Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: JEBAKAN DARAH
HARI PERTAMA TEROBOSAN RANAH
Gudang tua di sayap belakang kediaman itu sudah lama mati.
Dulunya tempat penyimpanan peralatan perang leluhur, kini hanya menjadi ruang hampa yang diselimuti debu tebal dan aroma pelapukan. Tidak ada pelayan yang sudi melirik tempat ini. Tidak ada penjaga yang mau membuang waktu berpatroli di sini.
Tempat persembunyian yang sempurna.
Baskara duduk bersila di tengah kegelapan gudang. Matanya terpejam, napasnya nyaris tak terdengar. Namun di dalam tubuhnya, badai sedang mengamuk.
Prana berputar dengan kecepatan mengerikan. Pil Inti Emas yang ia telan tadi malam telah meleleh, melepaskan energi emas murni yang liar, memaksa Sukma di dadanya untuk memadat dan berevolusi.
Namun, sebelum ia tenggelam sepenuhnya dalam meditasi mati... ia telah menyiapkan sambutan bagi tamu tak diundang.
FLASHBACK - TENGAH MALAM SEBELUM TEROBOSAN
Baskara berdiri di ambang pintu gudang. Di tangannya, gulungan benang baja milik Aditya berkilau samar.
Ia merentangkan benang-benang itu dengan presisi seorang ahli bedah—mengikatnya di titik-titik buta di sekitar pintu, jendela, dan celah ventilasi. Jaring laba-laba yang tak kasat mata.
Tapi itu belum cukup.
Ia mengeluarkan pisau kecil, lalu mengiris pergelangan tangannya sendiri tanpa ragu.
Darah hitam-merah mengucur keluar. Darah yang bukan lagi darah manusia biasa, melainkan racun mematikan hasil asimilasi ratusan monster beracun di Jurang Larangan.
Ia melumuri setiap inci benang baja dengan darahnya.
[Tuan, darah Tuan sekarang adalah neurotoksin tingkat tinggi. Satu goresan kecil cukup untuk melumpuhkan saraf kultivator Ranah Pengumpulan Prana dalam hitungan detik. Dan membunuh mereka dalam satu menit.]
"Bagus," jawab Baskara, senyum dingin terukir di bibirnya. "Itu tujuannya."
Setelah jaring kematian terpasang, ia menampung sisa darahnya dalam mangkuk kecil. Ia membakarnya dengan api Prana kecil.
Darah itu menguap, melepaskan asap tipis berwarna ungu yang berbau manis namun mematikan. Ia membiarkan asap itu memenuhi ruangan, mengendap di setiap sudut gelap gudang.
"Siapa pun yang masuk tanpa izin," gumamnya, menatap karya seninya yang mengerikan, "akan mati sebelum mereka sadar mereka sedang sekarat."
Yang paling penting—jebakan ini murni mekanis dan biologis.
Tidak ada fluktuasi Prana.
Formasi deteksi Tetua Satriya tidak akan pernah bisa mengendusnya.
Setelah panggung kematian siap, Baskara duduk di tengah gudang. Menutup mata. Dan memulai pertaruhannya.
KEMBALI KE SEKARANG - HARI KEDUA TEROBOSAN
Baskara masih mematung dalam meditasinya.
Di dalam Sukmanya—pusat energinya, kabut Prana mulai memadat, berputar, dan menyatu menjadi bola emas padat yang berdenyut seirama detak jantung.
Sedikit lagi.
Tinggal beberapa jam lagi menuju kelahiran Inti Emas.
KREEK...
Suara engsel pintu tua yang berkarat memecah keheningan.
Baskara tidak bergerak. Ia berada di fase kritis. Satu gangguan kecil bisa menghancurkan fondasi kultivasinya.
Seorang pria bertubuh sedang dengan wajah lelah melangkah masuk, membawa sapu dan ember.
Bambang—pelayan kebersihan yang sial.
"Aneh sekali," gerutunya sambil mengibas debu di depan wajah. "Kenapa tiba-tiba aku disuruh membersihkan gudang hantu ini? Wibawa sialan..."
Ia melangkah masuk lebih dalam, matanya belum terbiasa dengan kegelapan.
SYUUT!
Suara angin terbelah yang sangat halus.
Benang baja yang terpasang setinggi leher di pintu masuk langsung menjeratnya saat ia melangkah maju.
"GAK—!"
Suaranya tercekat. Benang itu mengiris kulit lehernya, membenam ke dalam daging.
Bambang panik. Ia mengangkat tangan untuk melepaskan jeratan itu—tapi tangannya menyentuh benang lain yang melintang vertikal.
Dan racun itu masuk.
Seketika, kulitnya berubah warna menjadi ungu gelap. Pembuluh darah di leher dan wajahnya menonjol hitam seperti cacing yang menggeliat di bawah kulit.
Matanya melotot, mulutnya terbuka lebar dalam jeritan bisu.
Racun darah Baskara bekerja dengan efisiensi iblis—melumpuhkan pita suara, membekukan saraf motorik, dan menghancurkan jantung.
Dalam waktu kurang dari enam puluh detik...
Bambang ambruk ke lantai.
Mati kaku.
Asap racun tipis di udara menyusup ke paru-parunya yang sudah berhenti bekerja, memastikan tidak ada sel yang selamat.
Mayatnya tergeletak di dekat pintu, mata terbuka menatap langit-langit dengan horor abadi.
Dan di tengah ruangan, Baskara masih bermeditasi.
Tenang. Diam. Tidak menyadari ada nyawa yang baru saja melayang di punggungnya.
SATU JAM KEMUDIAN
Darko—pengawal pribadi Wibawa yang bertugas mengawasi para pekerja—berjalan dengan langkah lebar dan wajah marah.
"Bambang!" teriaknya. "Dasar pemalas! Di mana kau?! Sudah satu jam!"
Ia melihat pintu gudang tua yang sedikit terbuka. Firasat buruk menyergapnya, tapi amarahnya lebih besar.
"Jangan bilang dia tidur di situ..." gumamnya sambil menendang pintu gudang hingga terbuka lebar. "BAMBANG! KELUAR KAU—"
Ia melangkah masuk dengan kasar.
SYUUT!
Benang yang sama—kini lebih rendah karena beban mayat Bambang—menjerat kakinya.
Darko kehilangan keseimbangan, jatuh tersungkur ke dalam gudang yang gelap.
"AAARGH!"
Teriakannya bergema, tapi hanya sesaat.
Saat ia jatuh, lehernya mendarat tepat di atas benang lain yang melintang di dekat lantai.
Cekikan. Sayatan. Racun.
Tangannya berusaha mengeluarkan Prana, namun ia terlalu lemah untuk melepaskannya.
‘Racun ini—kuat!’
Darko, dalam sisa kesadarannya yang memudar, melihat ke samping.
Wajah ungu Bambang menatapnya balik dari jarak beberapa sentimeter.
'Apa yang—'
Racun menyebar. Jantung berhenti.
Kegelapan abadi datang menjemput.
Darko mati di samping Bambang, menambah koleksi korban gudang tua itu.
BEBERAPA SAAT KEMUDIAN
Sari, seorang pelayan muda yang sedang membawa keranjang cucian di halaman belakang, menghentikan langkahnya.
Ia mendengar teriakan singkat tadi.
"Hah?" Ia menoleh ke arah gudang tua yang suram itu.
"Darko? Apa itu kau?"
Hening.
Angin berhembus, membuat pintu gudang berderit pelan.
"Darko!" panggilnya lagi, lebih keras.
Tetap tidak ada jawaban.
Bulu kuduk Sari meremang. Ia menatap pintu yang menganga hitam itu seolah menatap mulut monster.
'Mungkin cuma kucing... atau imajinasiku,' pikirnya, berusaha menenangkan diri. 'Tempat itu angker.'
Ia berbalik dan mempercepat langkahnya, menjauh dari sana.
Tidak menyadari bahwa keputusannya untuk tidak memeriksa telah menyelamatkan nyawanya.
PENYELIDIKAN & KEHANCURAN
Dua hari kemudian. Pagi hari.
Kekacauan melanda Kediaman Keluarga Cakrawala.
Satu pelayan dan satu pengawal menghilang tanpa jejak—Bambang dan Darko. Ini menambah daftar panjang orang hilang setelah Karto, Gito, dan para pembunuh bayaran.
Tetua Satriya turun tangan langsung. Ia menginterogasi setiap pelayan dengan tekanan aura Inti Emas-nya yang menyesakkan.
‘Mustahil! Hantu itu beraksi tapi teknikku tak mendeteksinya?!’ umpat Satriya dalam hatinya.
Sampai akhirnya, Sari buka mulut.
"Te-Tetua," katanya sambil bersujud gemetar. "Dua hari lalu... saya mendengar teriakan dari halaman belakang. Dari arah... gudang tua."
Mata Tetua Satriya menyipit tajam.
"Gudang tua? Kenapa baru lapor sekarang?!"
"Saya... saya takut..."
Tetua Satriya langsung berdiri, jubahnya berkibar.
"Panggil Patriark dan Wibawa. Kumpulkan semua pengawal elit. KITA KEPUNG TEMPAT ITU SEKARANG!"
TIGA PULUH MENIT KEMUDIAN
Halaman belakang residence berubah menjadi medan perang.
Puluhan pengawal mengepung gudang tua dengan senjata terhunus.
Patriark Dharma berdiri dengan wajah merah padam—campuran antara amarah dan ketakutan yang ia sembunyikan. Wibawa di sampingnya tampak seperti orang sakit, wajahnya pucat pasi.
"BAGAIMANA TEMPAT INI BISA LOLOS?!" bentak Patriark pada kepala pengawal.
"Kami... kami pikir tempat ini kosong, Yang Mulia..."
"DIAM!" Tetua Satriya mengangkat tangan. Matanya menatap tajam ke pintu gudang yang tertutup rapat.
Formasi deteksinya tidak menunjukkan apa-apa.
Tapi instingnya... insting seorang veteran berteriak bahwa ada bau kematian yang pekat di dalam sana.
"Jika dia ada di dalam, dia tidak akan bisa kabur," ucap Satriya dingin.
‘Aku sama sekali tak merasakan energi prana. Tapi, tercium jelas dari dalam sana… darah dan racun.’
"HANCURKAN!"
BOOM! BOOM! BOOM!
Serangan Prana dari puluhan pengawal menghantam gudang tua itu sekaligus.
Ledakan dahsyat terjadi.
Dinding kayu hancur berkeping-keping. Atap runtuh. Pintu meledak menjadi serbuk gergaji.
Debu tebal membumbung tinggi, menutupi pandangan.
Saat debu mulai mengendap, Tetua Satriya melangkah maju, pedangnya siap menebas.
"Periksa!"
Para pengawal menyerbu masuk, membalikkan puing-puing.
Tapi...
Nihil.
Tidak ada penyusup. Tidak ada hantu.
Hanya ada tikar lusuh tempat Baskara dulu beristirahat.
"KOSONG?!" Wibawa berteriak histeris. "TIDAK MUNGKIN! DIA HARUSNYA DI SINI! DIA—"
"Tutup mulutmu," desis Patriark.
Ia menatap reruntuhan itu dengan ekspresi gelap.
"Pembunuh ini..." suaranya bergetar menahan amarah, "...dia mempermainkan kita. Dia tahu setiap sudut rumah ini. Dia tahu jadwal pelayan. Dia tahu kapan harus pergi."
Patriark berbalik menatap Wibawa dengan curiga.
"Dia terlalu mengenal rumah ini, Wibawa."
Wibawa mundur selangkah. "Paman... kau tidak berpikir bahwa aku..."
"Aku tidak tahu lagi siapa yang bisa dipercaya!" bentak Patriark. "Tingkatkan keamanan! Periksa setiap orang yang keluar masuk! JANGAN BIARKAN LALAT PUN LOLOS!"
SEMENTARA ITU - HUTAN BELAKANG
Jauh di atas pohon besar yang rimbun, sosok berjubah hitam berdiri di dahan tertinggi.
Menatap kekacauan di reruntuhan gudang dari kejauhan.
Senyum tipis terukir di wajah Baskara.
'Terlambat,' batinnya. 'Kalian terlambat tiga jam.'
FLASHBACK - TIGA JAM SEBELUM PENGEPUNGAN
Baskara membuka matanya.
Dunia terasa berbeda. Lebih tajam. Lebih lambat. Lebih... jelas.
Inti Emas di dadanya berputar pelan, memancarkan energi emas yang hangat dan sangat padat.
Ranah Inti Emas Bintang 1.
Tapi ia tidak punya waktu untuk merayakannya.
Di hadapannya, tergeletak dua mayat pelayan yang terjerat perangkapnya.
[Tuan! Cepat! Dua orang terkena jebakan Anda! Mereka akan segera memeriksa tempat ini!]
Baskara bergerak cepat. Dengan kekuatan barunya, tubuhnya seringan kapas.
Ia menyambar kedua mayat itu, membawanya keluar lewat jendela belakang, dan membuangnya jauh ke dalam semak belukar hutan—memastikan baunya tidak langsung tercium.
Lalu ia kembali. Membersihkan jejak darah. Mengambil kembali benang bajanya. Menghapus aura keberadaannya.
Dan menghilang ke dalam hutan tepat sebelum matahari terbit sempurna.
KEMBALI KE SEKARANG
Di kejauhan, Tetua Satriya tiba-tiba menoleh.
Matanya menatap lurus ke arah hutan tempat Baskara bersembunyi.
Tatapan tajam seorang Inti Emas Bintang 7.
Baskara menahan napas, mengaktifkan teknik stealth [Langkah Bayangan] hingga batas maksimal, menyatukan auranya dengan pohon di sekitarnya.
Satriya mengerutkan kening. Ia merasa ada sesuatu... tapi kemudian menggeleng.
'Mungkin hanya angin,' pikirnya, lalu berbalik pergi.
Baskara menghela napas lega.
"Hampir saja," bisiknya. "Tetua Satriya... kau memang tajam. Tapi belum cukup tajam."
Ia berbalik dan melesat pergi, menghilang ke kedalaman hutan.
STRATEGI LICIK WIBAWA
Dua hari kemudian. Aula Utama.
Wibawa duduk di hadapan Patriark. Wajahnya serius, tapi matanya licik.
Ketakutan telah memaksanya menjadi lebih pintar.
"Paman," mulanya, "rumor tentang keluarga kita yang 'dihantui' sudah menyebar ke kota. Klan lain mulai menertawakan kita. Kita terlihat lemah."
Patriark memijat pelipisnya. "Aku tahu. Apa saranmu?"
"Turnamen Keluarga," kata Wibawa mantap. "Kita majukan jadwalnya. Adakan dalam sepuluh hari. Kita tunjukkan kekuatan generasi muda kita. Kita tunjukkan bahwa Cakrawala masih perkasa."
Patriark mengangguk pelan. "Pengalihan isu. Ide bagus."
"Dan satu lagi," Wibawa melanjutkan, suaranya merendah. "Larasati."
"Kenapa dengan dia?"
"Kita kirim dia ke Kota Waja Kencana lebih cepat. Nikahkan dia dengan Adipati Lesmana bulan depan."
Patriark menatapnya tajam. "Adipati belum datang melamar resmi. Kita akan terlihat seperti membuang anak gadis kita."
"Kita dalam posisi terdesak, Paman! Pil Inti Emas hilang! Teror hantu ini mungkin mengincar Larasati! Jika dia pergi, mungkin teror ini berhenti. Dan sebagai kompensasi atas hilangnya Pil itu... kita turunkan maharnya."
Patriark terdiam lama.
Harga diri keluarga vs Keamanan dan Aliansi.
"Baiklah," putus Patriark akhirnya. "Lakukan. Kirim surat ke Adipati. Dan umumkan turnamen itu besok."
Wibawa tersenyum puas.
'Dengan Larasati pergi, hantu itu tidak punya alasan lagi di sini. Dan aku... aku akan aman.'
PENGUMUMAN & KEMBALINYA SANG RAJA
Keesokan harinya. Alun-alun Kota Batu Karang.
DONG! DONG! DONG!
Lonceng besar berbunyi. Ribuan warga berkumpul.
Seorang utusan Keluarga Cakrawala berdiri di panggung tinggi.
"PENDUDUK KOTA BATU KARANG! DENGARKANLAH!"
"KELUARGA CAKRAWALA AKAN MENGADAKAN TURNAMEN BELADIRI AKBAR DALAM SEPULUH HARI!"
"SIAPA PUN ANGGOTA KELUARGA DI BAWAH TIGA PULUH TAHUN BOLEH BERPARTISIPASI! PEMENANG AKAN MENDAPATKAN HADIAH UTAMA: PIL TEROBOSAN DAN POSISI TETUA MUDA!"
Sorak sorai membahana. Ini adalah hiburan yang dinanti-nanti.
Namun, di sudut kerumunan yang paling gelap...
Berdiri seorang pria tinggi berjubah hitam. Tudungnya menutupi wajah, tapi tidak bisa menutupi seringai dingin di bibirnya.
"Turnamen," bisik Baskara. "Panggung yang sempurna."
[Tuan, ini kesempatan emas. Anda bisa menghancurkan reputasi mereka di depan seluruh kota. Di depan mata semua orang.]
"Benar," jawab Baskara. Ia berbalik, berjalan melawan arus kerumunan. "Mereka ingin pertunjukan kekuatan? Aku akan beri mereka pertunjukan."
"Aku akan ikut serta."
"Dan aku akan mengubah turnamen itu menjadi tempat eksekusi."
MALAM ITU - KAMAR LARASATI
Larasati duduk memeluk lutut di tepi ranjang. Matanya sembab.
Nyonya Ratih baru saja memberitahunya: Pernikahannya dimajukan. Dia akan dibawa pergi bulan depan.
"Baskara..." isaknya pelan. "Di mana kau..."
Angin malam berhembus, menggerakkan tirai jendela.
Larasati tersentak. Ia merasakan sesuatu.
Sebuah kehangatan yang familiar. Rasa aman yang tiba-tiba menyelimuti hatinya.
Ia berlari ke jendela, membukanya lebar-lebar.
Kosong.
Hanya malam yang gelap.
Tapi di kusen jendela, tergeletak sesuatu.
Sekuntum bunga liar berwarna ungu. Bunga yang hanya tumbuh di tebing tinggi di hutan belakang.
Larasati mengambil bunga itu, mendekapnya ke dada. Air matanya menetes, tapi kali ini ada senyum di bibirnya.
"Kau di sini," bisiknya pada angin. "Kau menjagaku."
Jauh di atas pohon tertinggi di hutan pinggiran kota.
Baskara berdiri tegak di dahan, jubahnya berkibar ditiup angin malam.
Mata merahnya menatap tajam ke arah Kediaman Cakrawala.
Tangannya terkepal kuat. Energi emas samar berpendar di sekeliling tubuhnya.
"Tunggu sepuluh hari lagi, Sayang," janjinya pada malam.
"Sepuluh hari lagi... aku akan naik ke panggung itu."
"Dan aku akan meruntuhkan langit keluarga ini di atas kepala mereka."
[QUEST DIPERBARUI: MENANGKAN TURNAMEN & HANCURKAN HARGA DIRI CAKRAWALA]
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe