NovelToon NovelToon
Si PHYSICAL TOUCH

Si PHYSICAL TOUCH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Beda Usia / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Harem
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: gadisin

Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.

"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.

"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.

Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.

Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ulang Tahun

Setelah tepukan tangan yang meriah, suasana di dalam rumah besar bak istana itu seketika hening ketika sang kepala keluarga angkat suara.

"Selamat ulang tahun, Putriku. Ini adalah salah satu dari sekian banyak kado yang kamu terima. Tapi ayah tahu kamu juga punya keinginan lain, jadi malam ini katakanlah." Suara tuan Oldrich Jay yang berat dan tegas mengisi seluruh penjuru rumah. Dengan senyum khasnya tangannya terulur memberikan sebuah kotak sedang pada gadis remaja dengan balutan gaun indah diatas betis. Gadis itu adalah anaknya.

Tangan kecil yang seputih salju itu menerima kado ulang tahun dengan senyum lembut sambil menunduk sedikit tanda kehormatan pada ayahanda.

"Terima kasih, Ayah."

PROK! PROK! PROK!

Suasana kembali meriah setelah gadis itu berterima kasih. Bapak-anak itu berpelukan sayang. Hingga beberapa saat tuan Oldrich Jay kembali bersuara.

"Katakan, apakah ada yang kamu inginkan selain kado-kado ini?"

Senyum gadis itu tak pernah luntur. Kasih sayang dilimpahkan keluarganya tak pernah luntur. Dia diperlakukan layaknya putri raja.

Tanpa canggung dan segan dia mengangguk, "ya, Ayah."

Tangan besar tuan Oldrich Jay terulur menyentuh pipi anaknya, "katakanlah, Nak. Apa yang kamu inginkan?"

Dengan senyum penuh arti, sorot mata gadis itu tertuju pada sosok tinggi diantara manusia-manusia pendek yang berdiri didepannya menutupi setengah badan tinggi menjulangnya.

Melihat itu, tuan Oldrich Jay mengikuti arah pandang sang anak. Bukan hanya tuan Oldrich Jay saja, seluruh tamu dan pelayan ikut menoleh pada satu titik manusia yang berdiri di pojok ruangan.

"Ebha. Saya menginginkan Ebha menjadi kekasih saya, Ayah."

-PAGI SEBELUM ACARA ULANG TAHUN-

Setiap pagi gadis remaja itu selalu bangun tepat waktu, tapi pagi ini dia begitu semangat. Setelah matanya terbuka, senyumnya langsung mengembang.

Alasannya, pertama karena hari ini adalah ulang tahunnya dan yang kedua hari ini usianya telah tujuh belas tahun. Dia sama seperti gadis lainnya yang menunggu angka tujuh belas yang mengartikan kedewasaan dan kebebasan.

Karena sekarang adalah ulang tahunnya, dia ingin merepotkan semua orang. Cukup aneh karena biasanya yang kerjai adalah mereka yang berulang tahun, tapi tidak baginya. Dia berbeda.

Tangan kecilnya terulur mengambil telepon genggam yang biasa digunakan untuk memanggil pelayan dengan nomor-nomor khusus yang telah dibuat.

"Satu, empat, lima, lima, nol, sembilan." Ejanya menekan angka pada papan telepon. Telinganya sudah menempel pada telepon, tinggal menunggu suara dari seberang.

Sedetik.

"Selamat pagi, Nona Merzi. Ada yang anda butuhkan?"

Mendengar suara bass itu membuat Merzi menggigit bibirnya gemas. Dia menahan senyum dan menggenggam gagang telepon lebih erat.

"Pagi, Ebha. Ya. Masuklah ke kamar. Merzi membutuhkan bantuan."

"Saya segera kesana."

"Baiklah."

Panggilan terputus. Merzi setengah duduk dengan menyenderkan punggungnya pada kepala ranjang. Menunggu.

Dia melihat pintu tinggi dengan ukiran bunga indah ditambah aksen emas yang membuat pintu itu terlihat begitu mewah. Lalu perhatian teralih pada cermin besar yang berjarak cukup jauh dari kamar besarnya tapi masih bisa melihat pantulan benda dengan jelas. Tangannya menyisir sedikit rambut putih tulangnya yang panjang.

Matahari diluar sana belum sepenuhnya terbit. Suasana kamar Merzi terang dengan lampu tidur yang menenangkan. Tapi perlahan cahaya matahari mulai masuk dari celah-celah jendela dan ventilasi dibeberapa sisi kamar.

Merzi menghela napas. Kepalanya menoleh pada jam dinding antik besar yang berdiri disudut kamar, menghadap padanya.

"Kemana Ebha? Kenapa lama sekali?" Padahal dia baru menutup telepon beberapa detik yang lalu, tapi Merzi sudah dilanda bosan. Perlahan dia turun dari ranjang. Kaki halusnya menyentuh lantai marmer yang berkilau.

Sekali lagi sebelum melangkah menuju pintu, Merzi menatap pantulan dirinya dari cermin. "Cantik," pujinya kemudian.

Gaun tidurnya menjuntai menyentuh lantai, dengan langkah pasti Merzi membawa kaki ke depan pintu. Tapi tiga langkah lagi tangannya menyentuh gagang pintu, bel yang disediakan diluar kamarnya berbunyi menandakan seseorang datang. Lalu disusul dengan suara yang memanggil namanya,

"Nona Merzi, saya Ebha."

Merzi pikir Ebha akan datang lebih lama, dia tidak siap akan sapaan tiba-tiba itu hingga kakinya salah langkah dan menginjak gaun tidurnya.

"Aw!" Aduhan kecilnya terdengar hingga keluar. Kamarnya memang tidak begitu kedap suara ditambah Ebha itu tajam pendengaran dan penglihatannya.

"Nona Merzi! Apa yang terjadi?" Suara Ebha naik seoktaf. "Apakah anda baik-baik saja? Bolehkah saya masuk, Nona?"

"Masuklah, Merzi tidak mengunci pintu."

Ceklek!

Hal pertama yang didapati Ebha adalah penampakan Merzi yang jatuh terduduk dengan kepala terdongak tinggi menatapnya. Wajahnya cantik si rambut putih tertutup oleh surai indahnya.

Ebha langsung mendekat dan berjongkok. Rautnya panik dan khawatir. "Apa yang nona lakukan disini?"

Merzi menikmati wajah penuh tanya Ebha. Dia menjawab singkat, "terjatuh."

"Terjatuh? Kenapa nona bisa terjatuh?"

Merzi meniup helaian rambut didepan mata yang menghalangi penglihatannya. Aksi itu membuat Ebha mengedip sekali karena rambut putih itu menampar pelan wajahnya.

"Apakah kamu akan terus bertanya, Ebha? Tanpa membantu Merzi?"

Pertanyaan itu bagai sindiran yang menyadarkan Ebha. "Ah, ya, maafkan saya, Nona."

Lalu tubuh seringan kapas itu melayang di udara. Ebha mengangkat Merzi dengan mudah tanpa mengeluarkan tenaga yang seberapa. Dibelakang mereka, pintu otomatis tertutup, menyisakan dua manusia didalam kamar luas nan besar itu. Majikan dan pelayan.

Tangan Merzi menggantung diatas leher Ebha. Jika kaki kecilnya melangkah sepuluh langkah lebih dari ranjang menuju pintu, maka Ebha akan mempersingkat langkah menjadi lima langkah atau kurang dari itu.

Perlahan Ebha menunduk guna menurunkan Merzi diatas kasur. Dia menahan tubuhnya tetap bungkuk saat Merzi sudah mendarat sempurna diatas peraduan. Seharusnya dia sudah menjauh, tapi nona kecil ini malah menahan lehernya.

"Nona Merzi, biar saya periksa kaki nona." Ujar Ebha berusaha menjaga jarak agar wajahnya dengan majikan tak terlalu dekat.

Merzi diam tak mendengar. Dia semakin menarik leher Ebha mendekat. Matanya meneliti wajah tegas Ebha yang tampan dengan bulu-bulu halus diatas pria itu.

"Ebha …."

"Nona." Tangan besar Ebha menggenggam pelan pergelangan tangan Merzi yang menahan lehernya. Dia harus segera menjauhkan diri. "Nona … saya—"

Merzi langsung menarik tangannya ketika sebelah tangan Ebha menyentuh pinggangnya. Dia tak suka sentuhan yang disengaja atau tidak, kecuali jika itu diperlukan. Seperti Ebha yang menggendongnya tadi. Yang itu Merzi tidak mempermasalahkan.

Ebha pun langsung menarik diri kala lehernya dilepas. Dengan sembunyi dia menghela napas lega. Tubuhnya kembali tegap disamping ranjang.

"Apakah saya perlu memanggil dokter untuk mengobati nona?"

"Buat apa?"

"Bukankah nona bilang jika nona terjatuh didepan pintu?" Ebha melirik tempat Merzi jatuh. "Biar saya panggil dokter jika nona merasa sakit."

Kepala Merzi perlahan menggeleng. Dia bergeser sedikit untuk menurunkan kakinya. Kini dia kembali berhadapan dengan Ebha.

"Tidak perlu."

Ebha melihat kaki Merzi yang menjuntai. Otaknya berpikir bahwa kaki Merzi yang sakit. "Kaki nona terluka? Biarkan saya memeriksanya?"

Merzi mendongak menatap Ebha yang menunggu persetujuannya. Dia mundur sedikit agar kakinya lebih menggantung diatas ranjang, lalu mempersilahkan Ebha, "baiklah, Ebha. Merzi menginjak gaun tidur tadi."

Begini lebih baik. Ebha punya pekerjaan lain untuk mengalihkan perhatiannya. Dia mulai berlutut dihadapan Merzi. "Mana yang sakit, Nona?"

"Sebelah kiri."

Setelah itu dengan penuh kehati-hatian Ebha mengangkat kaki kiri Merzi untuk menyentuh pahanya yang ditekuk. Pertama dia menggoyangkan pergelangan kaki Merzi sambil memeriksa raut wajah nona kecil.

"Ssttt."

Ternyata disana pusat sakitnya. Baiklah, ini perihal kecil. Ebha mampu mengatasinya dengan cepat.

"Tahan sedikit, Nona, ini sedikit sakit."

"Hmm."

Merzi memperhatikan Ebha dengan seksama. Sebenarnya kakinya tidak sakit sama sekali. Bahkan dia lupa kaki sebelah mana yang menginjak gaun tidurnya.

"Aw!—" telapak kecilnya memegang pundak Ebha sambil meremas kecil, "—lebih pelan, Ebha. Itu sakit."

Mendengar suara ringisan sang nona membuat Ebha menghentikan pijatannya. Dia melirik sebentar pundaknya yang di remas Merzi lalu menatap wajah kecil Merzi yang terpejam.

"Maaf, Nona." Kali ini dia lebih lembut. Pijatannya sekarang bukan hanya pada pergelangan kaki, tapi sudah sampai pada telapak lalu menyentuh betis bawah Merzi.

Pijatan Ebha terus berlanjut. Entah karena Merzi keenakan atau karena hal lain. "Ebha," panggilnya kemudian.

"Saya, Nona." Ebha menyahut cepat. Kini pijatannya beralih pada kaki kanan Merzi.

"Ebha, tatap Merzi." Tangan kecil dan lembut itu semakin berani. Merzi menangkup rahang Ebha lalu menariknya keatas guna mendongak menatapnya.

Bukan hal biasa bagi Ebha dengan sikap Merzi ini. Tapi dia menuruti ingin nona kecil.

"Apakah kamu melewatkan sesuatu, Ebha?" Tanya Merzi dengan jempol yang mengelus pipi kasar Ebha yang mulai ditumbuhi bulu-bulu.

Ebha melarikan pandangannya. Dia hanya bisa pasrah ditatap dan perlakuan Merzi seperti ini. Menyentuh-nyentuh wajahnya. Pria itu mengangguk singkat.

"Maafkan saya, Nona Merzi. Dan selamat ulang tahun."

Senyum Merzi semakin lebar. Dia menurunkan tangannya untuk menyentuh lengan keras dan besar Ebha.

"Berdirilah, Ebha." Pintanya.

Ebha berdiri perlahan disusul dengan Merzi. Telapak tangan kanan Merzi terulur. Dia harus mendongak demi menatap Ebha.

Sekarang Ebha dibuat bingung. Apa maksud uluran tangan ini? Keningnya berlipat lalu menatap Merzi bergantian.

"Maaf, Nona?"

"Hadiah. Tidak cukup hanya mengatakan selamat ulang tahun, Ebha. Apalagi ini adalah sweet seventeen Merzi."

Oh, hadiah. Barulah dia paham. Ebha membalas senyum Merzi. "Saya sudah mempersiapkan hadiah untuk nona."

Merzi menggoyangkan telapak tangannya. "Mana hadiah itu?"

"Saya akan mengambilnya di kamar."

Kepala Merzi menggeleng. "Merzi ingin hadiahnya sekarang."

"Saya akan mengambilnya sekarang nona. Tunggulah sebentar."

Merzi menggelang lagi. Kali ini lebih banyak. "Sekarang itu, detik ini juga, Ebha."

Dalam hati Ebha menggeram. Dia menunduk, "maaf, Nona, saya tidak membawa hadiahnya sekarang dan detik ini juga. Jika nona tidak keberatan saya akan mengambilnya dalam lima detik."

Merzi mengulum bibir. Dia menarik kembali tangannya dan bersedekap. "Merzi tetap ingin detik ini juga."

Sial! Kali ini Ebha mengumpat dalam hati. Dia tidak kesal pada Merzi, tapi pada dirinya sendiri.

"Nona bisa menghukum saya atas ketidaksigapan saya, Nona." Ujar Ebha mundur selangkah dan semakin menunduk dalam.

"Ck." Merzi berdecak. Dia mendekati Ebha lalu memiringkan kepala dengan sedikit merunduk untuk mengintip wajah Ebha. "Tidak mungkin Merzi menghukum Ebha dihari bahagia Merzi. Jangan menunduk."

"Baik, Nona. Terima kasih."

"Iya."

Ebha mengangkat wajah lalu memandang kearah Merzi. Tapi dia harus tetap menunduk karena perbedaan tinggi mereka yang sangat jauh.

"Merzi tetap ingin hadiah ulang tahun dari Ebha. Sekarang. Tapi …." Kaki polos Merzi yang menyentuh lantai menyentuh sepatu pantofel mengkilat yang dipakai Ebha. "….Ebha bisa memberikan hadiah lain yang Merzi inginkan. Sekarang. Detik ini juga."

Dengan yakin Ebha mengangguk mengiyakan, berbisik dalam hati bahwa hadiah yang diinginkan tuan putri ini tidaklah sulit didapatnya sekarang. Pasti ada sekitar kamar sang nona.

"Saya akan memberikan apapun yang nona Merzi inginkan."

"Merzi ingin mencium Ebha."

1
_senpai_kim
Gemes banget, deh!
Diana
Aduh, kelar baca cerita ini berasa kaya kelar perang. Keren banget! 👏🏼
ASH
Saya merasa seperti telah menjalani petualangan sendiri.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!