Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.
Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.
4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.
Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Act 11 - Kehangatan ditengah salju beku
Keesokan harinya, suara terompet membangunkan kami lebih cepat dari biasanya. Udara pagi masih begitu menusuk ketika kami dikumpulkan di lapangan yang sama seperti sebelumnya.
Kali ini, barisan kami dikelilingi oleh para pasukan Citadel. Mereka berdiri tegak, seakan siap menyaksikan sesuatu yang penting.
Tak lama kemudian, Lord Victor muncul di hadapan kami. Tatapannya tegas, langkahnya mantap.
> "Hari ini kalian akan menjalani tes ketiga—dan yang terakhir—sebelum memasuki pelatihan resmi," ucap Victor lantang.
"Tes kali ini akan lebih mudah dibandingkan kemarin. Kalian hanya perlu bertarung menggunakan senjata pilihan kalian."
Para peserta saling pandang, sebagian tampak lega, sebagian lagi penasaran.
> "Kalian bebas memilih senjata apa pun. Pedang, tombak, kapak... sesuaikan dengan kemampuan kalian," lanjut Victor.
"Tenang saja, tidak akan ada yang terbunuh di sini. Para knight akan mengawasi jalannya pertarungan dan menghentikannya saat pemenang sudah jelas terlihat."
Mendengar itu, suasana jadi lebih ringan. Wajah-wajah tegang berganti senyum lega.
> "Siapa lawan kami?" tanya salah satu peserta.
Victor mengangkat sebuah wadah berisi gulungan kertas.
> "Ambil satu kertas. Di dalamnya tertulis Knight atau Peserta. Jika kalian mendapat Knight, kalian akan melawan seorang knight. Jika Peserta, maka kalian akan melawan sesama peserta."
Satu per satu kami maju untuk mengambil gulungan. Ketika kubuka kertas milikku, satu kata besar tertulis di sana: Peserta.
Aku menarik napas lega. Setidaknya aku tidak perlu melawan seorang knight yang sudah berpengalaman bertahun-tahun. Tapi rasa tenang itu langsung menghilang ketika Victor menyebutkan siapa lawanku.
> “James melawan... Celeste Feynar!”
Aku menatap ke seberang lapangan. Gadis berambut coklat gelap itu melangkah maju dengan senyum tipis di wajahnya.
> "Celeste?" ucapku pelan.
"Ya, aku tahu. Kau pasti senang mendapat lawan seorang wanita," ujarnya dengan nada menggoda.
"Bukan seperti itu—"
"Cukup bicara," potong Victor. "Pilih senjata kalian!"
> "Tangan kosong," ucap Celeste mantap.
Aku terkejut.
> "Tangan kosong?"
"Ya. Aku tidak mau melukaimu terlalu parah," balasnya santai, masih dengan nada mengejek.
Aku menghela napas.
> "Baiklah. Aku juga."
Victor tersenyum tipis.
> "Akhirnya, pertarungan yang sebenarnya!" serunya.
Para knight di sekeliling lapangan memukulkan senjata mereka satu sama lain, membuat suara bergema keras, mengiringi semangat pertarungan yang memuncak.
Aku menatap Celeste. Cara dia bertarung melawan serigala kemarin masih teringat jelas. Gadis ini bukan orang biasa. Aku tidak bisa meremehkannya.
> "Mulai!" teriak Victor.
Celeste langsung melesat ke arahku. Pukulan lurusnya menghantam udara ketika aku memiringkan kepala untuk menghindar. Tapi dia tidak berhenti—lutut kirinya menghantam cepat ke arah tubuhku. Aku menahan serangan itu, namun tiba-tiba dia menunduk dan menyapu kakiku.
Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah. Celeste melompat untuk menginjakku, tapi aku berguling ke samping dan berusaha berdiri. Belum sempat bangkit sempurna, tendangan keras menghantam dadaku.
Aku terpental, terseret di tanah bersalju. Celeste berdiri tegak, melambaikan tangannya.
> "Ayo, bangkitlah, James."
Aku berdiri, menahan napas, dan maju untuk menyerang. Tinju kanan meluncur ke arah perutnya, tapi dia menangkis. Serangan balasan diarahkan ke wajahku, aku menahannya dengan lengan kiri.
Kami saling bertukar pukulan dan tendangan cepat. Setiap benturan membuat udara di sekitar kami bergetar. Para peserta menatap ngeri, sementara para knight bersorak penuh semangat.
Victor memperhatikan kami dengan tajam, matanya tak lepas dari setiap gerakan.
Aku berhasil menangkap lengannya, memelintir, lalu menendang kakinya hingga tubuhnya terbanting ke tanah. Aku mencoba menguncinya, tapi dia menendang dadaku kuat-kuat hingga aku terpental mundur.
Kami kembali berdiri, berhadapan, saling menarik napas berat.
Aku memutuskan untuk mengambil langkah pertama. Dengan kecepatan penuh, aku maju dan mengayunkan pukulan sekuat tenaga. Celeste mencoba menahan, tapi benturannya membuatnya terpental jauh ke belakang.
Sebelum dia sempat bangkit, aku sudah berdiri di hadapannya, kepalan tangan siap mengarah ke wajahnya.
> "Berhenti!" teriak Victor.
Seketika kami berhenti bergerak.
> "Pemenangnya—James!"
Sorak para knight bergema di udara. Celeste terdiam, lalu menatapku dengan wajah kesal. Dia mendengus, menepuk debu di pakaiannya, lalu berjalan pergi tanpa berkata apa pun.
Aku hanya menghela napas, menahan rasa lelah di dada, lalu ikut berjalan ke pinggir lapangan.
---
Sore harinya, seluruh peserta dikumpulkan kembali. Victor berdiri di atas panggung kecil, memandangi kami satu per satu.
> "Setelah menilai kalian selama tiga hari ini, aku telah memutuskan siapa saja yang layak melanjutkan ke tahap pelatihan," ucapnya.
Suasana jadi hening.
> "Yang pertama—James."
Aku menatap Victor tak percaya.
> "Kau adalah peserta terbaik sejauh ini. Pertahankan itu sampai kau lulus nanti," lanjutnya.
> "Selanjutnya, Celeste Feynar—satu-satunya wanita yang bertahan sampai akhir. Sudah lama aku tidak melihat wanita mengikuti ujian ini. Kau kuat, Feynar. Sangat kuat."
Sorak-sorai terdengar dari barisan belakang. Celeste hanya mengangguk pelan, ekspresinya tenang.
Victor menyebut tiga nama lagi:
Seorang bangsawan muda dari Duskrealm,
Seorang pria berambut pirang dengan tubuh besar seperti raksasa,
Dan seorang anak nelayan dari Iron Coast.
> "Kelima peserta ini akan melanjutkan ke tahap pelatihan. Selamat, kalian telah melewati ujian Citadel!"
Para knight bertepuk tangan, sementara para peserta lain menunduk kecewa.
Aku menarik napas panjang. Akhirnya, satu langkah besar telah kulewati.
> "Sekarang beristirahatlah. Pelatihan dimulai esok hari," ucap Victor menutup pertemuan.
Saat malam turun, aku duduk di barak, menatap langit-langit gelap sambil merenung. Untuk pertama kalinya sejak aku tiba di Citadel, aku merasa tenang.
Karena aku tahu—ini baru permulaan dari perjalanan yang sesungguhnya.
---
Sebelum kembali ke barak, aku memutuskan untuk berbicara dengan Celeste.
> “Hei, Celeste!” panggilku sambil mempercepat langkah, mengejarnya yang sudah berjalan lebih dulu.
Dia menoleh sekilas, ekspresinya masih kesal.
> “Apa? Ingin memamerkan kemenanganmu tadi?” ujarnya sinis.
Aku tersenyum kecil, mengangkat tangan, memberi isyarat agar dia tenang.
> “Ah, bukan itu.”
“Aku cuma ingin bertanya sesuatu padamu.”
Dia menghentikan langkahnya, menatapku dengan sedikit rasa penasaran.
> “Apa itu?”
Aku menarik napas pelan.
> “Sebelum ujian kedua kemarin dimulai, kau bilang tidak bisa menggunakan pedang. Tapi saat membantu aku melawan serigala, kau bergerak seperti petarung berpengalaman. Bahkan waktu kita bertarung tadi... aku merasa melawan seseorang yang sudah sangat terbiasa dengan medan.”
“Sebenarnya... siapa kau?”
Celeste tersenyum tipis.
> “Aku tidak menyangka kau memperhatikanku sejak awal.”
> “Ah, bukan begitu,” jawabku canggung, menggaruk kepala.
“Kau satu-satunya wanita di antara kami. Bagaimana aku bisa tidak menyadari keberadaanmu?”
Dia terkekeh pelan.
> “Ya, ya, aku tahu.”
Wajahnya sedikit melunak, dan untuk pertama kalinya aku melihat sisi lembut dari balik sikap kerasnya.
> “Singkatnya, aku sudah sering berlatih dengan ayahku. Dia ingin aku menjadi knight wanita pertama di keluargaku.”
“Itu saja. Tidak ada rahasia lain.”
Dia kembali tersenyum, lalu memutar tubuhnya.
> “Kalau begitu, sampai nanti.”
Angin sore berhembus pelan, membuat helaian rambut pirangnya sedikit berkibar. Ia melangkah pergi perlahan menuju barak, menoleh sekali lagi sambil menampilkan senyum tipis—senyum yang entah kenapa, terasa sulit diabaikan.
Aku hanya berdiri terpaku, berusaha menutupi wajahku yang mulai memanas.
> “Sampai nanti...” gumamku pelan.
Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.
Tapi aku coba positif thinking aja