NovelToon NovelToon
Petaka Jelangkung

Petaka Jelangkung

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / TKP / Hantu / Tumbal
Popularitas:603
Nilai: 5
Nama Author: lirien

Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.

Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.

Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mereka Datang!

“Lo percaya sama beginian nggak, sih?” suara Kevin terdengar santai, tapi matanya melirik satu per satu keempat temannya.

Semua kepala otomatis menoleh ke arah Ki Wangsit, lelaki tua berkulit legam yang sedang jongkok di bawah pohon paling besar di area kemah. Tangannya cekatan menggali tanah, lalu menimbun seekor ayam hitam yang sudah tak bergerak. Aroma anyir bercampur kemenyan terbang terbawa angin.

“Ya percaya aja, lah. Namanya juga gunung, pasti ada aturannya,” sahut Bobi, sambil nyengir. Agam, Cia, dan Vani hanya mengangguk, meski jelas sorot mata mereka nggak santai-santai amat.

Kevin memiringkan bibir, menantang. “Nanti malem gue buktiin kalau setan itu nggak ada. Lo semua berani nggak?”

Ada jeda hening. Pandangan mereka saling bertubrukan, antara penasaran dan… takut. Loe akhirnya nggak tahan. “Lo mau ngapain, Kev?”

“Tenang aja, nggak serem-serem banget kok.” Kevin terkekeh, bola matanya memantulkan cahaya api unggun kecil yang mulai redup. Dia memang tipe yang doyan mainin nyali. Kegiatan kemping PLH biasanya cuma nanam pohon, cari jenis tanaman, foto-foto. Buat Kevin, itu hambar.

Sementara itu, Ki Wangsit selesai merapikan gundukan tanah. Dia menatap Pak Agus, guru pembimbing. “Silakan beraktivitas, tapi ingat pantangan yang tadi saya bilang. Jangan dilanggar.”

Awalnya OSIS mau adain acara di SMK BINA KARYA, tapi katanya terlalu mainstream. Mereka pindah ke Gunung Merbabu yang baru dibuka sebulan lalu, setelah hampir sepuluh tahun ditutup. Dan hutan ini… sudah terkenal nggak ramah buat yang “kurang ajar” di dalamnya.

Ritual pun dilakukan. Ki Wangsit menyalakan kemenyan, melafalkan mantra sambil menunduk khidmat. Suara gumamannya lirih, tapi entah kenapa, tiap huruf terdengar seperti bergetar di tulang belakang. Ayam hitam yang terkubur itu, katanya pengganti tumbal supaya semua selamat pulang.

“Nanti Magrib, semua wajib salat. Tengah malam, jangan ada api unggun. Kalau mau bikin, bikin sebelum jam itu. Jangan lupa jaga lisan,” pesan Ki Wangsit, matanya tajam seolah menembus malam.

Pak Agus sempat protes soal api unggun, tapi Ki Wangsit hanya menggeleng pelan. “Kalau nggak mau tamu nggak diundang, jangan nyalain api di jam mereka bangun.”

Setelah ritual selesai, semua murid dibagi tugas. Kevin dan gengnya kebagian nyari ranting. Entah kenapa, beberapa ranting yang dia ambil diselipin diam-diam di tendanya.

Menjelang Magrib, anak-anak diarahkan wudhu di sungai. Airnya dingin menusuk kulit, memantulkan warna langit yang mulai oranye. Cia dan Vani duduk di atas batu besar, menatap Ratna yang berdiri sendirian di pinggir air. Pandangannya kosong.

“Anak aneh. Baru kesurupan kemarin, udah bawa-bawa vibes-nya ke sini,” gumam Vani, setengah geli setengah nggak nyaman.

“Di kelas aja sering kesurupan, apalagi di tempat beginian,” bisik Cia, nada sinis menyelip di ujung kalimat.

Ratna menggigit bibir. Dia bukan nggak mau gabung, dia cuma nggak mau teriak. Di depan matanya, di seberang sungai, ada sosok putih melayang. Rambutnya panjang, acak-acakan, dan menutupi wajah. Tangisan dan tawa tipis terdengar bersahut-sahutan, seperti dua suara yang berebut keluar dari tenggorokan yang sama.

Biasanya Ratna bisa pura-pura nggak lihat. Tapi di sini… semua terasa terlalu dekat. Terlalu nyata. Dia merapal istigfar pelan, berharap makhluk itu pergi.

Lalu, sebuah bisikan dingin menyentuh telinganya.

“Berani sekali… kalian datang ke sini…”

Tubuh Ratna langsung membeku. Dia nggak berani menoleh, tapi dari sudut matanya, dia tahu sosok itu berdiri di sampingnya. Napas makhluk itu terasa di lehernya, basah, dingin.

Jantung Ratna memukul-mukul dadanya. Tangan mengepal, keringat dingin menuruni punggung. Sosok itu menggerakkan jemarinya, menyentuh kulit lengannya yang pucat. Sentuhannya terlalu dingin, seperti es yang menusuk tulang.

“Jangan!” teriak Ratna spontan.

Semua kepala menoleh. Pandangan mereka menusuk, membuat Ratna makin panik. Dia terengah, lalu berlari tanpa menoleh kembali ke kemah.

Vani bergidik, setengah merinding setengah sebal. “Nah, kan… mulai drama tuh bocah.”

“Mana kita satu tenda lagi sama dia?” bisik Cia, nadanya campuran takut dan iseng.

Agam menahan tawa. “Enaknya sih… kita kerjain aja.”

......................

Pukul satu dini hari, hutan di kaki Gunung Merbabu sudah tenggelam dalam gelap yang pekat. Suara binatang malam terdengar seperti desahan yang berbisik di telinga. Semua kegiatan resmi selesai, tak ada api unggun seperti yang biasa. Sebagian murid kecewa, tapi aturan dari sang penjaga hutan terlalu jelas untuk dilanggar.

Di dalam tenda, Cia dan Vani masih terjaga. Mereka terus melirik jam tangan, menunggu momen yang sudah direncanakan dari tadi sore, janji bertemu Kevin, Agam, dan Bobi.

Bunyi brak! terdengar di luar. Benda jatuh. Kode dari Kevin. Sinyal bahwa “permainan” dimulai.

Vani langsung menepuk bahu Ratna yang tengah terlelap. “Bangun! Lu ikut kita.”

“Mau ke mana?” Ratna mengucek mata, masih separuh mimpi.

“Udah, jangan banyak tanya. Kita mau Jalan-jalan di hutan doang, seru-seruan,” jawab Vani asal, senyum tipisnya menyimpan rencana lain.

Ratna ingin menolak, tapi tatapan Cia dan Vani mengeras. Akhirnya, ia bangkit dan mengikuti mereka, melangkah hati-hati supaya nggak membangunkan yang lain.

Mereka menuruni bukit yang licin, langkah-langkahnya seperti diiringi bunyi ranting patah. Di bawah, sinar ponsel Kevin bergoyang-goyang, jadi penunjuk jalan.

“Tunggu… kita beneran mau ke hutan? Kalau Pak Agus tahu—” Ratna mencoba protes.

“Diam, Kin. Jangan bawel. Ikut aja!” Vani memotongnya.

Mereka menyusuri jalur sempit yang dipagari pepohonan tinggi. Senter di tangan masing-masing memantulkan cahaya pucat di batang-batang basah. Bobi mengambil posisi paling belakang, memastikan para gadis nggak ketinggalan.

Suara serangga malam terdengar seperti irama yang tak sinkron. Kadang ada desis, kadang ada tawa tipis… atau mungkin cuma imajinasi Ratna. Dia memilih menunduk, menghindari tatapan ke sela-sela dahan yang gelap.

Akhirnya mereka sampai di sebuah tempat yang membuat bulu kuduk Ratna berdiri—mulut gua. Batu-batunya hitam, lembab, dan memuntahkan hawa dingin yang menusuk tulang.

“Sampe. Kita main di sini,” kata Kevin, nada suaranya puas.

Dari dalam tasnya, Kevin mengeluarkan beberapa kayu yang disusun menjadi boneka. Kaos putih lusuh dipakaikan, batok kelapa dipasang sebagai kepala.

“Jelangkung?” gumam Cia, setengah tak percaya benda itu tiba-tiba ada di sini.

“Enggak, aku nggak mau ikut,” suara Ratna bergetar. “Kalian nggak ngerti… ini bisa ngundang mereka. Apalagi di hutan ini.”

“Apaan sih? Kata Ki Wangsit udah aman,” Kevin membalas cepat.

“Justru itu! Kalau kalian ganggu, sama aja ngebangunin singa tidur.”

Vani melotot, lalu menggenggam lengan Kinan keras-keras. “Kalau lu nggak diem, gue bisa bikin video lu yang aneh-aneh terus sebar ke sekolah. Mau?”

Napas Ratna tercekat. Dia terpaksa duduk bersama yang lain. Semua memegang boneka kayu itu. Lingkaran terbentuk, dan mantra mulai dilafalkan.

“Jelangkung-jelangkung, di sini ada pesta. Datang tak dijemput, pulang tak diantar.”

Suara mereka bergema di mulut gua. Kinan diam, menunduk. Tiga kali mereka ulang, tapi tak ada apa-apa.

“Udah gue bilang, setan itu nggak ada,” Kevin tertawa kecil.

Bobi menambahkan “greget” dengan menyalakan ranting, menancapkannya di tanah. Api kecil menari-nari, memantulkan bayangan bergerak di dinding gua.

“Jelangkung-jelangkung, di sini ada pesta. Datang tak dijemput, pulang tak diantar.”

Kali ini, hembusan angin keluar dari gua. Api bergoyang liar.

Mereka melepaskan genggaman, berdiri. Semua mata beralih ke Ratna—dia masih duduk, memeluk boneka erat-erat.

“Mana setannya? Gak ada, kan? Yuk, pulang!” Kevin berbalik.

“T-tapi Kinan… dia kenapa?” suara Vani mulai goyah.

Ratna tak bergerak. Kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah. Bahunya bergetar… atau mungkin itu bukan gerakan dari tubuhnya sendiri.

“Tinggalin aja! Ayok, buruan keluar!” Cia panik.

Mereka berlari meninggalkan gua sambil tertawa-tawa, tertawa yang lebih mirip pelarian dari rasa takut yang tak mau diakui.

Beberapa langkah kemudian… jeritan memecah malam. Tinggi, panjang, memantul dari dinding gua seperti suara dari dunia lain. Mereka berhenti sebentar, saling tatap, lalu memilih lari lebih cepat.

Mereka pikir Ratna cuma kerasukan. Mereka pikir semuanya selesai.

Tapi dari kegelapan hutan, puluhan… ratusan siluet mulai merayap mengikuti.

...Gerbang itu sudah terbuka. Dan yang keluar… tidak pernah ingin lagi pulang....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!