Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.
Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.
Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.
Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.
Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.
Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.
memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.
Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reany Bagian 1
...Keputusan Reani...
...****************...
Malam itu seharusnya menjadi malam penobatan bagi Reani Wijaya.
Malam perayaan atas sebuah perusahaan yang Juna dan dia bangun dari nol, tujuh tahun lalu. Malam pengakuan.
Lampu kristal bergantung di langit-langit ballroom hotel mewah, memantulkan cahaya yang berkilau di gaun-gaun mahal dan gelas sampanye.
Kilauan itu terasa seperti ironi tajam yang menusuk mata Reani, karena semua kemewahan ini dibayar dengan penantiannya yang sia-sia.
Musik waltz yang lembut mengalun, tawa para tamu bersahutan, dan di tengah keramaian itu—Juna Airlangga berdiri di atas panggung kecil, memegang mikrofon, dengan senyum yang dulu hanya ia tunjukkan pada Reani saat mereka berdua.
Malam ini, senyum itu milik semua orang.
Ia tampak sempurna malam itu.
Setelan hitamnya adalah rancangan desainer pilihan Reani. Dasi yang terikat tanpa cela itu, Reani yang menyetrikanya sendiri pagi tadi.
Dan di sampingnya berdiri seorang wanita dengan gaun merah burgundy yang memeluk lekuk tubuhnya dengan anggun—Renata.
Cinta pertama Juna.
Wanita yang dulu hanya menjadi cerita menyakitkan di masa lalu, kini nyata di hadapan Reani—dan ironisnya, berdiri di tempat yang selama ini ia impikan: di sisi Juna, di bawah cahaya terang.
“Terima kasih sudah datang malam ini,” suara Juna menggema, suaranya yang selama tujuh tahun menjadi mantra pribadi Reani.
“Dan terima kasih khusus…”
Ia berhenti sejenak, tatapannya menyapu ruangan, tapi tak pernah berhenti di tempat Reani berdiri.
“Terima kasih untuk seseorang yang telah kembali dari luar negeri, yang telah menjadi inspirasi terbesar saya sejak dulu, dan yang rela hadir malam ini—Renata Anggraini.”
Reani mencengkeram erat gelas sampanye, sendi jemarinya memutih.
Inspirasi terbesar?
Tujuh tahun Reani bekerja seperti bayangan di belakang Juna—merancang strategi, menambal krisis, menenangkan investor yang marah, mengurus detail operasional hingga larut malam.
Tujuh tahun.
Dan inspirasi terbesarnya adalah wanita yang baru kembali seminggu yang lalu?
Tepuk tangan menggema meriah.
Renata tersenyum lembut, senyum yang begitu polos, namun di mata Reani, senyum itu adalah kemenangan.
Ia menatap Juna dengan tatapan yang begitu intim hingga Reani merasakan gelombang panas—perih, marah, dan hancur—bercampur di dadanya.
Di detik itu, dunia Reani Wijaya berhenti berputar.
Ia berdiri di sudut ruangan, di balik kerumunan tamu yang bahkan tidak tahu bahwa Reani adalah pemilik empat puluh persen saham perusahaan ini.
Mereka tidak tahu bahwa Reani adalah orang yang menyiapkan makan malam untuk Juna setiap kali ia lembur.
Tak seorang pun tahu bahwa Reani sudah tujuh tahun menjadi bagian dari hidupnya.
Tujuh tahun menunggu untuk diakui, menunggu waktu yang katanya “belum tepat, Rea, karena aku belum sesukses ini.”
Tujuh tahun menjadi rahasia—kekasih gelap yang sah—di balik gemerlap dunianya.
Juna tertawa pelan ketika Renata menyentuh lengannya—sentuhan ringan yang tampak biasa, namun bagi Reani, itu adalah deklarasi perang.
Juna membiarkan Renata menggandeng tangannya, membiarkan para tamu memotret mereka.
Dan Reani... hanya bisa menatap dari jauh.
Ia meneguk sampanye dingin itu hingga habis.
Seseorang di belakangnya berbisik, berjarak hanya beberapa inci.
“Lihat, pasangan itu serasi sekali, ya? Si pria karismatik, si wanita elegan.. apalagi katanya mereka cinta pertama yang dipertemukan kembali. Romantis sekali, bukan?”
Reani tersenyum tipis, menunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya.
Padahal tenggorokannya kering, dan matanya panas menahan air mata yang ingin jatuh.
Cinta pertama.
Jadi, aku hanya fase di antaranya.
Hanya jeda.
Hanya pelabuhan sementara.
Hanya rahasia yang tidak penting untuk diingat.
Lucu, bukan?
Bahkan setelah semua tahun ini—setelah semua yang kuberikan—aku tetap orang asing.
Hanya perabot yang disembunyikan di balik pintu hidupnya.
Reani menghela napas. Ia sudah tidak tahan.
Saat Juna turun dari panggung, Renata masih menggandengnya.
Juna mengangkat kepala, dan untuk pertama kalinya malam itu, mata mereka bertemu.
Senyumnya sedikit memudar.
“Rea?” suaranya terdengar samar, dengan nada panik yang nyaris tak kentara.
Ia melangkah setengah langkah ke arah Reani, tapi tangan Renata menahan lengannya.
“Juna,” kata Renata lembut, “aku mau kenalkan kamu dengan teman-temanku dari Milan. Mereka sudah menunggu di sana.”
Juna menatap Renata, lalu menatap Reani lagi.
Hanya sepersekian detik—tapi cukup bagi Reani untuk tahu, pilihan itu sudah dibuat.
Ia menelan ludah, membiarkan Renata menariknya, lalu tersenyum ke arah tamu-tamu yang memanggil namanya.
Dirinya tidak datang untukku, tidak melangkah ke arahku, dan aku tau... dia memilih Renata.
Reani meletakkan gelas sampanye di meja terdekat.
Suara dentingnya terdengar seperti bel kematian bagi hubungan mereka.
Rea berjalan keluar dari ballroom sebelum lagu berikutnya dimulai.
Langkahnya penuh tekad, bergaung di lantai marmer koridor hotel—bukan lagi dentingan kesedihan, melainkan genderang perpisahan yang sudah lama ia tunda.
Di depan cermin besar di lobi, Reani berhenti.
Wajahnya tampak asing—cantik, tapi lelah.
Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh juga, meluncur perlahan di pipinya.
“Sudah cukup,” bisiknya pada bayangan sendiri.
“Juna tidak pernah butuh wanita kuat. Dia hanya butuh wanita yang datang tepat waktu.”
Dan malam itu, di antara tawa, cahaya, dan pesta yang bukan untuknya, Reani memutuskan untuk pergi.
Diam-diam. Tanpa perpisahan. Tanpa air mata di hadapannya.
Mengapa harus memberinya kehormatan untuk melihatku hancur?
Reani hanya ingin pulang—pada dirinya sendiri, pada harga dirinya yang telah lama ia titipkan padanya.
Reani melangkah keluar dari pintu hotel.
Dan ia tahu, yang ia tinggalkan bukan hanya Juna,
tetapi juga dirinya yang mencintai sendirian.
Malam itu, Reani Wijaya memutuskan meninggalkan Juna Anggara dan berhenti mencintainya.
bersambung.....