Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
Hujan baru saja reda ketika Dara melangkahkan kakinya keluar dari pintu kafe tempatnya bekerja. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Udara dingin menusuk kulit, namun Dara tetap melangkah cepat menyusuri trotoar yang licin.
“Dara, kamu yakin nggak apa-apa nganter pesanan sendirian malam-malam gini?” suara Rina, teman kerjanya, sempat menggema dari dalam kafe tadi.
Dara hanya tersenyum. “Nggak apa-apa, Rin. Tempat nya dekat kok, cuma sekitar dua blok dari sini. Aku sekalian lewat jalan pulang.”
Ia tahu sebenarnya ini bukan tugasnya. Tapi Rina sedang tidak enak badan dan pelanggan yang memesan itu termasuk pelanggan penting. Maka, tanpa pikir panjang Dara menawarkan diri.
Tas selempang kecilnya berisi dua box makanan dan satu minuman tak heran jika ada yang memesan makanan jam 11 malam karena memang toko Meraka akan tutup jam 12 malam.
"ya udah, hati-hati ya Ra. Aku jadi ngga enak sama kamu"
" ngga papa santai aja kali. Nanti jangan lupa tutup pintunya ya. Aku pergi dulu."
Begitu sampai di depan gedung tinggi itu, Dara mendongak. Bangunannya megah dan menjulang, ini adalah pertama kalinya dia masuk kesini selebihnya hanya lewat saja. Dia hanya rakyat jelata yang hidupnya pas-pasan.
Ia melangkah ke dalam lobby. Petugas resepsionis yang berpakaian rapi memandangnya dengan tatapan penuh penilaian. Mungkin karena pakaian kerjanya sederhana dan sedikit basah karena terkena air hujan.
“Saya mau antar pesanan untuk kamar 251,” kata Dara dengan sopan.
Petugas itu mengangguk dingin. “Silakan naik. Lift pribadi di sebelah kanan."
Dara hanya mengangguk paham. Dara masuk ke lift kaca yang meluncur cepat ke lantai paling atas. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena takut, tapi ada rasa gugup aneh saat lift berhenti dan pintu tujuannya terlihat jelas di ujung koridor sana.
Ting.
Dara menekan tombol yang ada di sebelah pintu itu.
“Permisi…” panggil Dara pelan.
"permisi" ucapnya sekali lagi.
Pintu terbuka menampilkan sosok pria yang tengah kacau. Dara tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena lampu tang dimatikan.
“Pesanan Anda, Pak,”
“ siapa kamu?” suaranya berat dan dalam.
“Saya… Dara. Karyawan kafe yang mengantar pesanan Anda,” jawabnya gugup.
Pria itu menatapnya lama, seolah mencoba mengenal wajahnya. “Cantik,” gumamnya tiba-tiba. Bau alkohol menyengat menusuk hidung Dara.
“Pak, kalau tidak ada lagi yang perlu—”
Tapi sebelum Dara sempat melangkah mundur, pria itu menahan pergelangan tangannya. membuat dara yang ingin meletakkan pesanan itu jatuh ke lantai “Jangan pergi…”
“Pak, tolong lepaskan…”
Pria itu tiba-tiba menarik tangan Dara dengan kasar. Tubuh Dara terhuyung ke dalam ruangan, membuat pintu menutup dengan bunyi klik di belakangnya. Jantungnya berdegup semakin cepat.
“Lepaskan! Tolong lepaskan saya!” seru Dara panik sambil mencoba menarik tangannya kembali. Namun, genggaman pria itu terlalu kuat, dan dari sorot matanya jelas—ia tidak sepenuhnya sadar karena pengaruh alkohol.
Ruangan itu terasa semakin sempit. Dara mundur perlahan, punggungnya membentur dinding. Ia bergetar ketakutan. “Pak… saya cuma nganter pesanan. Saya nggak punya maksud apa-apa,” suaranya lirih, nyaris seperti isakan.
Pria itu mendekat, langkahnya berat namun pasti. Tatapan matanya kabur, tapi sorotnya tajam seperti hewan buas yang kehilangan kendali. Dara mencoba lari ke pintu, tapi tangan pria itu lebih dulu meraih lengannya.
“Jangan…” Dara menangis kini, suaranya pecah. Ia berusaha melepaskan diri, tapi gagal.
Pria itu mulai liat, dia menghempaskan tubuh Dara ke atas ranjang dan mulai meraup bibirnya dengan rakus. Tak henti disana tangan juga mulai liar menjelajahi setiap inci dari tubuhnya.
Dara hanya bisa menangis saat pria yang tidak ia kenali itu melakukan aksinya.
Malam itu meninggalkan bekas mendalam — bukan hanya pada tubuh, tapi terutama pada hati Dara. Ia tidak tahu bagaimana semua bisa terjadi begitu cepat, dan hanya ada satu yang ia harapkan jika semua ini hanyalah mimpi.
........
Sinar matahari pagi menembus tirai besar ruangan itu, menyusup perlahan ke setiap sudut kamar. Dara membuka matanya dengan kepala terasa berat, seperti habis terbangun dari mimpi buruk. Namun begitu pandangannya mulai jelas, tubuhnya seketika menegang.
Ranjang empuk dengan sprei putih bersih, ruangan luas dengan interior mahal… bukan kamarnya. Ia buru-buru menoleh ke sisi lain ranjang. Seorang pria terbaring dengan dada terbuka, wajahnya tenang dalam tidur.
Napasnya tercekat. Ia memegangi selimut yang membungkus tubuhnya, gemetar, matanya membulat menahan panik. “Bukan mimpi…” bisiknya dengan suara bergetar.
Dalam sekejap, ingatan semalam datang bertubi-tubi. Ketakutan. Bau alkohol. Air mata menetes pelan ke pipinya. Dara menutup mulutnya agar tidak terisak keras. “Ya Tuhan… apa yang sudah terjadi…”
Dengan tergesa-gesa ia turun dari ranjang, mengambil pakaiannya satu per satu yang berserakan di lantai. Tangannya gemetar hebat saat mengenakannya kembali. Ia terus menoleh ke arah pria itu, khawatir ia akan terbangun.
Begitu berpakaian lengkap, ia langsung memakannya dengan cepat. Dara mengambil tas kecilnya dan meraih gagang pintu perlahan, hati-hati agar tidak menimbulkan suara.
Begitu keluar, ia berlari menuju lift. Jantungnya berdetak tak karuan, napasnya terengah-engah, dan kakinya nyaris lemas. Penampilannya saat ini sangat berantakan, dan salah satu bagian tubuhnya terasa nyeri. Begitu pintu lift tertutup, air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya pecah. Dara bersandar ke dinding lift dan menangis tanpa suara, hanya air mata yang mengalir deras.