Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Kesepakatan Gila
PROLOG
Di klub malam
"Aku akan bayar kamu satu miliar... kalau kamu bisa menghamiliku."
Mata Ghea menatap tajam, menyembunyikan luka yang dalam.
Pria itu mengangkat alis, tersenyum lebar.
"Menarik," katanya, menyilangkan kaki dengan santai. "Namaku Leon. Dan aku suka tantangan."
Di hotel
... ketika jari-jari Leon mulai menelusuri kulitnya..
Ketika napas hangatnya menyentuh lehernya...
Kesadaran menyeruak.
Tidak. Ini salah. Ini bukan dirinya.
Ini bukan caranya membalas luka.
Dengan cepat Ghea mendorong tubuh pria itu. Napasnya tercekat.
“Ki-kita batalkan. Ini salah. Aku akan beri kamu sepuluh juta… anggap kompensasi.”
Leon bergeming.
Senyumnya masih ada--lebih tenang, tapi jauh lebih dalam dan... berbahaya.
“Sayang, kesepakatan sudah dibuat. Dan aku bukan tipe yang suka dibatalkan di tengah jalan.”
...🔸🔸🔸...
Ghea melangkah menyusuri lorong kantor suaminya yang mulai lengang. Bibirnya mengulas senyum, membawa kue tart untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka.
Namun, suara samar suaminya membuat jantung Ghea berdegup kencang.
"Ah..ah..ah...lebih cepat..."
"Jangan-jangan dia sedang... Tidak. David tidak akan sekejam itu."
Di ujung koridor, cahaya temaram menerobos dari celah pintu yang tak tertutup sempurna. Ia melangkah pelan, tubuhnya terasa gemetar.
"Ah..ah...terus...goyang pinggulmu..."
Ghea membeku.
Perlahan, ia mendekat, menahan napas, menahan emosi yang sudah mendidih. Saat matanya mengintip dari sela pintu, dunianya runtuh. Suaminya, dengan kemeja terbuka, celana melorot dan dasi tergantung sembarangan, sedang bercinta dengan sekretarisnya yang duduk di pangkuannya dengan rok tersingkap, pakaian mereka kusut, desah mereka menusuk telinga hingga hati Ghea.
"Ah...ah...ah...dikit lagi...."
"Ughhh...."
Air mata Ghea jatuh tanpa suara. Kue tart hancur di genggamannya, selembut itu pula hatinya remuk.
Kakinya gemetar namun terasa terpaku di lantai.
"Sayang... kamu memang hebat," suara David, suaminya, terdengar jelas. Diikuti tawa manja Tessa, ditengah napas yang belum stabil.
"Kau memujiku karena sedang bersamaku."
"Apa yang aku katakan adalah kenyataan. Wanita mandul itu tak becus melayani suami."
Sakitnya tak bisa digambarkan. Kata-kata itu... menusuk lebih dalam dari penghianatan yang baru saja ia lihat. "Aku...aku gak mandul. Dokter telah membuktikannya."
"Benarkah?" tanya Tessa, sang sekretaris.
"Tentu saja. Dia nggak bisa kasih aku kepuasan. Wanita tua itu tak lebih dari seonggok daging hidup. Membosankan, membuatku tak berselera."
Ucapan David terdengar dingin, merendahkan.
Ghea menutup mulut, menahan isak. "Begitukah aku di matanya?"
Dengan langkah gontai, Ghea keluar dari gedung, melempar kue tart ke tong sampah. Hatinya hancur tak berbentuk seperti kue tart yang ia buang. Ia mengendarai mobil dengan wajah basah air mata.
Sesampainya di rumah
PRANG!
Vas bunga melayang, menghantam bingkai foto pernikahan di dinding. Kaca pecah, potret bahagia itu retak di tengah.
"Aakkhh..."
Ghea membungkuk, memekik sambil menutup telinga. Suara desah suaminya dengan wanita lain terus menggema dalam kepalanya, memekakkan batin.
"Lima belas tahun... inikah akhirnya?" gumamnya di sela isak.
Ia teringat—usia dua puluh, baru masuk kuliah. David melamarnya di depan kampus, berjongkok dengan cincin emas di tangan.
"Kita kuliah di tempat berbeda. Aku takut kamu tergoda pria lain. Kumohon, menikahlah denganku. Aku janji akan mencintaimu sampai napas terakhirku."
Ghea menangis tergugu.
"Kau bohong... kau sudah menduakan aku, mencintai wanita lain."
Tangannya mengepal.
"Kau brengsek! Pengkhianat!"
Ia menatap foto David dengan amarah dan kecewa membuncah.
Ghea melangkah ke klub malam paling bising di pusat kota. Lampu berkedip, musik menghentak, dunia kabur oleh air mata dan alkohol.
Gelas demi gelas ia teguk, tak peduli perih di tenggorokan.
"Maaf, boleh duduk di sini?"
Suara bariton seorang pria asing menyela kekalutannya.
Ia menoleh. Seorang pria muda—kulit bersih, senyum menawan, mata tajam menggoda. Terlalu sempurna untuk diabaikan.
Dan dari sakit hati serta kecewa karena dikhianati, meluncur ide gila:
"Aku akan bayar kamu satu miliar... kalau kamu bisa menghamiliku."
Mata Ghea menatap tajam, menyembunyikan luka yang dalam.
Pria itu mengangkat alis, tersenyum lebar.
"Menarik," katanya, menyilangkan kaki dengan santai. "Namaku Leon. Dan aku suka tantangan."
Ghea tertawa getir. Ia tak peduli siapa pria itu—atau siapa dirinya malam ini.
Klik.
Pintu kamar hotel tertutup rapat. Terkunci.
Sentuhan tangan Leon di pinggangnya membuat jantung Ghea berdegup—bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih berbahaya: ketertarikan yang mengkhianati logikanya.
Tatapan pria muda itu menusuk. Tajam. Dalam. Mendominasi.
Wajahnya terlalu memesona—alis tebal, bulu mata lentik, hidung mancung, bibir sensual, dagu terbelah.
Sempurna.
Begitu sempurna, hingga terasa tidak nyata.
Namun ketika jari-jari Leon mulai menelusuri kulitnya..
Ketika napas hangatnya menyentuh lehernya...
Kesadaran menyeruak.
Tidak. Ini salah. Ini bukan dirinya.
Ini bukan caranya membalas luka.
Dengan cepat Ghea mendorong tubuh pria itu. Napasnya tercekat.
“Ki-kita batalkan. Ini salah. Aku akan beri kamu sepuluh juta… anggap kompensasi.”
Leon bergeming.
Senyumnya masih ada--lebih tenang, tapi jauh lebih dalam dan... berbahaya.
“Sayang, kesepakatan sudah dibuat. Dan aku bukan tipe yang suka dibatalkan di tengah jalan.”
Langkahnya mendekat. Perlahan. Terukur.
Jantung Ghea berdebar tak menentu. Bukan karena gairah—tapi cemas.
Panik.
Apa yang sudah ia mulai?
Dan bisakah ia benar-benar menghentikannya?
Ghea mundur. Meraih tas. Melangkah ke arah pintu.
Tapi suara langkah Leon membuntutinya. Pelan. Lembut. Seperti predator.
“Ghea…”
Suaranya berat. Dalam. Seperti mantra yang menahan.
Ia tak menggubris. Tapi saat mencapai pintu—
Leon sudah berdiri di sana. Menghalangi.
“A-aku bilang batal. Aku mau pulang.”
“Dan aku bilang… kesepakatan sudah dibuat.”
Mata mereka bertemu.
Tatapan Leon bukan hanya menahan—ia menelanjangi. Menembus lapisan demi lapisan pertahanan Ghea, membuatnya merasa telanjang meski masih berbalut busana.
Tangannya menggenggam pergelangan Ghea. Perlahan, tapi pasti.
Tarikannya tidak kasar, justru seperti magnet yang tak bisa ditolak. Dan dalam sekejap, ia telah berada dalam pelukannya.
“Ja-jangan begini…”
Suara Ghea lirih, bergetar. Bimbang antara takut… dan tergoda.
Sentuhan jemari Leon menyusuri punggungnya. Lembut, nyaris menyamarkan penguasaannya.
Napas Ghea memburu. Ia mencoba mendorong dada pria itu, tapi Leon lebih dulu bergerak.
Dengan cekatan, ia menarik tubuh Ghea kembali, membalik posisinya hingga punggung wanita itu menempel di daun pintu.
Jarak di antara mereka menguap.
Hanya ada ruang untuk napas. Untuk detak. Untuk bahaya.
Satu tangan Leon bertumpu di samping kepalanya.
Yang lain mengelus rambutnya dengan kelembutan yang justru membuat Ghea semakin panik.
“Kamu ingin lari. Tapi kamu juga penasaran, ‘kan?”
Bisikannya setipis embusan napas. Dan lalu—kecupan hangat mendarat di sisi leher Ghea.
Tubuhnya menegang seketika.
Gila. Ini gila.
Ia mengangkat tangan, menekan dada Leon sekuat mungkin.
“Lepas, Leon. Aku serius.”
Tapi pria itu hanya menyunggingkan senyum miring, nyaris licik.
“Tapi matamu tidak berkata begitu.”
Dengan sisa kendali, Ghea mendorongnya—kali ini cukup kuat untuk membuat celah.
Ia memutar kenop pintu dengan tangan gemetar…
Terkunci.
Ia berdiri mematung.
Jantungnya tak sekadar berdebar—ia menjerit dari dalam dada.
Langkah kaki Leon mendekat dari belakang.
Tenang. Lembut.
Seperti bayangan malam yang pasti datang setelah senja.
“A-aku akan pulang…”
Ghea berbisik, tanpa menoleh.
Tak ada jawaban.
Tapi tiba-tiba, tubuhnya diputar.
Kini ia berhadapan lagi dengan Leon.
Sosok pria itu menjulang. Tegap.
Sorot matanya menyala. Dominan. Liar. Menggoda—sekaligus mengancam.
“Kesepakatan sudah dibuat, Ghea.”
Nada suaranya dalam. Serak. Seperti malam gelap yang tahu kamu akan tetap berjalan masuk, meski tahu kau bisa tersesat.
“Kamu yang mulai permainan ini. Jangan mundur… saat sudah panas.”
Ghea kembali mencoba mendorongnya. Tapi Leon lebih dulu mencengkeram lembut kedua pergelangan tangannya dan menariknya lagi ke dalam pelukan.
Aneh. Pelukan itu hangat. Menenangkan.
Dan itu menakutkan.
“Kita tak bisa lanjut. Aku… aku bukan perempuan seperti ini…”
Suaranya gemetar. Tapi tekadnya rapuh.
Tatapannya mulai kabur, tidak oleh air mata, tapi oleh gejolak yang tak ia pahami.
Leon menunduk.
Napasnya menyapu lembut daun telinganya.
“Tapi tubuhmu tidak menolakku, Ghea.”
Dan ia benar.
Jemari Leon menelusuri punggungnya. Perlahan. Nyaris menyentuh jiwa.
Tubuh Ghea bereaksi. Ia menegang… lalu lemas.
Pertahanannya meleleh, satu per satu.
“Jangan…”
Tapi suaranya terdengar lebih seperti bisikan setengah rela.
Leon mendekat.
Kecupan lain jatuh di lehernya—lebih dalam. Lebih menggoda.
Ghea menggigil. Bukan karena takut, tapi karena tersentuh terlalu dalam.
“Aku… aku harus pergi…”
Ia berusaha kembali menjauh.
Tapi Leon sudah lebih dulu mengunci pergerakan Ghea—bukan dengan paksa, tapi dengan ketenangan yang jauh lebih berbahaya.
“Aku tidak akan menyakitimu,” katanya pelan.
“Tapi aku juga tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”
“Kau menggoda seekor singa, Ghea… dan sekarang, dia lapar.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Tuh Ghea segera bergerak merebut hak-mu dengan bantuan Leon yang telah punya bukti kejahatan David.
Leon benar mencintai dirimu tidak ingin menguasai hartamu malah memberimu hartanya.
Leon nekat datang lagi di saat David ada di rumah, Ghea senang tuh tapi pasti bingung ketakutan kalau David tahu wkwkwk
Ghea terlalu luka hatinya dengan pengkhianatan David - David suami selingkuh sekaligus mau meraup harta - perusahaan warisan orang tua Ghea.
dan kamu akan menyesal telah menyia-nyiakan Ghea hanya demi sampah
lanjut kak sehat dan sukses selalu 🤲
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk