_Simple Komedi horor_
Demian, seorang anak miskin yang mencoba kabur dari bibi dan pamannya malah mendapat kesialan lain. Ya.. ia bertemu dengan seorang pemuda sebayanya yang tidak masuk akal dan gila. Lantas apakah Demian akan baik-baik saja??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelarian
Langit sore itu berwarna tembaga, seperti luka yang terbuka di balik awan. Di antara riuh kendaraan dan debu jalanan kota kecil itu, suara merdu seorang remaja memecah hiruk-pikuk. Demian, dengan rambut kusut dan baju usang, berdiri di trotoar sempit, gitar akustik reyot di tangan, menyanyikan lagu yang tak asing di telinga siapa pun yang melintas. Suaranya bersih, bening, seperti aliran sungai di musim hujan—tak sempurna, tapi penuh kehidupan.
Orang-orang kadang berhenti sejenak, melempar recehan ke kotak sepatu usang di depannya. Sebagian hanya lewat tanpa menoleh, tapi itu tak membuat Demian berhenti bernyanyi. Setiap bait lagu adalah harapan, setiap nada adalah doa. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk keluarga bibinya—satu-satunya tempat ia berpulang sejak kedua orang tuanya meninggal saat ia berumur delapan tahun.
Ia mengelap keringat dengan punggung tangannya, memandangi matahari yang mulai tenggelam di balik gedung tua. Hari itu hasilnya lumayan. Ia menurunkan kotak uang, menghitung cepat, lalu menyimpannya ke dalam kantong celana. Dengan gitar di punggung, Demian melangkah menyusuri jalanan, berusaha tiba sebelum makan malam.
Rumah bibinya terletak di gang sempit, berdinding papan, dengan atap seng yang bergemerisik kalau hujan turun. Ia mengetuk pintu dan menunggu. Tak ada jawaban. Perlahan ia dorong daun pintu yang ternyata tak terkunci. Suara dari dalam membuatnya berhenti melangkah.
“Kalau dijual ke Singapura, kita bisa dapat 15 juta langsung. Cukup buat bayar utang dan beli motor baru,” suara pamannya terdengar pelan tapi tegas.
“Tapi dia masih bocah, Mas. Emangnya yang di sana mau?” sahut suara bibinya, ragu tapi tak sepenuhnya menolak.
“Mau! Mereka butuh anak buat kerja di restoran. Gampang diatur. Yang penting kita bilang ke Demian kalau dia bakal kerja bagus, dikasih tempat tinggal, dikasih makan. Lagian, dia bukan anak kita,” lanjut pamannya sambil tertawa dingin.
Dunia Demian seperti runtuh dalam sekejap. Kakinya lemas. Ia mundur perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Gitar reyot yang ia lepaskan dari punggung ketika sampai didepan rumah, kini terlepas dari genggamannya dan jatuh, menimbulkan suara bising yang tentu saja mengagetkan paman dan bibinya yang sedang berdiskusi di dalam rumah.
“Siapa itu?” suara pamannya berubah siaga.
Demian berbalik dan berlari, tak sempat menutup pintu. Ia melesat melangkahi teras rumah, napasnya memburu. Di belakang, suara bentakan pamannya menggema, diikuti langkah kaki berat yang mengejar. Bibinya juga ikut, berteriak menyuruhnya berhenti.
“Demian! Dengar dulu! Demi kebaikanmu juga!”
Tapi Demian tak mau mendengar. Yang ia tahu, ia hanyalah alat tukar. Mata uang hidup. Dan sekarang, mereka akan menjualnya seperti barang bekas. Semua yang ia lakukan hanya sia-sia. Dialah satu-satunya tulang punggung keluarga di rumah ini, paman dan bibinya sungguh tak pernah membantu dalam menafkahi apapun, malah Demian lah yang menafkahi mereka. Tapi ternyata balasan mereka seperti itu.
Ia belok tajam ke arah jalan besar, napasnya makin berat, jantungnya berdegup kencang. Di kejauhan, ia melihat sebuah truk kurir berhenti, supirnya sibuk memeriksa dokumen di warung seberang. Tanpa pikir panjang, Demian berlari ke arah belakang mobil, mendapati pintu box terbuka. Kotak-kotak besar tertata rapi, dan satu di antaranya terbuka, sebesar peti mati. Tanpa ragu, ia melompat masuk dan menarik tutup kotak di atas tubuhnya.
Ia berbaring diatas sesuatu yang lembut dan kenyal, punggungnya merasa ada sesuatu yang seperti... bentuk tubuh wanita, tapi terbungkus oleh plastik yang membuatnya bergemerisik tiap Demian bergerak. Ini bukan kasur, meskipun empuk.
Gelap. Pengap. Jantungnya berdentum lebih keras dari sebelumnya. Ia bisa mendengar langkah kaki pamannya mendekat, suara mereka bercampur panik dan marah.
“Ke mana dia? Barusan masih di sini!”
“Cari ke gang sebelah! Jangan sampai bocah itu kabur! Dia satu-satunya benda yang bisa digunakan untuk mendapatkan uang dan membayar hutang!!" tukas yang lainnya.
Langkah-langkah itu menjauh perlahan. Demian menahan napas selama yang ia bisa. Di dalam kotak itu, dunia seperti diam. Hanya suara detak jantung dan bisikan takut yang mengisi ruang sempit. Keringat mengucur deras, terlebih lagi tutup peti tadi begitu berat hingga ia kesulitan untuk membukanya.
Tak lama kemudian Demian terkesiap, suara dentuman pintu box truk tertutup. Suara mesin menyala dengan getaran tak menentu yang di rasakan Demian, dan kendaraan itu mulai bergerak, membawa Demian entah ke mana.
Demian berusaha membuka pintu, namun tenaganya tak cukup kuat untuk melakukan itu. Ia lelah seharian bekerja tanpa makan, dan sekarang harus terkurung dalam tempat gelap seolah menyambut kematiannya.
Usaha tak pernah mengkhianati hasil, tapi kali ini Demian tak mau berusaha. Ia memilih diam dan membiarkan mobil truk membawanya entah kemana. Untuk apa ia berusaha? Toh hidupnya sudah tak berguna lagi, ia tak ada keluarga yang benar-benar tulus dan tak ada tempat untuk kembali. Ia.. sudah mati. Memang sudah lama mati bersama kedua orang tuanya.
Di balik gelap dan sempitnya kotak, air mata Demian jatuh tanpa suara. Ia menggenggam ujung jaket lusuhnya, berusaha mengusir rasa dingin dan takut. Ia merasa dingin ditempat tertutup dan pengap. Ini bukan perihal cuaca, tapi hatinya merasa terluka. Dan ia takut, kemana kah semesta akan membawanya?? Hidupnya sudah keras, tapi dikhianati orang yang ia sebut keluarga—itu luka yang lain.
Sekarang Demian sebatang kara yang terombang-ambing. Tak ada tujuan dan tempat kembali. Tak ada keluarga lagi, tak ada teman yang menemani. Semuanya hilang bersama debu jalanan, dimana truk menyusuri setiap kelamnya meski tak temaram.
Namun, di tengah ketakutan itu, ada satu hal yang tetap hidup dalam dirinya: harapan. Ia tak tahu ke mana truk itu akan membawanya. Ia tak tahu bagaimana ia akan hidup besok. Tapi ia tahu satu hal: selama ia masih bisa berdoa dan mempercayai takdir Allah, selama napasnya belum putus, ia tak akan berhenti melawan takdir. Allah bersamanya, ia mendapatkan apa yang tak dimiliki anak seusinya yang lain. Doa seorang anak yatim piatu, meskipun itu adalah hal yang tak selayaknya dibanggakan, tapi ia.. hanya punya itu.
Dan di tengah kegelapan itu, Demian berdzikir pelan-pelan, hanya untuk dirinya sendiri. Berharap apa yang digariskan Allah, adalah suatu hal yang lebih baik dari apa yang terjadi kini. Bahwa Allah punya hal yang lebih baik, hanya saja ia belum memahami.
Truk terus melaju, menuju si pemilik kotak yang sebentar lagi akan segera menemukan satu barang lain yang tak pernah ia pesan sebelumnya. Barang yang disebut sebagai manusia hidup dengan segala praharanya.
Pertanyaannya.. siapa yang akan menemukan Demian?
Bersambung...
kalou gak kena pasien akan ngebalik ke yang ngobatin maka jangan main main dengan peran dukun karena itu akan kembali ke kita kalau kekuatanya lebih kuat dari kita
semangat terus KA rimaaa, penasaran banget kelanjutan nyaa.
bikin penasaran