NovelToon NovelToon
Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: DUOELFA

Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.

"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.

Aku memandang putri sulungku tersebut.

"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.

Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TUHAN, MAMPUKAH AKU?

Aku terbangun dari tidur dan beranjak dari peraduan menuju ruang tamu. Kulihat sekilas ke arah dinding dan menatap jam dinding analog yang berada di ruang keluarga yang ternyata sudah menunjukkan pukul dua malam. Di ruang tamu tak kutemukan motor mas Anton, suamiku di sana. Aku sudah menduga bahwa mas Anton tak akan pulang setelah teguran kerasku kemarin karena ia saja sampai rumah menjelang pukul empat pagi. Teguran tentang melarangnya pulang malam dan game online.

"Apa kamu tetap tak akan berubah mas? Pulang pagi dan dirumah selalu game. Saat pagi, waktu aku repot dirumah, kamu malah tidur. Seharian aku capek ngurusin anak-anak, ngurusin rumah," ujarku secara beruntun pada mas Anton.

Mas Anton menatapku dengan tatapan marah.

"Kamu mau mengatur keluarga? Apa kamu mau menjadi kepala rumah tangga. Ya sudah lakukan sesuai dengan keinginanmu," ucap mas Anton dengan nada tinggi.

"Aku sudah bosan dengan sikapmu Mas. Lima belas tahun menikah kamu tak berubah sama sekali."

Mata mas Anton terlihat nanar menahan amarah.

"Bosan? Ya sudah kalo begitu. Apa maumu?"

Aku menghela napas panjang untuk menghalau pikiranku yang kalut.

"Sepertinya mas Anton belum siap untuk memiliki tanggungjawab dalamnya pernikahan yang kita lalui selama lima belas tahun ini. Menurutku mas masih asik dengan duniamu sendiri. Masih suka keluar malam, hobi game online, nongkrong di warung kopi hingga larut malam. Lebih baik kamu tuntaskan saja hobimu mas. Kamu puas-puaskan kebiasaanmu itu. Untuk sementara kita sendiri-sendiri dulu. Kita introspeksi diri. Bila kita sudah menjadi pribadi yang lebih baik, mari kita bertemu kembali dalam versi terbaik kita masing-masing untuk merawat anak kita. Sungguh, aku sudah lelah sekali saat ini mas," ujarku dengan nada rendah.

Mas Anton terperangah.

"Oh, kamu mengusirku dari rumah peninggalan bapakmu ini? Oke, aku akan menuruti keinginan. Bila aku keluar dari rumah ini, resiko tanggung sendiri. Aku gak akan memberi nafkah sepeserpun padamu," ucap mas Anton berapi-api.

Aku menatap wajahnya sekilas.

"Kamu selalu salah paham. Aku hanya ingin kita sendiri dulu. Aku sudah lelah dengan sikapmu. Untuk nafkah, bagaimana aku bisa menyukupi kebutuhan rumah. Aku tidak bekerja karena masih mengurus anak kita," ucapku membela.

Ia menatapku dengan tajam.

"Aku tak peduli. Kau juga telah mengusirku. Aku akan pergi dari sini," ujarnya sambil berjalan ke arah kamar.

Kulihat dari jauh, mas Anton mengemasi pakaiannya, menaruh di tas ransel, kemudian mengeluarkan motor matic satu-satunya milik kami dan menghidupkannya dengan kasar. Ia meninggalkan rumah saat azan Subuh berkumandang dari mushalla yang terletak tak jauh dari rumah.

"Tuhan, mampukah aku menjalani kehidupan ini tanpa mas Anton? Aku memiliki tanggungan tiga orang anak ya Rabb," ucapku dengan lirih.

Kembali ke masa lalu

Mas Anton memiliki kebiasaan yang menurutku sangat buruk sejak dulu, saat kami masih tinggal bersama dengan almarhum dan almarhumah mertua. Saat ia masih kerja di diler motor, ia suka main game online hingga lupa waktu. Tak memperdulikan bagaimana kerepotanku mengurus Zahrana serta saat itu aku juga masih menjadi tenaga pendidik honorer di sekolah swasta yang berada agak jauh dari rumah. Mertua pun tidak menegur kebiasaan buruk tersebut hingga game online sehingga menjadi kebiasaan bagi suami. Saat aku menegur, mertua malah membela mas Anton.

"Biarkan saja Anton bermain game online. Game itu hiburan dia setelah penat bekerja. Toh ia masih dirumah. Tidak kelayapan di luar," ucap ibu mertua kala itu.

Kebiasaan game online mas Anton semakin menjadi karena ada pembelaan dari ibu mertua. Apalagi saat bapak dan ibu mertua tiada, game online malah semakin tak karuan saja karena mbak ipar akan selalu terdepan membela adik tercinta yang bungsu tersebut. Setelah PHK dari diler saat COVID melanda, pekerjaan mas Anton hanya bergumul di kasur sambil memegang gadget berwarna hitam di tangannya, padahal saat itu aku telah memiliki Mumtaz dan Arsenio yang masih balita. Meskipun kedua anakku merengek dan aku terlihat begitu kelelahan karena masih kondisi menyusui, dan mengasuh mereka sendirian,  mas Anton tak peduli sama sekali. Ia tetap asik dengan gadgetnya. Ia juga tak berusaha untuk mencari pekerjaan. Malah sebaliknya, aku yang begitu repot mencarikan pekerjaan untuknya, mengingat keuangan kami semakin menipis karena pesangon yang didapat dari kantor tak seberapa dan tak cukup untuk menyukupi kebutuhan kami sehari-hari.

Saat bapak masih ada, beliau sempat membantu perekonomian kami. Ibu juga sedikit membantu karena tak tega melihat keadaanku yang tak memiliki pekerjaan. Saat aku hamil si tengah, Mumtaz, aku memutuskan untuk resign karena tak ada yang mengasuh anakku kelak. Saat dibantu oleh orang tua, mas Anton malah semakin malas saja. Ditambah pula ujaran mbak ipar yang seakan memperkeruh suasana rumah tangga kami.

"Anton, nggak usahlah repot-repot cari kerja. Toh istrimu sudah dapat uang dari orang tuanya. Jadi gak perlu ngasih uang belanja." Itu kata mbak ipar yang kudengar dari slentingan teman akrabku yang membuat hati terasa perih.

Setelah mendengar perkataan tersebut, aku meminta orang tua menghentikan bantuan mereka agar mas Anton bisa mandiri dan tak bergantung pada orang tuaku mengingat kondisi mereka juga sudah tak lagi muda serta aku sudah memiliki berkeluarga. Tak enak rasanya. Bukannya membantu malah selalu merepotkan orang tua.

Saat ini mas Anton bekerja di toko furniture yang juga memiliki depo air isi ulang. Ia berangkat kerja pada pukul setengah delapan pagi, mengingat masuk kerja pukul delapan pagi karena perjalanan dari rumah menuju ke tempat kerja membutuhkan waktu tiga puluh menit. Setelah pulang kerja, biasanya mas Anton pulang kerja pada pukul enam atau tujuh malam, tergantung hari tersebut ada kiriman barang secara mendadak atau tidak, baik galon atau furniture ia tak langsung pulang ke rumah. Bila ada kiriman barang, ia akan sedikit terlambat untuk pulang kerja. Seusai pulang kerja, kerapkali ia akan bablas menuju rumah temannya yang memiliki warung dan terdapat wifi disana untuk bermain game hingga larut malam. Ia baru akan pulang sesuai dengan keinginannya. Jam sepuluh malam, jam dua pagi ataupun pada pukul empat menjelang subuh. Sesampainya di rumah, mas Anton segera mengambil bantal dan baru bangun jam tujuh pagi, menjelang berangkat kerja.

Saat ini aku memiliki tiga orang anak. Zahrana, usia dua belas tahun, Mumtaz, lima tahun dan Arsenio, tiga setengah tahun. Bapakku sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu, sedangkan ibu masih menjadi TKW di negeri Jiran. Aku mengurusi anak dan kebutuhan sendirian saja di rumah dari pagi hingga malam. Saat pagi hari hingga malam sudah bisa dibayangkan bagaimana kerepotanku menghadapi dua balita tersebut. Belum lagi sulung yang kerapkali mengusik ketenangan para adiknya yang membuat suasana begitu gaduh. Bila suasana hati dan keadaan tubuhku sedang sehat, aku akan tersenyum menghadapi apapun ulah mereka. Bila suasana hati sedang tidak baik-baik saja dan tubuhku di fase kelalahan yang amat sangat, sudah bisa dibayangkan caraku menghadapi ketiga aku bisa berubah tiga ratus enam puluh derajat. Dari seorang ibu peri yang baik hati berubah menjadi monster jahat yang siap menerkam siapapun. Sungguh, aku merasa keadaanku saat sangat tidak baik-baik saja.

1
ibuke DuoElfa
semangat
ibuke DuoElfa
selamat membaca
kozumei
Wow, luar biasa!
ibuke DuoElfa: Terima kasih kak
semoga suka dengan cerita saya
total 1 replies
Eira
Ingin baca lagi!
ibuke DuoElfa: sudah update 2 bab kak
masih proses review
semoga suka dengan cerita saya ya

selamat membaca
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!