinan. "Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu."
Kata-kata itu membuat tenggorokanku tercekat.
"Dan aku juga ada di posisi untukmu," lanjut Revan. Ia berhenti sebentar, matanya menatap lekat ke mataku, menyampaikan makna yang jauh lebih dalam daripada kata-kata. "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Aku menangis, bukan karena marah, melainkan karena perih yang tak terperi. Betapa ironisnya, orang yang kini memeluk keyakinan berbeda justru yang paling menghormati imanku.
"Aku takut, Van. Batasanmu itu indah, tapi ia juga yang memenjarakan kita," bisikku.
Revan hanya tersenyum samar. "Justru di dalam batasan itu, kasih kita menjadi murni, Indira.
Murni, seperti kasih Tuhan yang selalu mengasihi tanpa syarat. Lakukan segalanya dengan cinta," tutupnya, mengutip prinsip yang selalu ia pegang sejak memeluk keyakinan barunya.
Aku tahu, itu adalah janji Revan. Tapi bagi Indira, itu adalah Garis Batas Keyakinan yang ia tak tahu apakah sanggup untuk melangkahinya.