NovelToon NovelToon
Pesona Dokter Duda Anak Satu

Pesona Dokter Duda Anak Satu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta setelah menikah / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: My Starlight

"Itu hukuman buat kamu! Jangan sampai kau melanggar lagi aturan sudah yang aku buat. Kalau tidak …." Kalimatnya menggantung.

"Kalau tidak apa, Kak?" tanya Lyana mulai berani.

"Sesuatu yang lebih buruk dari ini akan terjadi." Anggara berlalu dari hadapan Lyana. Aliran darahnya mulai memanas.

"Hah, sesuatu yang buruk? Bahkan kakak sudah mencuri ciuman pertamaku, menyebalkan." Kini giliran Lyana yang marah. Dia membuka dan menutup pintu kamar dengan keras. Sirkuasi udara di dalam kamar seolah berhenti seketika.

"Ciuman Pertama? Hah, pandai sekali dia berbohong."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon My Starlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Isi Hati Lyana

Malam semakin sunyi, hembusan angin menerpa rambut Anggara yang sudah di sisir rapih. Langit malam ini terasa gelap, entah kemana sang rembulan itu pergi. Hanya suara berisik daun yang bergesekan di ranting pohon, serta gemricik air kolam yang terdengar sampai ke balkon. Hening, suasana malam ini sekarang, ditambah dengan dinginya sikap sang istri.

Beberapa video yang sedang bergerak di layar itu, menambah geram Anggara. Pernyataan resmi dari mantan istrinya itu mencuat kepermukaan. Sekarang, masyarakat tahu siapa dia. Perempuan muda, dengan rambut panjang yang terurai berdiri di depan meja pendafataran. Wajah yang rupawan, kulit yang putih, pintar, berkarisma, perkerjaan yang mapan, semua itu simbol kesempurnaan seorang perempuan.

Tidak banyak yang dikatakan Merly, hanya sebuah sapaan dan ...

"Supaya kalian ingat, kekerasan itu bukan hanya melukai fisik tapi juga yang menyederai hati." Merly menyentuh dadanya.

"Saya mohon, untuk tidak memperbesar masalah ini teman-teman media, kami sudah sepakat untuk berdamai dan fokus mendidik anak kami satu-satunya."

Perempuan itu berlalu, sepatu hak tinggi berwarna hitam itu seolah berlarian masuk kedalam rumah sakit.

Para awak media mencoba menggapai Merly sampai ke depan pintu poliklinik jantung, tapi dengan segera tim keamanan rumah sakit menghadang dan membubarkan kerumunan wartawan itu.

"Ck, berani sekali dia muncul di depan publik. Fokus mendidik anak apanya!" Anggara geram, dia langsung menutup Laptopnya. Mencium kembali Vape yang lagi dipegang.

Tolakan halus Lyana saat Anggara berusaha menyentuh punggung kaki yang terluka tadi, membuat nya sesak. Bayangan kejadian tadi sore muncul di pelupuk mata. Bagaimana bisa Lyana, perempuan yang dia kenal ceria, selalu menurut dan tidak pernah membantah itu tiba-tiba menjadi dingin.

Deretan pesan masuk di ponselnya kini ia anggap seperti angin lalu, tak ada waktu untuk meladeni ketikan nitizen.

Anggara mulai bosan, ia menurunkan salah satu kakinya ke lantai. Sudah hampir dua jam di sini, sepetinya Lyana sudah tertidur. Ia beranjak kembali ke kamar, tapi ketika Anggara membungkukan badan mengambil laptop, sudut matanya menangkap sesuatu. Di ujung pot tanaman bunga itu, ada sampah kertas yang sudah di remas-remas dan ...

Anggara mendekat dan menemukan selembar foto pernikahan dirinya dengan Lyana. Anggara membeku seketika, jari tanganya sedikit bergetar menyentuh foto itu. Sekelebat bayangan pernikahanya dengan Lyana muncul, bukan tawa bahagia yang dia ingat, tapi tangis Lyana yang melepas orang tuanya pergi dari rumah ini ketika mengantarnya.

"Ayah pulang dulu ya nak, jadilah istri yang baik untuk suamimu." ucap Hardianto kala itu mengusap puncak kepala anaknya. Ibu hanya terdiam ketika memeluknya, tapi sudut matanya sudah basah. Lyana hanya mengangguk menahan perasaannya, mata yang sudah berkaca-kaca itu melambaikan tangan ke mobil ayahnya yang mulai melaju.

Sedetik, dua detik, tubuhnya ambruk melihat mobil itu keluar gerbang. Air mata yang tadi tertahan mulai keluar membasahi pipi, isak tangisnya hampir tak bersuara. Tubuhnya bergetar hebat, lama-lama dia meraung mengeluarkan semua isi hatinya.

Seperti orang tua yang sudah menjual anaknya, mereka bahkan tidak pernah berkabar apa lagi berkunjung.

Sekarang, begitu gumpalan kertas yang sedikit basah itu dia buka, air matanya terjatuh. Surat perjanjian pranikah yang dia tanda tangani dengan kesadaran penuh satu tahun yang lalu.

"Ayah, kenapa kau tega melakukan ini?" gumamnya sendiri, sekarang dia tahu alasan kenapa Lyana bersikap seperti itu. Padahal saat dia menandatangi surat itu, di sana sudah tertera tanda tangan Lyana dan juga Hardianto. Kala itu Anggara berfikir orang tua macam apa Hardianto itu sampai tega menukar anaknya demi sebuah kasus yang masih dia simpan rapart sampai hari ini. Demi agar karir dan jabatanya juga aman.

"Sementara Lyana? berbanding terbalik dengan dugaanku dulu. Bukan gadis yang gila harta, melainkan ... Huh," Anggara menghembuskan nafas kasar. Seperti menemukan benang merahnya, ini pasti bukan tanda tangan Lyana, makanya wajar kalau dia marah sekarang. Karena dia syok tiba-tiba ada perjanjian pranikah seperti ini.

"Lyana pasti salah paham," Anggara meluruskan kertas itu dan dilipatnya masuk ke saku celana.

"Sesakit ini ternyata, Ya tuhan aku harus bagaimana?Lyana pasti sekarang membenciku." Anggara membawa masuk surat itu ke dalam. Lampu kamar masih menyala, artinya Lyana belum tidur.

"Ly," sapa Anggara.

"Hemm... " Perempuan di tempat tidur itu hanya menggeliat, enggan menjawab.

"Kamu belum tidurkan?" tanya Anggara, tangan kanannya membuka kain tebal yang menutupi tubuh Lyana. Rambut itu tergerai menutupi sebagian wajah Lyana, ragu dia memberanikan diri menyentuh lengan istrinya.

"Aku mau tidur kak, aku cape," suara itu terdengar parau. Lyana mendekap selimut erat, memiringkan tubuh dan menekuk kakinya.

"Kamu nggak apa-apa kan?" Anggara menyibak anak rambut yang menutupi wajah Lyana.

"Hemm,"

Punggung tangan Anggara langsung berubah suhu, Lyana demam tinggi. Anggara yang panik langsung berlari menuruni anak tangga, tepat di sebelah lorong dekat pintu kamar Reno lemari kecil yang berisi obat-obatan itu di buka. Dia mengambil thermometer dan obat parcetamol dari kotak itu, lalu bergegas ke atas.

"38,5 derajat suhunya," gumam Anggara.

"Ly, duduklah, kamu demam. Minum obat dulu ya," titah Anggara mengusap lengan Lyana.

"Aku nggak apa-apa kak. Aku cuma mau istirahat." bohong, Lyana sedang tidak baik-baik saja, matanya memanas bukan karena menangis tapi karena demamnya tinggi. Namun, seluruh badan rasanya dingin.

"Bangun ... Ayo di minum dulu," Anggara mengambil gelas di nakas lalu mengupas kemasan obat berbentuk tablet bulat itu.

"Jangan pura-pura peduli sama aku kak!" kali ini Lyana menaikan nada bicaranya dengan sisa tenaga yang ada.

Entah karena lelah atau banyak yang dipikirkan Anggara, dia merasa ketulusanya selama ini tidak dihargai.

"Tadi kamu bilang apa? Pura-pura peduli?" kesal, Anggara menarik paksa selimut yang menutupi tubuh Lyana dengan keras. Lyana terlonjak kaget dan langsung duduk bersandar.

"Iya, benar kan? Buktinya Kak Gara tanda tanganin surat itu, malsuin tanda tangan aku juga. Jahatnya, padahal selama ini aku menganggap Kak Gara itu suami aku. Suami yang harus dilayani lahir batin, lahir batin kak! Suami yang harus dihindari marah dan kesalnya, biar apa? Biar Tuhan Ridho. Tapi kenapa Kak Gara menganggap pernikahan ini seperti permainan? Nggak lucu Kak!" Lyana mendengus kesal, dia menumpahkan semua isi hatinya.

"Sudahlah kak, aku capek mau tidur." Lyana menarik selimut dari tangan Anggara, tapi gagal. Anggara menahan selimut dengan kuat. Ujung lidahnya terasa kelu setelah mendengar ucapan Lyana, tapi lewat sorot matanya yang mendamba serta kecewa karena dianggap pura-pura peduli, dia mendekatkan wajahnya ke Lyana, kemudian membisikan sesuatu di telinga kanan Lyana.

"Sini kak!" Lyana terus menarik selimut itu.

"Bukan aku yang malsuin tanda tanganmu Ly," tanganya melepas ujung selimut, Lyana terjerembab. Seketika tubuhnya membeku mendengar penuturan Anggara.

"Aku kesal, di bilang pura-pura peduli sama kamu." Anggara ikut merebahkan dirinya di samping Lyana menatap langit-langit.

"Terus kalau bukan Kak Gara yang memalsukan tanda tanganku, lalu siapa?" ujar Lyana yang memiringkan tubuhnya menghadap Anggara.

"Ayahmu," ujar Anggara lirih, kini wajah mereka berdua saling berhadapan.

"Ayah?" Hatinya mencelos, mata indah itu berkaca-kaca. Laki-laki yang Lyana anggap cinta pertamanya itu sudah seperti menjual barang dagangan ke orang lain dengan syarat yang tidak masuk akal.

Mata Lyana mengerjap, air matanya luruh. Isak tangisnya memenuhi kamar itu.

"Ayah jahat!"

"Ayah jahat!"

Lyana merancau kesana kemari, rambutnya berantakan.

"Hua! Ayah tega, kenapa Ayah lakukan ini!"

"Apa aku bukan putri kandung Ayah!"

Anggara jadi iba, istrinya terlihat sangat menyedihkan.

Beberapa kali dia meraih tubuh Lyana berusaha mendekapnya, namun selalu ditolak.

Anggara memberi waktu Lyana untuk menumpahkan semua kesedihan yang ada di hatinya. Sampai lelah perempuan itu akhirnya tertidur, masih dengan pipinya yang basah. Baru setelah itu, dia mengusap rambut Lyana, mendekapnya erat sambil mengusap punggungnya.

.

.

.

.

.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!