Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
“Sakit …! Rasanya sekujur tubuhku hancur.” Pikiran itu bergaung di dalam kepala Aiden seperti gema di dalam ruangan kosong. Keningnya berkerut, alisnya berkedut, dan dada terasa seperti ditekan benda berat. Ia ingin mengangkat kelopak matanya, tapi beratnya luar biasa—seolah ada timah yang menggantung di setiap bulu mata.
Cahaya samar menembus kelopak mata yang setengah terbuka. Aroma menusuk khas disinfektan dan obat-obatan menyambut penciumannya. Napasnya lirih, tak teratur, seperti baru kembali dari dasar lautan.
“Bau obat… sepertinya aku berada di rumah sakit.” Ia mulai menyusun potongan-potongan pikirannya yang berserakan.
Lalu, satu ingatan menghantam dengan kecepatan luar biasa.
“Tunggu ...? Bukankah aku mengalami kecelakaan?!”
Secepat kilat, kedua matanya terbuka penuh. Sinar lampu putih menyilaukan membuat pandangannya sedikit buram, tapi sosok pertama yang ia lihat adalah seorang perawat perempuan dengan wajah sumringah berdiri di sisi ranjang.
"Syukurlah," gumamnya dalam hati. "Sepertinya aku selamat dari kecelakaan itu."
Ada kelegaan yang menghantam dadanya—sekaligus kebingungan. Jantungnya berdebar. Ia nyaris mati dan kini masih hidup. Akan tetapi, ada sesuatu yang tak beres, sesuatu yang aneh.
“Syukurlah … karena aku tidak boleh mati sebelum mengungkap kejadian itu.” Gumaman batinnya tegas, penuh tekad.
Perawat di hadapannya tersenyum makin lebar. “Nyonya, akhirnya Anda sadar!”
Perempuan itu buru-buru menekan tombol nurse bell dan berbicara ke interkom, “Dokter, Nyonya Salvador sudah siuman!”
Aiden membeku. "Nyonya?" dahinya berkerut. Ia perlahan menoleh ke kanan dan kiri. Namun ruangan itu hanya berisi satu tempat tidur. Yaitu, hanya ada dirinya.
Kamar itu luas dan elegan. Dindingnya bersih, lantainya berkilau, serta peralatan medis modern tertata rapi. Tanda bahwa ini adalah ruangan VVIP—jenis ruangan yang memang layak untuk pewaris keluarga Salvador. Namun, tidak ada pasien lain di sana.
"Apa perawat itu sudah gila memanggilku Nyonya? Rumah sakit apa ini tidak bisa membedakan pria dan wanita?" pikir Aiden penuh kesal. Ia mencoba membuka mulut, namun otot rahangnya seperti membeku. Tak satu pun kata keluar. Tenggorokannya perih, seakan disiram pasir dan api sekaligus.
Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka. Seorang dokter laki-laki melangkah masuk, diikuti oleh seorang perawat lainnya. Mereka langsung menghampiri tempat tidur dan mulai melakukan pemeriksaan menyeluruh dengan penuh ketelitian.
“Tekanan darah stabil, pupil normal,” ucap si perawat.
“Sirkulasi darah juga baik. Ini luar biasa. Suatu keajaiban bisa selamat dari kecelakaan maut itu … meski sempat koma selama seminggu,” ujar dokter dengan nada puas, seakan bangga dengan keberhasilan tim medisnya.
Aiden hanya bisa memandangi mereka dengan tatapan kosong. Kata demi kata terdengar seperti suara-suara dari lorong jauh—aneh, asing, tidak masuk akal.
"Kecelakaan maut ...? Berarti ada korban yang meninggal," pikir Aiden ngeri. Napasnya memburu. "Apa ... Rachel yang meninggal?"
Ingatan akan kejadian seminggu lalu menyeruak—kilat menyambar, papan reklame jatuh, suara dentuman yang memekakkan, dan teriakan Rachel yang menggema seperti gema neraka.
Jantung Aiden mencelos. Jika Rachel benar-benar meninggal, maka semua tuduhannya ... amarahnya tak pernah sempat ia tarik kembali.
Akan tetapi, di tengah kepanikan itu, satu hal mengganjal lebih kuat dari segalanya. Kenapa semua orang memanggilnya “Nyonya Salvador”?
Aiden berusaha mengangkat tangannya, tapi tubuhnya terasa asing. Ia melirik ke bawah—tangan itu bukan miliknya. Kulitnya lebih halus, lebih kecil … kuku-kukunya dirawat, bahkan dicat merah muda pucat.
"Apa ini ... tangan wanita?!" pikirnya ngeri.
Napasnya tercekat. Tenggorokannya seperti dicekik bayangan yang tak kasat mata. Ia mencoba bangkit, tapi tubuh itu terasa rapuh, sakit, dan lemah.
Di saat pikirannya kacau balau, satu kenyataan menghantam keras seperti badai. Ia masih hidup. Namun, bukan lagi di dalam tubuhnya sendiri.
Sementara itu, di ruang rawat lainnya, Rachel merasa sekujur tubuhnya remuk. Tubuh yang penuh memar perlahan menggeliat kecil. Kelopak matanya bergetar, lalu terbuka perlahan seperti tirai yang disibak paksa. Cahaya lampu putih menyilaukan membuat matanya menyipit, dan rasa sakit langsung menyerang sekujur tubuhnya seperti badai yang datang tanpa peringatan.
"Sakit ... Oh Tuhan, rasanya tubuhku seperti habis dihantam truk berkali-kali."
Detak jantungnya berdetak tak beraturan. Udara yang ia hirup terasa asing. Berat. Dingin. Namun, napasnya tetap berembus dan itu berarti satu hal—ia masih hidup.
"Rupanya aku selamat dari kecelakaan itu," batinnya pelan. "Tapi … bagaimana dengan Aiden? Apa dia juga selamat?"
Belum sempat mencari tahu, tiba-tiba lengan seseorang melingkari tubuhnya. Tubuh itu memeluk erat, seolah sedang memeluk sesuatu yang sangat berharga.
"Aidenv...! Akhirnya kamu membuka mata!" suara itu terdengar lega, sekaligus mengguncang ketenangannya.
Rachel membeku. Matanya membelalak. Jantungnya mencelos. "Sandra?!"
Wanita yang selama ini menjadi duri dalam kehidupannya—mantan kekasih Aiden yang selalu mengejek dan merendahkannya—kini sedang memeluknya penuh kehangatan.
"Apa-apaan ini?! Kenapa Sandra memanggilku Aiden?" batin Rachel.
"Aku ketakutan setengah mati selama seminggu ini, Aiden," lanjut Sandra dengan suara bergetar, air matanya mengalir membasahi bahu Rachel. "Kamu nggak sadar-sadar. Aku takut kamu nggak akan pernah bangun lagi."
Rachel buru-buru mengurai pelukan itu. Sentuhan Sandra membuat kulitnya bergidik. Bukan karena jijik, tapi karena ... salah tempat. Ada sesuatu yang sangat, sangat salah di sini.
“Apa maksudmu—” Rachel merasa suara yang ke luar dari mulut bukan suara miliknya. Nada bariton berat dan rendah yang keluar dari tenggorokannya membuatnya terdiam seketika. Ia bahkan bisa merasakan getaran suara itu dari dada—bukan dari tenggorokan seperti biasanya.
"Suaraku berubah ...?!"
Panik merayap naik ke tulang belakang. Ia melirik ke tangannya—besar, kokoh, penuh urat dan kekar. "Apa ... kenapa tanganku juga berubah?!"
“Sandra,” suara itu lirih, penuh keraguan, “kenapa aku begini?”
Sandra hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. “Kamu mengalami kecelakaan, Aiden. Tapi kamu beruntung masih hidup. Seminggu kamu koma. Aku selalu di sini, menunggu kamu sadar.”
Nama itu kembali terucap. "Aiden." Nama yang seharusnya bukan untuknya.
Rachel menatap ke sekeliling ruangan. Matanya terpaku pada kaca jendela besar di sisi kiri. Cahaya redup dari luar memantulkan siluet dirinya. Pantulan di kaca itu ... "Aiden?!"
Rachel tertegun. Nafasnya tercekat. Perlahan, ia berdiri dengan tubuh yang masih limbung. Kakinya terasa lebih panjang, lebih berat. Ia melangkah ke depan kaca, nyaris terhuyung, namun tak mengalihkan pandangan dari bayangan yang terpampang di sana.
"Itu ... bukan aku. Itu Aiden." Namun ia tahu, dia sendirilah yang sedang berdiri di sana. Dalam tubuh Aiden.
Tangannya terangkat, dan bayangan itu mengikuti. Ia menyentuh dadanya, dan merasa betapa bidang dan kerasnya dada itu. Ia mengamati wajah Aiden—yang kini menjadi cerminan dirinya sendiri.
"Kenapa aku berubah menjadi Aiden ...?!" jerit hatinya. Tapi tak satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Hanya hembusan napas berat dan gemetar.
Panik, bingung, dan tak percaya. Semuanya berdesakan sekaligus di dada yang bukan miliknya.
Dengan sisa tenaga, Rachel berjalan ke luar ruangan. Langkahnya berat, tapi didorong oleh rasa ingin tahu yang tak tertahankan.
“Tuan Salvador, Anda sudah siuman. Nyonya juga baru saja sadar diri dari koma,” ucap seorang perawat yang melintas, dengan nada bahagia.
Rachel langsung menoleh, matanya tajam menyambar ke arah yang ditunjuk perawat itu. "Nyonya...? Itu ... pasti aku!"
Ia berjalan cepat, menahan nyeri di sekujur tubuh, lalu membuka pintu ruang rawat yang dimaksud. Matanya membelalak.
Di sana, tubuhnya—tubuh Rachel yang sesungguhnya—terbaring di atas ranjang pasien. Wanita itu baru saja selesai diperiksa oleh dokte dan kini tengah memandangi ke arah pintu … ke arahnya.
Detik itu juga, dua pasang mata bertemu. Keduanya saling menatap.
“Tuan Salvador, akhirnya Anda juga siuman. Kalian memang memiliki takdir yang sama. Selamat dari maut dan kini sadar dari koma pun di waktu bersamaan,” kata sang dokter, tak sadar betapa anehnya situasi yang sedang ia saksikan.
Rachel—yang kini dalam tubuh Aiden—nyaris kehilangan keseimbangan. Sementara itu, Aiden—yang kini dalam tubuh Rachel—menatap dengan mata membelalak. Tubuhnya sendiri berdiri di hadapannya.
"Kenapa tubuhku ada di sana?" pikir Aiden. Tenggorokannya tercekat. Kata-kata tak bisa ia ucapkan.
Rachel pun terpaku. Matanya tak bisa lepas dari tubuhnya sendiri. Wajahnya sendiri.
"Bagaimana bisa ...?"
Lalu keduanya tersadar dalam waktu yang sama. Mata mereka saling mengabarkan satu hal yang tak terucap.
"Jiwa kita tertukar!"
Pasangan suami-istri itu merasa dunia seperti berhenti berputar. Kenyataan baru telah dimulai—dan itu lebih menakutkan daripada kematian yang baru saja mereka lewati.
***
pelajari tuuuu muka-muka penjilat.
mendengar srmua doa dan kesakitan Rachrl..
supaya mata Aiden tervelek pada pendeeitaan Rachrk selama ini..
😀😀😀❤❤❤❤
Karena selama ini Aiden ga pernah percaya dg Rachel,,tp mudah diperdaya org" disekelilingnya
Dan bisa ngerasain di cambuk nenekmu
❤❤❤❤❤❤
😀😀😀😀❤❤❤❤