NovelToon NovelToon
Ternyata, Aku Salah Satunya Di Hatimu

Ternyata, Aku Salah Satunya Di Hatimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: X-Lee

Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.


Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”


“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1. Terbuai Kata Manis

Di sebuah rumah besar yang dulunya penuh dengan canda tawa dan kehangatan, kini hanya sunyi yang menggema di setiap sudut ruangannya. Lebih tepatnya di ruang makan, tempat yang seharusnya menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Makanan tersaji dengan indah di atas meja panjang berlapis kain putih bersih—nasi hangat yang kini telah dingin, sup yang uapnya sudah menghilang, dan lauk-pauk yang dibuat dengan sepenuh hati. Aroma harum yang tadi sempat memenuhi ruangan, kini hanya menyisakan kesepian yang menyesakkan.

Di ujung meja, duduk seorang perempuan cantik, usianya dua puluh delapan tahun. Rambutnya disanggul rapi, make-up tipis menghiasi wajah yang pucat, namun matanya tampak lelah, menyimpan duka yang sudah terlalu sering dipendam. Ia tidak menyentuh sepiring pun makanan di hadapannya. Tangannya hanya menopang dagu, sementara pandangannya terpaku ke arah pintu depan yang tertutup rapat dan ponselnya yang tergeletak di meja. Sesekali ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh oleh harapan dan kekecewaan yang saling bertarung.

“Apakah ini akan terulang kembali... seperti tahun-tahun sebelumnya?” gumamnya lirih, dengan suara yang nyaris tenggelam dalam keheningan. Tawanya pelan, getir, nyaris seperti isak yang ditahan.

Ini bukan pertama kalinya ia menunggu dalam diam. Bukan pula yang kedua. Sudah lima tahun lamanya ia menjalani peran sebagai istri—seorang istri yang selalu merindukan kehadiran suaminya di momen-momen yang paling berarti. Hanya tahun pertama pernikahan suaminya menemani nya merayakan anniversary pernikahan.

Namun, tahun berikutnya, setiap tahun, setiap tanggal yang seharusnya istimewa, ia selalu ditinggal dengan alasan yang sama: pekerjaan, kemacetan, urusan mendadak. Alasan yang terus berulang, dan semakin lama, terasa semakin hampa.

Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, ke kursi kosong di seberangnya. Kursi itu seharusnya diduduki oleh sosok yang ia cintai. Seseorang yang dulu berjanji akan membuatnya bahagia. Tapi malam ini, seperti malam-malam lainnya, ia hanya ditemani oleh kesunyian dan janji yang kembali tak ditepati.

Air matanya menetes perlahan, jatuh ke atas meja, menyatu dengan sejuknya malam. Mungkin ia masih berharap, mungkin ia masih percaya. Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, ia mulai bertanya... sampai kapan ia harus terus menunggu?

Wajah perempuan itu kian memucat. Sudah berjam-jam ia duduk di ruang makan, menatap jam dinding yang terus berdetak tanpa kompromi. Perutnya sudah sejak tadi memberontak, namun ia menahannya. Bukan karena tak ada makanan, tapi karena satu alasan yang terus ia pegang teguh—ia ingin menyambut suaminya pulang, makan bersama seperti dulu, seperti saat semuanya masih terasa hangat dan penuh cinta.

Padahal, tubuhnya tidak sekuat dulu. Ia memiliki riwayat asam lambung yang parah. Sedikit saja terlambat makan, tubuhnya bisa gemetar, perutnya terasa perih seperti disayat. Tapi demi pria yang ia cintai—atau yang masih ia yakini cintanya—dia rela menanggung semuanya.

Bukankah itu definisi dari cinta yang bodoh? Cinta yang tak logis, tapi terus dipeluk erat-erat?

Di sudut ruang, seorang asisten rumah tangga memperhatikan dengan gelisah. Ia sudah lama bekerja di rumah ini dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa sabarnya majikannya menanti setiap malam. Sering kali dalam diam. Sering kali dengan tatapan kosong ke luar jendela, seperti berharap sesuatu akan berubah.

Perlahan, dia mendekat. Suaranya pelan dan penuh khawatir. "Nyonya, wajah Nyonya... kelihatan pucat sekali. Sebaiknya Nyonya makan dulu. Tuan pasti akan datang terlambat seperti biasa."

Perempuan itu tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip dengan topeng daripada ekspresi tulus. "Aku baik-baik saja, Bi. Aku akan menunggu kepulangan Mas Ardian. Dan aku yakin sekali, dia akan datang sebentar lagi," ucapnya sambil membelai pergelangan tangannya, menenangkan diri. Tapi dalam hatinya, keraguan membuncah. Bahkan ia tak tahu apakah ucapannya itu ditujukan untuk Bibi atau untuk menenangkan dirinya sendiri. Kalimatnya seperti mantra kosong yang diulang-ulang agar luka batinnya tidak semakin dalam. Sungguh, ini bukan sekadar kesabaran—ini adalah bentuk manipulasi terhadap diri sendiri.

ART itu membuka mulut, ingin berkata sesuatu, namun belum sempat keluar satu kalimat pun, terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumah. Suara mesin yang begitu dikenal, yang tiap malam ditunggu dengan harap-harap cemas.

"Tuh kan, apa aku bilang. Mas Ardian pasti datang," ucap perempuan itu, senyumnya kali ini sedikit lebih tulus, meski tetap ada getir yang sulit disembunyikan. Ia berbisik lirih, nyaris tak terdengar, "Walaupun dia datang terlambat."

Bibi hanya membalas dengan senyum kecil, tidak ingin mengganggu momen itu. Namun, di dalam hatinya, ia merasa getir. Ia tahu, nyonyanya terlalu baik. Terlalu setia. Bahkan untuk seseorang yang kadang lupa pulang, lupa memberi kabar, dan lupa bahwa di rumah ini ada seseorang yang menunggunya dengan seluruh cinta yang tersisa.

Bibi pernah tanpa sengaja melihat sang nyonya menangis sendirian di kamar. Perempuan itu selalu berusaha terlihat kuat di depan orang lain, namun begitu pintu tertutup, air matanya mengalir deras, seolah seluruh luka yang dipendam tumpah sekaligus. Tak pernah sekali pun dia mengadu. Tak pernah memaki. Ia hanya menangis dalam senyap.

Hari ini pun, meski suaminya akhirnya datang, Bibi tahu luka itu belum sembuh. Hanya tertunda. Seperti luka lama yang ditutupi perban baru. Dan setiap malam, drama yang sama akan terulang. Cinta yang diam-diam menyiksa, tapi tetap dipeluk dengan sabar oleh seorang perempuan yang terlalu setia.

Pintu utama akhirnya terbuka. Ardian, sang suami, masuk dengan langkah cepat namun tak tergesa. Raut wajahnya seperti biasa—tenang, sedikit lelah, dan sulit dibaca. Ia melepas sepatu di depan pintu, menyampirkan jas kerja ke lengan, lalu tersenyum ketika melihat istrinya masih duduk di ruang makan.

“Eva sayang... maaf ya, aku pulang telat lagi,” ucapnya seraya berjalan mendekat. Ia mencium kening istrinya sekilas, kemudian duduk di sebelahnya.

Perempuan itu menatap suaminya dengan pandangan yang sulit dijelaskan—antara lega, kecewa, dan tetap ingin percaya.

"Aku masak makanan kesukaanmu," ucapnya pelan, mencoba menyembunyikan suara gemetar. "Aku kira kita bisa makan bareng malam ini."

Ardian tersenyum, lalu mengusap lembut punggung istrinya. “Aduh, sayang... aku tadi ada meeting dadakan. Klien dari luar negeri, susah banget dijadwalin. Tadinya aku pikir bisa kabur lebih cepat, tapi tahu sendiri lah kalau udah urusan kerjaan.”

Istrinya mengangguk kecil. Ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya menyimak.

“Terus,” lanjut Ardian, seolah merasa perlu memperkuat alasannya, “habis dari kantor, aku sempat mampir ke toko roti langganan kamu itu, yang kamu suka banget. Tapi udah tutup, yank. Aku telat banget sampai sana.”

Dia merogoh sakunya, mengeluarkan selembar kertas kecil—struk parkir—dan menunjukkannya seperti bukti tak terbantahkan.

“Lihat, ini jam aku keluar dari sana. Setengah sembilan lewat. Aku niat kok, yank. Beneran.”

Perempuan itu mengangguk lagi. Kali ini senyumnya muncul, tapi tetap lemah. “Iya… aku percaya, Mas.”

“Sorry banget ya, kamu nunggu lama. Aku tahu kamu suka nahan lapar kalau belum makan bareng aku. Tapi kamu nggak usah kayak gitu lagi, yank. Jangan sampai sakit, aku nggak mau lihat kamu kayak gini terus.”

Ia memeluk istrinya dengan satu tangan. Hangat, tapi juga terasa seperti pelukan kewajiban. Perempuan itu bersandar di bahunya. Ada sedikit kenyamanan di sana, meski hatinya masih menyimpan pertanyaan yang tak berani ia ucapkan.

Di kejauhan, Bibi hanya diam, memperhatikan dari balik pintu dapur. Ia melihat segalanya, mendengar setiap nada dalam suara sang Tuan—dan melihat tatapan kosong sang Nyonya yang berpura-pura bahagia.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, kembali ditutup dengan kata-kata manis, pelukan, dan senyuman yang dipaksakan. Namun cinta, jika terus dipaksakan untuk percaya tanpa bukti nyata, lama-lama bisa berubah bentuk. Bisa menjadi luka yang lembut tapi dalam—yang tak tampak di permukaan, tapi perlahan menggerogoti hati.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak kaki yaa ehh komentar, maksudnya 🤧🤣

1
Adinda
pasti anak pelakor bukan darah dagingmu ardian biar menyesal kamu
Nur Nuy
rasain suami penghianat , tunggu tanggal mainnya bakalan nyesel lu seumur hidup lepasin eva😡😏
Mardathun Shalehah: jangan lupa hadir yaa di persidangan/Facepalm/
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
kata nenek, bertengkar di pagi hari itu nggak bagus lho
Mardathun Shalehah: kalau malam bagus gak 🤧🤣
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
ish aku paling benci kalau macet apalagi kalau pakai mobil manual, hmm, capek banget dan bikin esmosi, eh emosi
Mardathun Shalehah: sabar 🤧🤣
total 1 replies
Nur Nuy
sabar eva sabarr hempaskan penghianat itu
Mardathun Shalehah: buset dah 🤣🤣
Nur Nuy: ke kandang singa author 🤣🤣🤣
total 3 replies
Nur Nuy
tidak semudah itu fer Ferguso
Mardathun Shalehah: /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
like plus iklan 👍
Mardathun Shalehah: /Joyful//Facepalm/
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
iya tega banget ish!
Mardathun Shalehah: sabar /Joyful//Shy/
total 1 replies
Nur Nuy
semangat eva ayo kamu bangkit lupakan penghianat itu
Mardathun Shalehah: semangat ❤️
total 1 replies
yuni ati
Keren
Mardathun Shalehah: makasih kk ❤️
total 1 replies
Nur Nuy
lanjutkan
Mardathun Shalehah: oke ❤️
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
keren narasinya 🥰
Mardathun Shalehah: Makasih kak 🥰
total 1 replies
Nur Nuy
yaampun kasian banget eva nya, sedih banget lanjutkan Thor seru
Mardathun Shalehah: Makasih dukungan nya kk ❤️
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
like plus subscribe 👍 salam kenal 🙏
Mardathun Shalehah: Salam kenal juga kak 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!