Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mari bercerai, mas!
Di tengah panasnya matahari siang, Raina berdiri mematung di depan pintu ruang ICU. Matanya sembab, wajahnya pucat, dan tangan gemetar memeluk map rekam medis ibunya. Dalam map itu tertulis jumlah biaya operasi yang harus dibayar paling lambat tiga hari ke depan: angka yang mustahil ia capai, bahkan jika ia bekerja siang malam seumur hidup.
Raina hanyalah anak dari seorang pembantu rumah tangga. Ibunya telah mengabdi lebih dari dua puluh tahun di rumah keluarga Prawira—keluarga konglomerat yang hidupnya tak pernah mengenal kata “kekurangan.” Mereka tinggal di dunia yang sama, namun berdiri di kutub yang berbeda.
Gadis itu sudah bekerja serabutan ke sana- Kemari sejak lulus SMU tahun kemarin,demi membantu biaya rawat jalan ibunya.Namun hari ini kenyataan menamparnya.Mau sekeras apapun ia bekerja siang malam, angka nominal yang di butuhkan sang ibu dalam waktu dekat tidak akan sanggup ia dapatkan.
Hingga ia berada di satu titik dimana ia harus kehilangan harga dirinya, menikah dengan tuan Aditya demi mahar biaya operasi sang ibu.
Sementara itu, di rumah megah dengan halaman seluas lapangan bola, Aditya Prawira duduk di samping ranjang sang eyang yang sudah lanjut usianya.
“Aditya...,” suara parau itu terdengar nyaris tak ada, “Eyang minta satu hal saja sebelum pergi... nikahi lah Raina.Dia gadis yang baik,eyang ingin kamu bahagia dengan seseorang yang bisa menjagamu dengan hati.”
Aditya terdiam.Ia menyayangi eyang lebih dari siapa pun.Tapi menikahi Raina? Anak pembantu? Gadis yang bahkan tidak pernah bicara lebih dari tiga kalimat dengannya?
Namun wajah sang eyang, yang semakin hari semakin menua seolah menggantungkan harapan terakhirnya pada permintaannya itu. Dan Aditya terjebak dengan keadaan yang sulit.Di satu sisi ia masih mencintai mantan kekasihnya.
Mereka berpisah karena perbedaan pendapat, yang mungkin saja jika waktu itu Di antara keduanya tidak terbangun ego yang tinggi, mungkin Hubungannya masih berlanjut hingga pelaminan.
✧༺♥༻✧♛┈⛧┈┈•༶*:..。o○ ○o。..:*
Dua hari kemudian, di sebuah kantor KUA kecil di pinggiran kota, pernikahan itu berlangsung dalam diam.
Tak ada gaun mewah. Tak ada pelaminan. Tak ada tamu undangan. Hanya ijab kabul dan beberapa saksi. Raina mengenakan kebaya sederhana , sedangkan Aditya mengenakan setelan jas abu-abu dengan mata yang kosong.
Mahar pernikahan itu adalah biaya operasi sang ibu. Sebuah mahar yang menyelamatkan satu nyawa, tapi merampas kebebasan dua jiwa.
Setelah pernikahan.
Tak ada pelukan hangat, apalagi senyum manis yang menandai pagi mereka. Bahkan sekadar percakapan pun terasa mewah — nyaris tidak pernah terjadi.
Meski begitu, Raina tak pernah alpa menjalankan perannya sebagai istri. Setiap pagi, ia bangun lebih awal. Menyiapkan sarapan, meski tahu tak akan disentuh. Meletakkan dasi dan jas kerja Aditya dengan rapi di sisi tempat tidur. Menyetrika bajunya, merapikan meja makan, menyeduh kopi seperti yang pernah sekali disebut Aditya—kopi hitam, tanpa gula.
Hari demi hari berlalu. Bulan berganti tahun. Raina tetap menjalankan rutinitas itu. Dalam diam. Dalam dingin. Dalam rindu yang bahkan belum sempat tumbuh, tapi sudah layu.
Tak ada yang tahu, apakah Raina melakukannya karena cinta yang diam-diam tumbuh... atau karena ia hanya terbiasa menjalankan perannya, seperti kontrak yang tertulis di atas kertas.
Namun, setiap sarapan yang tak disentuh, adalah bukti sunyi dari rasa yang tak pernah diberi kesempatan untuk hidup.
...----------------...
Tepat setelah 2 tahun pernikahan.
Raina bersandar lemah di dinding ranjang kamarnya. Tubuhnya masih dibalut pakaian hitam dari pemakaman sang ibu, namun pikirannya telah jauh melayang, tenggelam dalam gelombang kenangan dan duka yang tak berkesudahan. Sejak kembali dari pemakaman tadi siang, ia hampir tak berkata sepatah kata pun. Hanya suara koper yang berderit saat dibuka dan pakaian yang dilipat tergesa yang menjadi saksi dari keputusannya malam itu.
Tangannya gemetar saat satu per satu baju dimasukkan ke dalam koper. Tidak ada keraguan, hanya kekosongan. Ia ingin pergi, menjauh, karena ia bertahan di rumah ini, karena ibu.
Demi ibunya_sekarang beliau telah pergi, ia merasa tidak punya alasan untuk tetap tinggal.
Matanya sembab, nyaris bengkak. Air mata terus menggenang, seolah tak ingin berhenti. Di pangkuannya, sebuah bingkai foto yang sudah lama terpatri di meja samping ranjang. Ia menatap wajah ibunya dalam foto itu dengan lirih, seakan berharap sosok itu bisa menjawab semua luka yang menyesakkan.
“Maaf, Bu…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Tangannya mengusap permukaan kaca foto itu, perlahan, penuh rindu. Lalu, dengan hati-hati, ia letakkan figura itu di antara tumpukan pakaian dalam koper. Benda itu menjadi yang terakhir ia masukkan—dan mungkin, yang paling berat. Karena bukan hanya sekadar barang. Itu adalah satu-satunya yang masih terasa hangat dari seseorang yang kini telah pergi selamanya.
Dengan satu tarikan napas dalam, Raina menutup koper itu. Bunyi klik resleting terdengar jelas di antara keheningan malam, seperti penanda sebuah bab yang telah usai. Tapi juga, mungkin, awal dari pelarian yang belum ia tahu ke mana akan membawanya.
"Mari Bercerai, Mas."
Hening.
Hanya suara detak jam dinding dan rintik hujan di luar jendela yang menemani kesedihan Raina malam itu. Satu koper besar telah penuh dengan pakaian dan kenangan yang tidak ingin ia bawa pergi, tapi harus.
Tangannya gemetar saat menarik resleting koper. Matanya sembab. Satu hari penuh ia habiskan di pemakaman, mengantar ibu kandungnya ke tempat peristirahatan terakhir—tanpa sosok suami di sisinya.
Langkah kaki berat terdengar dari arah koridor. Sepatu kulit menggesek marmer dingin, mendekat… dan berhenti di ambang pintu.
Aditya berdiri di sana. Tegap. Dingin. Seolah tidak ada yang salah. Seolah semua baik-baik saja.
Raina tidak menoleh. Ia hanya berdiri membelakangi suaminya, mencoba menelan tangis yang sudah tak punya tempat lagi di dadanya.
“Aku minta maaf,” suara Aditya lirih, nyaris tak terdengar.
Baru kali ini ia mendengar kata itu dari mulut Aditya. Tapi semua sudah terlambat.
Dengan suara yang bergetar, namun penuh keberanian, Raina berkata pelan namun tegas,
“Mari bercerai, Mas.”
Sunyi.
Aditya tak langsung menjawab. Nafasnya mulai memburu, jemarinya mengepal di sisi tubuh.
“Apa kamu bilang?” suaranya meninggi, nyaris menggelegar.
“Mari bercerai,” ulang Raina tanpa menoleh. Kali ini lebih mantap, lebih mantap dari sebelumnya.
Langkah kaki Aditya mengikis jarak di antara mereka. Raina mundur satu langkah.
“Jadi ini maumu?” suaranya keras, tapi dalam matanya ada kepanikan yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Kamu bisa menikahi wanita yang kamu cintai. Bukankah itu yang kamu—”
Belum sempat kalimat itu selesai, Aditya menarik tengkuknya kasar dan… menciumnya. Dalam. Memburu. Memaksa. Seolah ingin menghapus kata-kata yang baru saja keluar dari bibir Raina.
Raina memberontak, dadanya sesak. Tapi Aditya tak melepasnya. Baru ketika ia melihat Raina hampir kehabisan nafas, barulah ia melepaskan.
Raina terisak. Air matanya mengalir lagi. Tangannya menyentuh bibir yang bergetar karena emosi dan luka.
“Kenapa kamu… melakukan itu…”
Aditya menatapnya lekat-lekat. Matanya merah. Rahangnya mengeras.
“Kamu pikir sesederhana itu keluar dari hidupku? Kamu pikir kamu bisa pergi begitu saja setelah masuk dalam hidupku?!”
“Aku tidak punya alasan lagi bertahan, Mas… Ibu sudah tiada. Kamu bahkan… bahkan tidak datang ke pemakamannya…”
Suaranya pecah. Duka dan kecewa bercampur jadi satu.
Aditya membanting tangannya ke dinding. Dentumannya menggema.
BRAKK!
Pintu kamar dibanting keras hingga gagangnya bergetar. Raina tersentak, tubuhnya refleks memeluk koper yang baru saja ingin ia bawa keluar.
Langkah kaki Aditya kembali bergema, kali ini lebih berat… lebih menekan. Udara di ruangan seketika berubah dingin, seolah menyerap sisa-sisa keberanian yang Raina kumpulkan selama ini.
Aditya berdiri di depan pintu, menatapnya dengan sorot tajam yang tak pernah ia tunjukkan selama dua tahun pernikahan mereka. Matanya membakar, rahangnya mengeras, dan tangan yang tadi mengepal kini mencengkram gagang pintu seperti hendak menghancurkannya.
“Kamu nggak akan ke mana-mana tanpa izin dariku.”
Suaranya dalam, pelan… tapi tajam seperti bilah pisau yang mengiris pelan-pelan.
Raina mematung. Napasnya tercekat. Ia tahu, Aditya bukan tipe pria yang mudah dikalahkan—terutama oleh perasaan. Di balik setelan mahal dan wajah tenangnya, ada ego yang menara tinggi. Aditya tidak terbiasa ditinggalkan. Tidak terbiasa ditolak. Terlebih oleh perempuan yang selama ini ia anggap tak punya pilihan selain menuruti kehendaknya.
“Aku bukan tahananmu, Mas…” ucap Raina lirih, berusaha menyembunyikan getar di suaranya.
Aditya melangkah pelan ke arahnya, membiarkan keheningan mengisi jeda di antara mereka. Sikapnya tetap tenang, tapi ada bara yang tak bisa ia padamkan di balik ekspresi dinginnya.
“Bukan tahanan?” Ia tertawa sinis.
“Tapi kamu lupa, Rain… Semua yang kamu pakai, semua yang kamu miliki—termasuk kebebasanmu—ada di tanganku. Jangan pikir karena kamu sudah berani bicara cerai, kamu bisa seenaknya keluar dari hidupku.”
Raina mundur satu langkah. Dinding membatasi punggungnya, dan tak ada jalan untuk pergi.
Di mata Aditya, ucapan 'cerai' bukan hanya penolakan. Itu adalah bentuk pembangkangan—sesuatu yang tak pernah ia terima dari siapapun.
Ia menatap Raina lama, seolah menantangnya untuk melawan lebih jauh.
“Kita belum selesai,dan ingat!! kecuali aku yang memintanya__selamanya kamu tetap tinggal ”
Kata-katanya seperti palu yang mengetuk akhir dari semua niat Raina untuk pergi malam itu.
Dan di dalam ruang megah yang kini terasa sempit itu, Raina sadar… keluar dari pernikahan ini tak semudah mengucapkan dua kata: "Mari bercerai." Ada kertas kontrak yang mengikatnya.