Seorang mahasiswa cupu yang hidupnya terkurung oleh penyakit langka, menghembuskan napas terakhirnya di ranjang rumah sakit. Tanpa dia duga, kematian hanyalah awal dari petualangan yang tak terbayangkan. Dia terbangun kembali di sebuah dunia fantasi yang penuh sihir dan makhluk-makhluk aneh, namun dalam wujud seorang anak laki-laki berusia lima tahun bernama Ahlana. Ironisnya, dia terlahir sebagai budak.
Di tengah keputusasaan itu, sebuah Sistem misterius muncul dalam benaknya. Sistem ini bukan hanya memberinya kesempatan untuk bertahan hidup, melainkan juga kekuatan luar biasa: kemampuan untuk meng-copy ras makhluk lain beserta semua kekuatan dan kemampuan unik mereka. Namun, ada satu syarat yang mengubah segalanya: setiap kali Ahlana mengaktifkan kemampuan copy ras, kepribadiannya akan berubah drastis, menyesuaikan dengan sifat alami ras yang dia tiru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Sanaill, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Terjebak di Rawa Kehidupan Baru
Bau anyir tanah basah bercampur aroma busuk kotoran hewan menusuk hidungku, sebuah aroma yang sama sekali asing dari wangi antiseptik rumah sakit atau aroma kopi instan yang jadi teman begadang. Tubuhku terasa remuk redam, setiap otot menjerit protes seolah baru saja dipaksa memanggul beban seribu ton. Kelopak mata yang terasa seberat timah akhirnya terbuka perlahan, menyingkap langit abu-abu yang dihiasi awan berarak malas. Ini bukan langit-langit plafon kamarku, bukan pula lampu neon ruang ICU.
“Sialan...” desahku, sebuah kutukan familiar yang dulu sering keluar dari bibirku saat deadline tugas menumpuk. Namun, suara yang keluar kini hanyalah rintihan kecil seorang anak. Suara serak, cempreng, dan jauh dari beratnya vokalku dulu. Astaga, ini mimpi buruk macam apa?
Aku, seorang mahasiswa akut yang menghabiskan dua puluh tiga tahun hidupnya bergulat dengan buku-buku tebal dan penyakit langka yang menggerogoti, kini mendapati diriku teronggok di tengah lumpur. Celana kumal dan kemeja lusuh yang kebesaran membungkus tubuh kecilku. Tangan-tangan mungilku yang kotor mencoba mengusap wajah, namun hanya merasakan pipi tirus dan hidung pesek. Ini bukan aku. Ini… bocah ingusan.
Kilasan memori terakhir menerjang benakku, terasa begitu nyata dan menyakitkan. Monitor detak jantung yang melambat hingga berhenti, tatapan cemas kedua orang tuaku yang memudar di batas pandang, dan kegelapan absolut yang merenggut kesadaranku. Aku mati. Itu pasti. Lalu, apa ini? Reinkarnasi? Apakah aku baru saja mendapatkan kesempatan kedua, ataukah ini hanyalah bentuk neraka yang lebih kreatif?
“Bangun, dasar bocah pemalas! Matahari sudah di ubun-ubun dan kau masih saja bermimpi jadi raja!” sebuah tendangan keras mendarat di tulang rusukku. Aku terkesiap, rasa perih menusuk hingga ke ulu hati. Sesosok pria kekar dengan cambuk di tangan, wajahnya dipenuhi kumis lebat dan seringai kejam, berdiri menjulang di atasku. Matanya menyorotkan kebencian yang mendalam, seolah aku adalah sampah paling menjijikkan di muka bumi ini.
“Cepat kerja! Atau kau mau kupastikan kau tidur selamanya di rawa ini, hah?!” dia mengayunkan cambuknya, membuat suara crack tajam di udara yang cukup untuk membuatku bergidik.
Aku bangkit tergagap, rasa sakit menjalar di sekujur tubuh. Ratusan pasang mata anak-anak lain menatapku, ekspresi mereka kosong, lelah, dan penuh ketakutan. Kami semua budak. Budak di tempat terkutuk ini, yang kelihatannya seperti perkebunan atau mungkin tambang, entahlah. Lumpur di mana-mana, bau busuk yang tak kunjung hilang, dan bisikan putus asa yang terus-menerus menguar dari setiap sudut.
Namaku... entah apa nama anak ini. Tapi si pria cambuk tadi menyebutku Ahlana. Ahlana. Nama yang aneh, dan sepertinya takdirku di sini jauh lebih aneh. Selama beberapa hari pertama, aku berusaha keras memahami situasi ini. Ingatan bocah Ahlana samar-samar. Yang jelas, dia—atau aku—terjebak di sini sejak lahir, tidak tahu apa-apa selain kerja keras, cambuk, dan kelaparan. Ini menjijikkan. Aku benci situasi ini. Aku benci diperintah, apalagi oleh bajingan kasar seperti si pria cambuk yang kemudian kuketahui bernama Tuan Grom. Instingku untuk memprovokasi musuh, yang dulu kupikir sudah mati bersama tubuh lamaku, tiba-tiba bergejolak seperti api yang baru disiram bensin.
Suatu sore, saat Tuan Grom menghampiriku yang tengah berjongkok di samping tumpukan lumut—pekerjaan kami hari ini adalah membersihkan lumut dari bebatuan di tepi rawa—senyum licik merekah di bibir pucatku. Sebuah ide jahil melintas.
“Wah, Paman Grom,” ujarku dengan suara yang kuusahakan seprovokatif mungkin, dengan nada manja yang dibuat-buat, “perutmu makin buncit saja, ya? Apa karena terlalu banyak makan jatah kami? Pantas saja tubuh Paman kekar sekali, padahal kerjaannya Cuma cambuk-cambuk saja. Tidak seperti kami, kurus kering.”
Matanya langsung menyala. Itu berhasil. Cambuk itu langsung menghantam punggungku, perihnya menusuk hingga ke tulang. Namun, aku tak menahan seringaiku. Dia mendidih. Bagus. Reaksi yang sangat memuaskan.
“Berani sekali kau, bocah tengik!” teriaknya, wajahnya memerah padam seperti kepiting rebus. Urat-urat di lehernya menonjol jelas. “Akan kuhajar sampai kau tak bisa bicara lagi dan busuk di rawa ini!”
Cambuknya kembali mengayun, kali ini lebih brutal. Aku hanya bisa melindungi kepalaku dengan tangan, pasrah menerima rentetan sabetan yang terasa seperti palu godam menghantam tubuhku yang ringkih. Aku menggigit bibir, menahan erangan yang akan memberinya kepuasan lebih. Tapi di tengah rasa sakit yang tak tertahankan, sebuah suara aneh muncul di benakku, sebuah suara robotik, tanpa emosi, namun terasa begitu nyata, seolah ada chip yang tertanam di otakku.
[Identifikasi Ancaman: Tingkat Bahaya Tinggi]
[Target: Grom, Penjaga Budak – Status: Agresif, Intensi Membunuh Rendah, Menyakiti Tinggi]
[Mengaktifkan Sistem Reinkarnasi: Pindai Ras Terdekat...]
[Ras Terdeteksi: ‘Goblin Pekerja’ – Level 3. Atribut Khas: Kelincahan Peningkatan, Indera Penciuman Tajam, Keberanian Semu. Kelemahan: Mudah Panik, Kekuatan Fisik Rendah.]
[Apakah Anda ingin meng-copy ras ini? Konsekuensi: Perubahan Atribut Fisik dan Kecenderungan Kepribadian Sementara. (Ya/Tidak)]
Mataku terbelalak, kaget bukan main. Sistem? Apa-apaan ini? Copy ras? Ini bukan mimpi, ini nyata! Aku bahkan sempat melirik tanganku sendiri yang gemetar, takut tiba-tiba berubah jadi hijau dan keriput. Tapi... ancaman? Kesempatan? Ini mungkin satu-satunya tiket keluar dari neraka ini!
“Ya!” bisikku, tak peduli rasa sakit yang masih menguasai. Itu bukan lagi pilihan, itu adalah kebutuhan.
Seketika itu juga, sensasi aneh nan intens menjalar di seluruh tubuh. Kulitku terasa gatal, otot-ototku menegang dan kemudian rileks dengan cara yang aneh, dan tulang-tulangku seperti bergeser, membuat suara gemeretak kecil yang hanya bisa kudengar. Dunia di sekitarku tiba-tiba tampak sedikit lebih besar, atau mungkin aku yang menyusut? Bau tanah dan kotoran tiba-tiba terasa lebih tajam, bahkan bau keringat Tuan Grom yang menyengat kini tercium jelas, pendengaranku juga meningkat drastis, bisa membedakan bisikan angin dari desahan para budak di kejauhan.
Saat cambuk Tuan Grom kembali mengayun, kali ini dengan kekuatan penuh, aku melihatnya dengan jelas, seolah waktu melambat menjadi gerakan lamban. Refleksku meningkat tajam, pikiran yang cepat muncul di benakku. Dengan gerakan aneh yang entah dari mana datangnya, sebuah kombinasi antara menghindar, merunduk, dan meluncur, aku berhasil menghindar dari ayunan cambuk itu lalu menyelinap di antara kedua kakinya. Kakiku yang kini pendek tapi entah kenapa terasa lincah luar biasa, berlari zig-zag, membuat si pria cambuk mengayunkan cambuknya ke udara kosong, nyaris mengenai lututnya sendiri.
“Apa-apaan ini?!” teriaknya kaget, matanya melotot. Dia pasti tidak menyangka bocah cilik yang ringkih ini bisa lolos dari serangannya.
Aku menoleh, menyeringai lebar. Seringai goblin. Wajahku mungkin belum berubah total secara fisik—masih wajah bocah Ahlana, pucat dan kotor—tapi indra dan instingku sudah sepenuhnya beradaptasi. Sebuah pikiran melintas: Aku ingin menusuk tumitnya! Menggigit betisnya! Atau paling tidak, membuat dia tersandung dan jatuh ke lumpur! Dorongan impulsif untuk melakukan kekacauan kecil muncul begitu saja, bukan dari pikiranku sendiri.
Tentu saja, aku tidak punya pisau, dan menggigit betisnya sepertinya bukan ide yang baik. Tapi aku punya ide lain yang lebih menjengkelkan. Aku melompat, menabrak betisnya dengan keras, lalu berguling ke samping dengan gerakan yang tak terduga. Tuan Grom, yang sedang memutar tubuh untuk mengayunkan cambuk lagi, kehilangan keseimbangan. Dengan raungan frustrasi, ia terhuyung-huyung, kakinya berselip di lumpur, dan BRUK! Ia jatuh terduduk, celananya kini penuh lumpur pekat.
Aku tertawa cekikikan, tawa yang sedikit serak dan menjengkelkan—tawa goblin yang riang atas musibah orang lain. Para budak lain yang tadinya tegang kini menahan tawa, beberapa bahkan menyunggingkan senyum samar.
“Dasar bocah sialan! Jangan harap kau bisa lari!” raungnya, matanya dipenuhi amarah bercampur sedikit ketakutan. Dia tahu ada yang aneh. Bocah ini, Ahlana, selalu rewel dan provokatif, tapi tidak pernah seberani atau secekatan ini.
“Paman, Paman! Main yuk! Kejar aku!” seruku, menirukan suara anak kecil yang menjengkelkan, dengan sedikit nada barbar ala goblin yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja aku merasa dorongan kuat untuk berlari, untuk membuat dia mengejarku hingga kelelahan. Itu adalah insting ras goblin: kelincahan dan kemampuan untuk kabur, bahkan jika itu hanya untuk menjahili.
Aku melesat di antara barak-barak kumuh tempat para budak tidur, sengaja memancingnya. Ini akan jadi petualangan yang menarik, bukan? Siapa sangka, kematian hanyalah pintu gerbang menuju hidup yang jauh lebih gila dan penuh perubahan ini. Dan aku—atau lebih tepatnya, Ahlana—baru saja memulai permainan ini.
To be continue........