Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji yang beku
Api menjilat tepi foto itu dengan rakus. Warna-warni pudar dari cetakan lama mengerut, menghitam, lalu menyerah menjadi abu. Asap tipis mengepul, membawa aroma pedih dari kertas dan kenangan yang terbakar. Di tengah apartemennya yang sunyi, Angkasa memegang korek api dengan jemari yang menolak untuk gemetar, sebuah kebohongan yang ia paksakan pada tubuhnya sendiri.
Mata wanita dalam foto itu masih tersenyum, seolah tak peduli pada api yang merayap mendekatinya. Senyum yang sama, yang terpatri di ingatan Angkasa selama delapan belas tahun. Senyum yang terasa seperti madu sekaligus racun. Di bawah tatapan beku dari sepasang mata birunya sendiri, Angkasa menyaksikan wajah ibunya meleleh, terdistorsi oleh panas sebelum lenyap selamanya. Ini adalah ritual pembebasan. Setidaknya, itulah yang ia bisikkan pada kehampaan di dadanya.
Namun, semakin api itu melahap kertas, semakin jelas gema dari masa lalu itu berdentang. Sebuah gema yang membawanya kembali pada sore yang dingin di penghujung musim hujan, ketika langit Jakarta tampak sama bekunya dengan hatinya sekarang.
Flashback on.
Delapan belas tahun lalu, tangan itu terasa hangat.
Tangan Laras menggenggam jemari mungil Angkasa begitu erat, seolah takut terlepas. Namun, bagi Angkasa yang baru berusia tujuh tahun, genggaman itu terasa aneh. Tidak seperti biasanya yang lembut dan menenangkan, genggaman ini membawa getar samar, getar kegelisahan yang merambat naik ke bahunya yang kecil.
Mereka berdiri di depan sebuah gerbang besi hitam yang menjulang tinggi, lebih tinggi dari pohon mangga di halaman rumah mereka. Di baliknya, sebuah bangunan tua bergaya kolonial berdiri megah namun sunyi. Cat putihnya sudah mengelupas di beberapa bagian, memperlihatkan semen abu-abu yang muram. Panti Asuhan Harapan Bunda. Angkasa mengeja tulisan di plang kayu itu dalam hati, bibirnya bergerak tanpa suara. Ia tidak mengerti apa artinya.
"Ibu, kita mau ke mana?" suaranya nyaris tak terdengar, tertelan oleh deru kendaraan di jalan raya.
Laras berjongkok, menyejajarkan tingginya dengan sang putra. Diusapnya rambut Angkasa yang tebal dan sedikit ikal, persis seperti rambut ayahnya. Senyum yang terukir di bibirnya tampak familier, tetapi matanya tidak ikut tersenyum. Mata itu berkelana, menatap ke mana saja selain ke wajah Angkasa yang penuh tanya.
"Angkasa di sini dulu, ya, Sayang? Sebentar saja," bisik Laras. Suaranya serak.
"Di sini banyak teman baru. Lihat," ia menunjuk ke arah halaman dalam, di mana beberapa anak seusianya sedang berlarian mengejar bola plastik yang kempes.
"Nanti Angkasa bisa main sama mereka."
Kening Angkasa berkerut.
"Kenapa Ibu nggak ikut main?"
Sebuah jeda yang terlalu lama. Laras menelan ludah, tampak kesulitan menemukan kata-kata yang tepat.
"Ibu… Ibu harus pergi. Ada urusan penting sekali."
"Urusan apa?" desak Angkasa, nalurinya mulai merasakan ada yang salah. Aroma parfum Laras yang biasanya menenangkan kini terasa menyesakkan.
"Angkasa ikut. Angkasa janji nggak akan nakal."
"Nggak bisa, Sayang." Kali ini, suara Laras lebih tegas, memotong rengekan Angkasa. Wanita itu menarik napas dalam-dalam, memaksakan kembali senyumnya yang rapuh.
"Ini tempat yang bagus. Nanti kalau urusan Ibu sudah selesai, Ibu pasti jemput Angkasa lagi. Pas liburan sekolah tiba, Ibu datang lagi ke sini."
Mata bocah itu membesar, mencari secercah kejujuran di mata ibunya.
"Janji?" Satu kata itu keluar dengan getar harapan yang begitu murni, begitu polos.
Laras mengangguk cepat. Terlalu cepat.
"Janji," jawabnya, sambil memeluk Angkasa dengan kaku.
Pelukan itu singkat, tidak sehangat pelukan selamat malam yang biasa ia dapatkan. Saat Laras melepaskannya, ia menyelipkan sebuah foto kecil ke dalam saku kemeja Angkasa. Foto dirinya yang sedang tersenyum.
"Pegang ini, ya. Biar Angkasa nggak lupa sama wajah Ibu."
Seorang wanita paruh baya berwajah ramah keluar dari dalam gedung, menyambut mereka.
"Selamat sore, Ibu Laras. Ini Angkasa, ya? Tampan sekali."
Laras hanya tersenyum tipis, lalu menyerahkan tas ransel kecil milik Angkasa kepada wanita itu. Ia mengusap kepala putranya untuk terakhir kali.
"Angkasa jadi anak baik, ya. Jangan cengeng. Ibu pergi dulu."
Dan begitulah. Laras berbalik, berjalan cepat menuju gerbang tanpa menoleh lagi. Angkasa hanya bisa terpaku, melihat punggung ibunya menjauh. Ia ingin berteriak, ingin berlari mengejar, tetapi kakinya seolah terpaku di tanah. Ia hanya bisa menyaksikan sosok yang paling ia cintai di dunia itu membuka gerbang, melangkah keluar, dan menutupnya kembali.
KLANG!
Suara gerbang besi yang terkunci terdengar seperti vonis mati bagi dunia kecilnya. Angkasa menatap melalui celah-celah jeruji, melihat ibunya berjalan semakin jauh, semakin kecil, hingga akhirnya hanya menjadi titik yang ditelan oleh keramaian kota.
Flashback off
Angkasa kecil tidak menangis. Tidak saat itu. Ia hanya berdiri mematung, tangannya merogoh saku, meraba tepi foto yang baru saja diselipkan ibunya. Jemarinya mencengkeram kertas itu erat-erat. Di kepalanya, satu kata terus berulang seperti kaset rusak.
Janji. Janji. Janji.
Liburan sekolah datang dan pergi. Musim berganti. Tahun-tahun berlalu seperti halaman kalender yang disobek angin. Tapi Laras tidak pernah kembali. Janji itu, jangkar harapan yang Angkasa pegang erat-erat, perlahan berkarat dan tenggelam ke dasar lautan kekecewaan. Tembok es pun mulai terbentuk di sekeliling hatinya, dinding pertahanan yang ia bangun bata demi bata dengan setiap harapan yang pupus.
Api kini sudah menjilat jempolnya.
Panas yang menusuk itu menyentakkan Angkasa kembali ke masa kini. Ia tersentak kaget, refleks menjatuhkan sisa foto yang membara ke dalam asbak keramik. Desis kecil terdengar saat bara terakhir itu padam. Bau hangus memenuhi udara.
Tangannya yang tadi ia paksa untuk tegar, kini gemetar hebat. Bukan karena rasa sakit akibat luka bakar kecil di ujung jarinya, melainkan karena getaran lain yang datang dari tempat yang jauh lebih dalam. Ia gagal. Lagi-lagi ia gagal. Ia pikir dengan membakar bukti fisik terakhir dari keberadaan wanita itu, ia bisa membakar habis pula perasaan yang membelenggunya.
Ia salah.
Wajah Laras yang tersenyum kini telah menjadi abu, tetapi ingatannya, kenangan akan janji palsu di depan gerbang panti yang dingin itu, terbakar semakin terang di benaknya. Rasa sakit itu tidak lenyap, ia hanya berubah bentuk. Dari luka menganga menjadi bara api yang diam-diam membakar dari dalam.
Angkasa menatap abu hitam di asbak, napasnya memburu. Tiba-tiba, sebuah denyut tajam menghantam kepalanya, membuat ruangan sedikit berputar. Pandangannya mengabur sejenak, dan ia harus berpegangan pada tepi meja untuk menjaga keseimbangan. Rasa lelah yang aneh, yang belakangan ini sering datang tanpa diundang, kembali merayap di sekujur tubuhnya. Ia mengabaikannya, menganggapnya hanya efek dari kurang tidur dan terlalu banyak kafein.
Namun, saat ia menegakkan tubuhnya dan tanpa sengaja menyentuh hidungnya, ia merasakan sesuatu yang hangat dan basah mengalir. Ia menunduk, melihat telapak tangannya. Merah. Setetes darah jatuh dari ujung hidungnya, menodai lantai keramik yang putih bersih. Lalu setetes lagi. Panas yang menusuk itu bukan hanya membakar kertas, tetapi juga...