DEAR Kanaya
Aku terlahir dari keluarga yang bisa dibilang sangat berada. Rumah megah, kendaraan mewah, barang-barang branded bisa dibeli sebanyak yang aku mau, apa pun mudah didapatkan. Seperti itulah gambaran tentang kehidupanku.
Semua bisa kumiliki, tapi di balik itu aku menyimpan luka teramat dalam di hati ini. Mungkin tidak ada yang tahu, bahkan orang terdekat pun tidak mengetahuinya atau mungkin tidak ingin tahu. So aku tidak pernah memperlihatkan penderitaan ini kepada orang lain. Aku tidak butuh perhatian mereka. Bagiku perhatian itu hanya menyisakan kepedihan.
Luka yang berkali-kali ku tepis, ku jahit, ku lupakan, tetap saja masih tertinggal di dasar relung hati terdalam.Tidak pergi dan tidak menghilang. Always, basah layaknya luka menganga di tubuh yang tidak bisa mengering dan disembuhkan.
Hari-hari dilalui layaknya awan hitam setiap detik siap menurunkan hujan lebat. Hanya ada awan mendung di kedua mata ini dan ... tidak ada binar kebahagiaan di sana.
Kesenangan memang kudapatkan.
*Namun, kata orang itu bukankah jalan yang benar. Penuh kesalahan dan banyak kebathilan.
Bodo amat apa kata mereka, toh yang terpenting dengan cara seperti itu aku bisa mendapatkan kesenangan. Tentunya dengan tujuan melupakan kepedihan, kesakitan yang terpendam*.
Thanks, mom, dad sudah memberikan luka besar padaku.
Aku Navisha Kanaya Humaira, seorang anak korban broken home.
Burung dalam sangkar saja terlihat bahagia dibandingkan diriku.
Betapa menyedihkannya aku, bukan?
...***...
Suara musik berdentum keras mengenyahkan keheningan. Bola lampu besar berkelap-kelip di atas ruangan memberikan efek kesenangan sementara.
Orang-orang berdatangan silih berganti. Ada yang berpasangan, ber-grup dan mereka menari mengikuti irama serta ditemani minuman beralkohol melupakan sejenak kegelisahan dalam hidup.
Semua orang yang ada di sana sama sekali tidak mengindahkan jika tempat tersebut memiliki kebahagiaan semu dan sementara.
Tidak lama kemudian seseorang masuk memeriahkan kesenangan mereka. Layaknya semut bergerombol keluar dari sarang, semua orang antusias menyambut kedatangan DJ. Pria itu pun memutar musik metal dengan kencang. Keriuhan tidak bisa dihindari, orang-orang yang ada di sana hanyut dalam buaian duniawi.
Dering ponsel di atas meja mengusik ketenangan seseorang. Berkali-kali kedua bola matanya menangkap ponsel menyala menampilkan salah satu kontak di layar. Tidak nyaman, ia pun akhirnya membawa ponsel itu dan menepuk bahu si pemilik.
"Kay, ponsel lo dari tadi bunyi terus. Nih, angkat siapa tahu ada yang penting." Wanita berambut lurus panjang itu menyodorkan benda pipih tadi ke arahnya.
"Apaan Bi, mengganggu tahu. Tidak ada yang penting," jawabnya cuek tanpa mempedulikan ponsel yang kembali berdering tanpa henti.
Jengah dengan bunyi itu, Bianca pun mengangkat panggilan tersebut.
"Halo!!"
"Halo, assalamu'alaikum, Kanaya," suara wanita paruh baya terdengar.
"Oh maaf nek, saya Bianca sahabatnya Kanaya. Sebentar saya kasih tahu dia dulu."
Tanpa menunggu jawaban si penelpon Bianca kembali mengusik kesenangan sahabatnya yang tengah larut dalam alunan musik keras.
"Kay, ini nenek lo. Cepat jawab!!" Titahnya setengah memaksa.
"Cih!!" Seraya berdecak sebal, Kanaya menerima ponselnya.
"Hm, iya nek," sahutnya.
"Assalamu'alaikum sayang, cepat pulang nak. Ada sesuatu yang harus nenek katakan. Jangan membantah ini penting!!!"
Mendengar nada tegas, mau tidak mau Kanaya mengiyakan ucapan sang nenek. Ia pun menyambar tas dan jaketnya lalu pergi dari tempat itu. Hal tersebut tentu saja mengundang tanda tanya teman-temannya yang lain.
Terutama pria itu. Sosok pria maskulin dengan potongan rambut rapih yang tengah mengenakan jaket denim menahan pergelangan tangan Kanaya.
"Kamu mau ke mana Kay?" tanyanya dengan suara tenang.
"Angga? Nenek gue tadi nelpon, nyuruh balik. Kalau begitu gue balik duluan yah, bye."
Kanaya melepaskan genggaman tangan Angga lalu melangkah pergi meninggalkannya.
Bianca dan kedua temannya yang lain berjalan mendekat lalu menatap mata sayu Angga dengan pandangan sulit diartikan.
"Mau sampe kapan lo menyimpan perasaan? Katakan langsung saja. Lagian, kalian sudah lama sahabatan. Sejak smp, apa lo masih betah seperti ini terus?" ucap salah satu pria lainnya, bernama Raihan.
"Gue setuju apa kata si Raihan. Lo kan cinta banget sama Kanaya, dan gue yakin dia juga punya perasaan yang sama," lanjut teman wanitanya bernama Safira. Wanita berkacamata ini sosok paling diandalkan dalam kelompok pertemanan mereka.
Bianca tidak mengatakan apa-apa, terdiam meresapi perkataan teman-temannya. Dia tahu seperti apa perasaan Angga dan Kanya.
Sudah sering Bianca menjadi tempat curhat keduanya. Terlebih Kanaya adalah sahabatnya dari kecil. Ia tahu seperti apa kehidupannya. Salah satunya tentang perasaan. Namun, yang menjadi penghalang penyatuan kedua insan itu adalah kondisi mental Kanaya. Dia terlalu menutup diri dengan yang namanya "CINTA". Meskipun Kanaya mengatakan suka pada sosok Angga, tetapi wanita itu entah kenapa enggan untuk memulai sebuah hubungan.
Kanaya terlalu bersembunyi di balik topeng senyum palsu keceriaan. Padahal, jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam ia benar-benar rapuh. Tidak ada yang tahu tentang hal itu. Dia terlalu pandai menyembunyikannya.
Hanya satu yang Bianca inginkan, kebahagiaan sang sahabat. Tapi, haruskah bersama Angga? Pria yang diam-diam aku cintai juga? Tidak ada satu pun dari mereka mengetahui rahasianya ini.
"Sorry Kay, gue juga ingin lo bahagia, tapi gue-" batinnya meracau memandang kosong ke depan.
...***...
Mobil sedan hitam melaju dengan kecepatan tinggi. Jalanan di ibu kota tengah malam ini terlihat lengang tidak seperti siang hari selalu dipadati kendaraan. Si pengemudi senang merasa ardenalin nya terpacu.
"Apa ada hal baik?" gumamnya.
Langit terlihat sangat gelap. Hal itu membuat Kanaya berkonsentrasi di jalanan. Hawa dingin begitu menusuk membuatnya tidak sabar ingin segera tiba di rumah. Jam sudah menunjukan pukul dua belas lebih. Keheningan itu tidak menyurutkan orang lain untuk menghabiskan waktu bersama di trotoar. Melihat itu Kanaya menyunggingkan senyum menyeringai. Entahlah di saat sendirian seperti ini ia sering merasa kesepian.
Tidak lama berselang, mobilnya memasuki pekarangan. Rumah mewah di sekitar perumahan elit bernuansa putih ini menggambarkan kehidupan bak kerajaan. Kini sang putri yang terkenal liar telah pulang.
Setelah memarkirkan kendaraannya, Kanaya bergegas memasuki bangunan tersebut. Hening menyambutnya dan keadaan itu sudah menjadi kebiasaan.
Pintu terbuka lebar, hal pertama yang ia lihat seorang wanita paruh baya berhijab merah panjang tengah berkacak pinggang di ruang tamu. Sedari tadi sang nenek menunggu kepulangannya. Kanaya memutar bola matanya. Entah karena dia bosan atau jengah kesenangannya harus terusik begitu saja.
"Kamu pergi ke klub malam lagi? Astaghfirullah, Kanaya mau sampai kapan? Agama kita melarang kamu pergi ke tempat seperti itu, sayang. Lihat pakaianmu itu Ya Allah.... Ya Rabbi mini sekali. Kamu tidak minum minuman itukan?"
Pertanyaan beruntun dari sang nenek membuat Kanaya kembali memutar bola matanya.
Ia pun duduk di sofa seraya menatap neneknya, "Aku tahu Nek, tapi mau bagaimana lagi dengan cara seperti itu aku menemukan kesenangan, kebahagiaan. Dan melupakan semua beban." Jawabnya seraya merentangkan kedua tangan, seperti burung keluar dari sangkar.
Neneknya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan cucunya ini. Beliau mengerti apa yang menjadi beban Kanaya. Kedua orang tua, itulah faktor utamanya. Namun, beliau tidak bisa berbuat banyak.
Sudah sering Kanaya dinasehati, tapi tetep saja dia masih melakukan hal yang sama. Seolah hal itu sudah menjadi bagian dalam hidup. Perceraian orang tua menjadi dasar utama Kanaya berbuat seenaknya. Peristiwa tidak diinginkan itu terjadi atas kehendak mereka dan tanpa memikirkan perasaan Kanaya sebagai pelengkap keluarga. Dari kecil Kanaya sudah tinggal bersama neneknya. Dari umur 5 tahun sampai sekarang hanya ada sang nenek yang merawatnya.
Orang tua? Hanya sebatas pelengkap dalam kamus hidup seorang Kanaya.
"Sudah berapa kali Nenek ingatkan kamu untuk berubah. Kay, berubah lah Sayang, Allah menyayangimu. Karena itulah Allah memberikan masalah padamu," ujar neneknya lagi. Kanaya tidak berkata apa-apa dan beranjak dari sana menapaki satu demi satu anak tangga. Tidak lama suara neneknya kembali menginterupsi.
"Mereka ingin kamu pergi ke Korea Selatan, Sayang. Ini juga permintaan nenek, mamah dan papah mu menunggu di sana," sang nenek pun mengungkapkan tujuannya.
Kanaya terdiam. Tanpa kata-kata yang keluar dari mulutnya ia benar-benar pergi meninggalkan sang nenek di sana. Wanita berusia 60 tahunan itu mengusap wajahnya gusar.
"Ya Allah berikanlah hidayah untuk cucuku."
Itulah harapan yang setiap saat neneknya inginkan.
Di dalam kamar bernuansa gold itu, Kanaya merenung dengan tatapan kosong.
Tidak lama kemudian bola matanya bergulir melihat ke arah nakas. Di sana terdapat figura kecil yang memperlihatkan potret tiga orang tengah tersenyum manis. Dua orang dewasa dan satu gadis kecil dalam pangkuan terlihat seperti sebuah keluarga yang harmonis.
Seringaian tercetak di wajah cantik Kanaya. Rambut hitam panjang ikal di ujungnya memperlihatkan sisi dewasa gadis kecil dalam foto.
Perjalanan panjang tanpa kehadiran dua sosok malaikat di hidupnya membuat Kanaya harus berjuang seorang diri. Rasa iri melanda saat perpisahan sekolah datang. Mereka yang didampingi ayah dan ibunya sering kali membuat Kanaya harus menelan pil kekesalan. Hanya ada sang nenek sebagai peneman. Tidak pernah Kanaya merasakan bahagianya disayangi oleh dua orang yang disebut ayah dan ibu.
Gadis kecil itu kini sudah berubah menjadi wanita "liar" yang sering menyibukkan diri dengan kesenangan duniawi tanpa mengindahkan aturan agama yang melekat pada dirinya sejak ia dilahirkan ke dunia. Hanya sebatas status tanpa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ia sering melakukan hal sesuka hatinya.
Lagi, air mata mengalir di kedua pipi mulusnya saat memikirkan hal yang menimpa hidupnya. Kanaya pun menghapusnya kasar. Berkali-kali belati tak kasat mata mengoyak dan merobek hatinya. Di dalam kesendirian ini Kanaya berubah menjadi wanita cengeng, seperti anak kecil.
Kanaya kembali teringat akan masa-masa indah dulu saat orang tuanya masih ada di sampingnya tanpa terhalang apapun. Meskipun itu hanya sementara, tapi tetap melekat dalam ingatan. Kini bunga indah itu layu tidak diinginkan oleh siapa pun, bagaimana pun kondisinya orang lain tidak mau melirik.
"Teganya kalian meninggalkanku memangnya uang bisa menggantikan kasih sayang?" racaunya dalam keheningan.
...***...
Subuh menjelang, entah sudah ke berapa kali neneknya membangunkannya. Wanita berumur dua puluh dua tahun itu masih betah bergelung nyaman dibalik selimut tebalnya tidak menghiraukan kehadiran orang lain di sana.
Nenek Naura berkacak pinggang melihat cucu terdekatnya ini. Sudah menjadi kebiasaan dari dulu kegiatan itu dilakukannya sebelum memulai hari.
"KANAYA BANGUN AYO SALAT SUBUH!"
Suara yang melengking itu sontak membuat kedua mata bulatnya terbuka lebar. Tidak ingin membuat neneknya murka lebih parah Kanaya pun beranjak dari tempat tidurnya.
"Iya nek, ini Kanaya sudah bangun. Ya Tuhan masih mengantuk padahal. Jawabnya dengan menguap lebar.
"Pokoknya kamu harus salat subuh dulu, ayo." Nenek Naura menarik pergelangan tangan wanita muda ini keluar kamar.
Sekarang kedua wanita yang terpaut beda usia jauh itu tengah berada di mushola melakukan salat subuh bersama. Selalu seperti ini.
Selesai melakukan ibadahnya Kanaya sering menitikkan air mata. Cahaya remang berhasil menyembunyikan kesedihan. Neneknya tidak pernah tahu akan hal itu. Masih menjadi alasan terbesar kenapa Kanaya sering menangis selepas salat subuh.
"Apa lagi kalau bukan mereka? Papah dan mamah. Hidupku bukanlah sebuah drama televisi, tapi kenapa rasanya sama? Mungkin dalam drama bisa saja mendapatkan akhir yang bahagia. Dalam cerita orang tua yang sudah berpisah itu kembali dan menggelar sajadah bersama anak-anaknya. Tapi sepertinya tidak dengan hidupku. Karena apa? Karena hidupku bukanlah sebuah drama."
Dalam lamunan Kanaya berceloteh seraya pandangannya jatuh ke bawah melihat ukiran masjid di sajadah merahnya.
Nenek Naura yang baru selesai berdoa memandanginya lekat. Sorot mata kesedihan itu pun tertangkap pandangan.
"Kay, apa kamu merindukan papah dan mamah mu?"
Pertanyaan tadi sontak membuat Kanaya terkejut. Tidak sepatah kata pun ia lontarkan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan berat itu.
"Kalau kamu merindukan mereka, kita bisa pergi ke Korea."
Hal itu lagi yang diungkit.
"Kanaya harus pergi Nek, ada hal penting yang harus diurus."
Tanpa sedikit pun membahas ucapan neneknya. Kanaya berlalu begitu saja setelah mengecup singkat punggung tangannya.
"Ya Allah Jihan, Faid apa yang sudah kalian tanamkan pada anak kalian, Kanaya? Astaghfirullah." Gumam nenek Naura seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kanya sudah kembali ke kamar, duduk dimeja rias menatap pantulan dirinya sendiri. Menyedihkan, satu kata terlintas dalam benak. Rambut tergerai panjang, wajah polos tanpa polesan make up terlihat sarat akan kesedihan.
"Kenapa mereka menyuruh pergi ke Korea? Buat apa juga gue ketemu mereka? Toh kalau ketemu pun percuma. Hanya menimbulkan kesakitan yang lebih parah." Racau Kanaya di depan cermin. "Navisha Kanaya Humaira, hidup lo menyedihkan sekali." Sudut bibir kanannya terangkat membentuk seringaian yang tergambar jelas.
Jam menunjukan pukul 7 pagi. Seperti hari-hari yang telah lalu nenek Naura kembali disibukan dengan peralatan dapur, membuat sarapan untuknya dan Kanaya. Meskipun ada asisten rumah tangga, tapi untuk hal memasak nenek Naura turun tangan sendiri. Beliau ingin Kanaya selalu ingat tentang masakan rumah buatannya.
Sudah 8 tahun, nenek Naura mengurus cucu perempuan satu-satunya dalam keluarga. Beliau menginginkan yang terbaik untuk Kanaya supaya dia tidak merasakan kehilangan kasih sayang. Namun, sayangnya Kanaya merasa demikian. Walaupun ia tidak pernah mengatakan langsung tentang derita yang ditanggungnya. Tidak lama berselang Kanaya datang. Neneknya menoleh melihat penampilan wanita itu yang siap pergi kembali menjelajahi dunia luar.
"Kamu mau ke mana, Sayang? Ayo sarapan dulu, nenek sudah buatkan makanan kesukaanmu ayam goreng lada hitam." Titahnya. Kanaya mengangguk dan duduk disalah satu kursi meja makan.
Dalam keheningan ia menikmati suapan demi suapan nasi yang masuk ke dalam mulutnya. Nenek Naura tersenyum senang tidak percaya sudah membesarkan Kanaya seorang diri. Kini gadis kecilnya sudah menjadi seorang wanita cantik.
"Kenapa nenek menyuruhku pergi ke Korea? Apa nenek sudah tidak ingin tinggal bersamaku lagi?" tanya Kanaya tiba-tiba. Nenek Naura pun membalas tatapannya, "Bukan seperti itu sayang. Nenek pikir kamu merindukan papah dan mamah mu. Terlebih mamah mu ingin kamu menemuinya di Korea. Kamu tahu sendirikan seperti apa sibuknya ayah tirimu dengan perusahaannya? Dan Jihan tidak mungkin meninggalkannya. Karena mamah mu jadi sekretarisnya," jelas sang nenek.
Kanaya diam sejenak hingga, "Entahlah, Kanaya gak kepikiran buat ketemu. Kalau gitu Kanaya pergi dulu, assalamu'alaikum." Ia melengos pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Nenek Naura hanya menatap kepergiannya. Selalu saja seperti ini setiap kali mereka membahas orang tua wanita itu seolah menghindarinya.
...***...
Jalanan lenggang pagi ini menjadi sirkuit laju kendaraannya. Mobil itu dengan kencang membelah angin dengan bebas. Kanaya terkenal sebagai seorang pembalap wanita amatir di daerahnya.
Sudah tiga tahun Kanaya sering ikut balapan bersama teman-teman prianya. Berkendara dengan kecepatan di atas rata-rata membuatnya melupakan kembali kesedihan.
Terkadang sesuatu hal yang memicu adrenalin memberikan tantangan tersendiri untuk melupakan kesakitan. Itulah yang dirasakan Kanaya.
Sudah hampir dua jam lamanya, ia berkendara tanpa tujuan. Kini ia pun memutuskan untuk pergi ke basecamp tempat teman-temannya berkumpul. Rumah sederhana itu terlihat sepi tak berpenghuni.
Tanpa memberitahu siapa pun Kanaya datang ke sana. Baru saja ia hendak membuka pintu, tangan kananya mengambang di udara saat samar-samar ia mendengar percakapan dua orang di dalam.
"Gue pikir tidak ada siapa-siapa. Tunggu! Suara itu seperti," gumam Kanaya seraya mendekatkan daun telinganya ke arah pintu.
"Angga, sebenarnya selama ini gue suka sama lo," ucap seorang wanita membuat kedua mata Kanaya membulat.
"Tapi Bi, lo tahu sendirikan kalau gua suka sama Kanaya," jawab si pria.
"Mau sampe kapan lo menunggu? Sudah jelas-jelas di sini ada orang yang rela buat memperhatikan lo setiap waktu. Lo tidak pernah buka mata hati lo buat gue, Ngga." Setetes air mata mengalir di pipinya.
Pria mana pun tidak sanggup melihat seorang wanita menangis di hadapannya, termasuk Angga. Secara naluriah ia merengkuh Bianca, "Sorry Bi gua gak pernah memperhatikan lo selama ini. Okay, gua coba buka hati buat lo."
Bersamaan dengan itu pintu depan terbuka lebar, seorang wanita menyaksikan drama singkat di depannya. Pandangan kekecewaan tercetak jelas di sana.
"Gue tidak pernah menyangka yah, ternyata lo suka juga sama Angga? Selama ini gue sering cerita ama lo Bi. Kalau gue suka sama Angga. Kenapa lo tidak pernah bilang? Apa lo kasihan? Sorry gue tidak butuh dikasihani. Cih! Lucu sekali. Dan lo, Angga bukannya suka sama gue tapi nyatanya apa? Lo malah mengkhianati perasaan sendiri. Ternyata selama ini gue ada di lingkungan orang-orang yang salah." Kanaya kembali pergi dengan derai air mata.
Bianca dan Angga terdiam tidak bisa berbuat apa-apa, merasa bersalah telah menyakiti hati Kanaya yang telah rapuh. Kini luka baru tercetak dihatinya.
Bak pembalap profesional Kanaya melajukan mobilnya dengan sangat kencang. Sesak di dadanya tak kunjung reda. Lengkap sudah penderitaan yang dirasakannya saat ini. Orang-orang terdekatnya yang telah ia percayai ternyata mengkhianati. Menusuknya dari belakang dengan kejam. Tidak ada lagi cinta tulus untuknya. Semua berkhianat dalam topeng kebaikan. Senyum palsu menutupi kebohongan. Perhatian sebagai simbol pendustaan.
Itulah perasaan Kanaya saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 256 Episodes
Comments
Nur hikmah
w mmpir lgi stlh bca quen the perent mnrik....lgi2 d korea selatan ky riana n yeon ji....
2021-11-18
0
Naay
Ceritanya menarik :)
2021-01-19
2