Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.
Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.
Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.
Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.
Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.
Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1. AYAH DAN PUTRINYA
Seattle, Washington, Friday 15:37
Langit Seattle sore itu dipenuhi awan kelabu yang berat, seolah menekan seluruh bangunan kaca dan baja yang berbaris angkuh di pusat kota. Jalan-jalan dipadati kendaraan yang tergesa, klakson bersahut-sahutan, namun bagi Davian Meyers, semua kebisingan itu hanya terdengar jauh di belakang telinganya. Yang ia dengar, yang memenuhi kepalanya, hanyalah gema tangisan seorang bayi yang sampai kepadanya melalui telepon beberapa menit lalu.
Suara itu ... suara tangis yang serak, memecah, terisak-isak tanpa henti adalah suara putrinya. Cassandra Meyers. Bayi mungil berusia dua bulan, yang bahkan belum mampu menatap dunia dengan jelas, namun sudah menjadi pusat gravitasi baru dalam hidupnya.
Sopir pribadinya yang biasanya setia menunggu tak sempat dipanggil sore itu. Davian meninggalkan rapat dewan direksi dengan langkah panjang, wajah para kolega yang memandangnya heran tidak ia pedulikan. Ia hanya meraih jas, mengambil kunci mobil, lalu melesat keluar dari gedung tinggi perusahaan yang namanya berdiri gagah di puncak: Meyers & Co..
Mobil sport hitamnya menderu menembus kemacetan, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang penuh aturan, Davian tidak peduli pada lampu lalu lintas yang baru saja berubah merah. Klakson dari arah lain meledak, namun ia hanya menggenggam kemudi lebih keras, matanya terpaku ke depan.
Setiap detik terasa seperti siksaan. Laporan pengasuh di rumah masih berputar di telinganya.
"Sir, Miss. Cassandra menangis tak henti sejak satu jam terakhir. Saya sudah mencoba menidurkannya, mengganti popok, memberinya susu tapi dia menolak semua. Dia hanya semakin keras menangis. Saya khawatir, Sir."
Suara pengasuh itu bergetar, menyimpan panik yang ditularkan begitu cepat ke dalam dada Davian.
Cassandra. Anak yang bahkan tak bisa menenangkan diri kecuali dalam pelukan seorang ibu, tapi sang ibu sudah pergi, meninggalkan keduanya tanpa pesan, tanpa jejak.
Ketika mobil berhenti di depan kediamannya, Davian hampir berlari menuju pintu utama. Rumah besar bergaya kolonial itu biasanya sunyi, terawat sempurna oleh staf yang selalu siaga, tetapi kini seisi bangunan bergema oleh satu suara, tangisan bayi yang panjang dan parau.
Langkah Davian tergesa menapaki marmer dingin. Dari lantai atas, seorang pengasuh muda muncul dengan wajah pucat dan panik, menggendong seorang bayi mungil yang wajahnya memerah karena terlalu lama menangis.
"Sir, saya sudah mencoba segalanya," ucap pengasuh itu hampir putus asa. "Dia tidak mau berhenti."
Davian mengulurkan tangannya, dan begitu tubuh kecil itu berpindah ke dalam lengannya, dunia di sekitarnya seolah berhenti.
Cassandra.
Ia begitu mungil. Berat tubuhnya masih terasa ringan, terlalu ringan bahkan untuk usianya. Wajahnya merah padam, matanya terpejam rapat karena tangisan, bibirnya terbuka, mengeluarkan suara yang melengking menusuk.
Davian menatap Cassandra dengan kebingungan yang nyaris melumpuhkan. Davian yang seorang pebisnis yang terbiasa memimpin ratusan karyawan, mengendalikan proyek bernilai miliaran, menandatangani kontrak dengan tangan mantap, kini berdiri kaku, tak tahu harus berbuat apa di hadapan seorang bayi seberat tiga kilogram.
Namun, perlahan, Davian menggeser tangannya, mencoba meniru apa yang ia lihat di film-film atau sekilas dari pasangan lain di sekitarnya. Ia menggendong Cassandra dekat ke dadanya, membiarkan suara detak jantungnya mungkin terdengar oleh sang bayi.
"Cassie…," suaranya pecah, lirih, seolah berbicara kepada sesuatu yang begitu rapuh hingga ia takut kata-kata bisa melukainya. "Papa di sini ...."
Tangisan itu tidak serta-merta berhenti. Malah semakin keras. Tubuh kecil itu menendang-nendang, tangan mungilnya mengepal, memukul udara kosong.
Davian mengguncang lembut, berusaha mengayun perlahan. Panik menyeruak di dadanya. Ia mencoba menepuk-nepuk punggung bayi kecil itu, menurunkan langkahnya ke kursi, lalu bangkit lagi. Semua gerakan terasa kikuk.
"Apa yang kau mau, hm? Susu? Atau kau hanya ... mencari sesuatu yang tidak bisa kuberikan?" tanyanya lembut, tahu kalau ia tidak akan mendapatkan jawaban dari bayi kecil itu. Kalimat itu berbisik, tapi pedih.
Sosok istrinya, wanita yang dinikahinya lewat sebuah perjodohan keluarga, terlintas di benaknya. Wanita itu cantik, anggun, tetapi tatapannya dingin. Sejak awal ia tidak pernah menginginkan pernikahan itu, apalagi anak yang lahir darinya. Kelahiran Cassandra hanya membuatnya semakin jauh, dan dua minggu setelah persalinan, sang istri pergi. Meninggalkan rumah. Meninggalkan bayi mungil yang bahkan belum bisa mengenali wajah ayahnya.
Kepergiannya menyisakan lubang besar. Lubang yang kini memerangkap Davian bersama tangis putrinya.
Jam bergulir lambat.
Davian berjalan mondar-mandir di kamar bayi, sebuah ruangan indah dengan dinding biru lembut, hiasan awan dan bintang, serta ranjang kayu putih yang kini tak berguna karena penghuninya menolak diam di sana. Ia mencoba menyanyikan sesuatu, suara baritonnya terdengar canggung, nyaris patah di ujung kata.
"Tenanglah, Sweetheart ... tenanglah, Cassie kecil ...."
Air mata bayi itu terus mengalir, membasahi pipinya. Dan setiap tetesnya menusuk hati Davian, membuatnya merasa gagal, tidak berdaya, tak mampu memberi kenyamanan sederhana yang dibutuhkan seorang anak.
Ia mencoba memberi susu. Botol yang hangat ia dekatkan ke bibir mungil itu. Cassandra hanya menggelengkan kepala kecilnya, menangis lebih keras seakan menolak.
Pengasuh berdiri tak jauh, wajahnya khawatir. "Sir, mungkin sebaiknya kita memanggil dokter? Mungkin dia sakit-"
"Tidak," potong Davian cepat, meski ia sendiri tak yakin dengan jawabannya. "Dia tidak sakit. Dia hanya tidak mau bersama siapa pun."
Kalimat itu keluar begitu saja, dan saat ia mengucapkannya, kesadarannya menampar. Cassandra memang selalu seperti ini. Dari hari-hari awal sejak ibunya pergi, bayi itu menolak digendong siapa pun. Menolak tangan pengasuh, menolak pelukan orang lain. Tangisnya hanya mereda, meski tidak sepenuhnya, ketika berada dalam dekap Davian.
Seolah hanya Davian sang seorang ayah yang serba kaku, asing dengan dunia bayi menjadi satu-satunya jangkar untuk Cassandra kecil.
Malam merambat cepat. Lampu-lampu kota menyala di luar jendela, tapi di dalam kamar bayi itu, hanya ada cahaya temaram dari lampu tidur berbentuk bulan sabit.
Davian duduk di kursi goyang, tubuhnya bersandar letih, namun tangannya tetap erat memeluk bayi kecil di dadanya. Tangis Cassandra kini berangsur mereda, meski sesekali masih terdengar isakan kecil yang membuat bahu mungilnya bergetar.
Untuk pertama kalinya sejak sore, ruangan itu terasa lebih tenang.
Davian menunduk menatap wajah putrinya. Wajah kecil yang masih merah, namun perlahan menampilkan ketenangan. Kelopak matanya basah, bulu matanya menempel karena air mata, bibirnya bergerak pelan seakan mencari sesuatu.
Rasa haru yang asing menyergap dada Davian. Ia merasakan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia bayangkan: kebutuhan. Bukan dari dirinya kepada Cassandra, tapi sebaliknya. Seorang bayi mungil, begitu tak berdaya, membutuhkan dirinya. Bukan pengasuh, bukan dokter, bukan siapa pun ... hanya diri Davian.
"Cassie ... aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi ayah," bisiknya, suaranya pecah menahan emosi. "Tapi aku berjanji aku akan belajar. Aku tidak akan pergi. Kau tidak akan pernah sendirian."
Kata-kata itu bukan sekadar janji, tapi tekad yang lahir dari keterdesakan. Karena di saat dunia bisnis bisa ia kendalikan dengan strategi, di hadapan putrinya ini ia hanya bisa bersandar pada cinta, sesuatu yang baru ia kenali, namun terasa paling nyata.
Jam menunjukkan tengah malam. Pengasuh sudah diizinkan beristirahat, meski masih diliputi kecemasan. Rumah besar itu sepi, hanya terdengar suara lembut kursi goyang yang bergerak maju-mundur.
Cassandra akhirnya tertidur di pelukan Davian, wajahnya menempel di dada sang ayah, napasnya teratur meski masih sesekali mengisak.
Davian menatapnya lama, meneliti setiap garis kecil di wajah mungil itu. Hidungnya yang mungil, pipinya yang sedikit cekung karena kurangnya asupan, jari-jarinya yang lentik namun ringkih.
Tubuhnya terasa letih luar biasa, tetapi ia tidak ingin melepaskan.
Dalam hati, ia tahu, malam ini hanyalah permulaan. Permulaan dari perjalanan panjang seorang ayah yang harus belajar segalanya dari awal, tanpa pasangan di sisinya, tanpa dukungan kecuali cinta yang ia pupuk dengan susah payah.
Dan Cassandra, bayi mungil yang menolak dunia namun mencari dekapannya, akan menjadi alasan terbesar ia terus bertahan.
Davian menutup matanya sejenak, merasakan detak jantung putrinya yang lembut. Dalam gelap yang hening, ia berbisik:
"Kau dan aku, Cassie ... hanya kita berdua. Dan itu cukup."
Tangisan kecil yang melelahkan hari itu, kekacauan dan panik, seakan terbayar oleh kehangatan sederhana ini. Sebuah awal dari kisah antara seorang pria yang belajar menjadi ayah, dan seorang bayi yang menolak semua, kecuali kasih sayang darinya.
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
kau yang berjanji kau yang mengingkari
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi