Aku terlahir dari keluarga yang bisa dibilang sangat berada. Rumah megah, kendaraan mewah, barang-barang branded bisa dibeli sebanyak yang aku mau, apa pun mudah didapatkan. Seperti itulah gambaran tentang kehidupanku.
Semua bisa kumiliki, tapi di balik itu aku menyimpan luka teramat dalam di hati ini. Mungkin tidak ada yang tahu, bahkan orang terdekat pun tidak mengetahuinya atau mungkin tidak ingin tahu. So aku tidak pernah memperlihatkan penderitaan ini kepada orang lain. Aku tidak butuh perhatian mereka. Bagiku perhatian itu hanya menyisakan kepedihan.
Luka yang berkali-kali ku tepis, ku jahit, ku lupakan, tetap saja masih tertinggal di dasar relung hati terdalam.Tidak pergi dan tidak menghilang. Always, basah layaknya luka menganga di tubuh yang tidak bisa mengering dan disembuhkan.
Hari-hari dilalui layaknya awan hitam setiap detik siap menurunkan hujan lebat. Hanya ada awan mendung di kedua mata ini dan ... tidak ada binar kebahagiaan di sana.
Kesenangan memang kudapatkan.
*Namun, kata orang itu bukankah jalan yang benar. Penuh kesalahan dan banyak kebathilan.
Bodo amat apa kata mereka, toh yang terpenting dengan cara seperti itu aku bisa mendapatkan kesenangan. Tentunya dengan tujuan melupakan kepedihan, kesakitan yang terpendam*.
Thanks, mom, dad sudah memberikan luka besar padaku.
Aku Navisha Kanaya Humaira, seorang anak korban broken home.
Burung dalam sangkar saja terlihat bahagia dibandingkan diriku.
Betapa menyedihkannya aku, bukan?
...***...
Suara musik berdentum keras mengenyahkan keheningan. Bola lampu besar berkelap-kelip di atas ruangan memberikan efek kesenangan sementara.
Orang-orang berdatangan silih berganti. Ada yang berpasangan, ber-grup dan mereka menari mengikuti irama serta ditemani minuman beralkohol melupakan sejenak kegelisahan dalam hidup.
Semua orang yang ada di sana sama sekali tidak mengindahkan jika tempat tersebut memiliki kebahagiaan semu dan sementara.
Tidak lama kemudian seseorang masuk memeriahkan kesenangan mereka. Layaknya semut bergerombol keluar dari sarang, semua orang antusias menyambut kedatangan DJ. Pria itu pun memutar musik metal dengan kencang. Keriuhan tidak bisa dihindari, orang-orang yang ada di sana hanyut dalam buaian duniawi.
Dering ponsel di atas meja mengusik ketenangan seseorang. Berkali-kali kedua bola matanya menangkap ponsel menyala menampilkan salah satu kontak di layar. Tidak nyaman, ia pun akhirnya membawa ponsel itu dan menepuk bahu si pemilik.
"Kay, ponsel lo dari tadi bunyi terus. Nih, angkat siapa tahu ada yang penting." Wanita berambut lurus panjang itu menyodorkan benda pipih tadi ke arahnya.
"Apaan Bi, mengganggu tahu. Tidak ada yang penting," jawabnya cuek tanpa mempedulikan ponsel yang kembali berdering tanpa henti.
Jengah dengan bunyi itu, Bianca pun mengangkat panggilan tersebut.
"Halo!!"
"Halo, assalamu'alaikum, Kanaya," suara wanita paruh baya terdengar.
"Oh maaf nek, saya Bianca sahabatnya Kanaya. Sebentar saya kasih tahu dia dulu."
Tanpa menunggu jawaban si penelpon Bianca kembali mengusik kesenangan sahabatnya yang tengah larut dalam alunan musik keras.
"Kay, ini nenek lo. Cepat jawab!!" Titahnya setengah memaksa.
"Cih!!" Seraya berdecak sebal, Kanaya menerima ponselnya.
"Hm, iya nek," sahutnya.
"Assalamu'alaikum sayang, cepat pulang nak. Ada sesuatu yang harus nenek katakan. Jangan membantah ini penting!!!"
Mendengar nada tegas, mau tidak mau Kanaya mengiyakan ucapan sang nenek. Ia pun menyambar tas dan jaketnya lalu pergi dari tempat itu. Hal tersebut tentu saja mengundang tanda tanya teman-temannya yang lain.
Terutama pria itu. Sosok pria maskulin dengan potongan rambut rapih yang tengah mengenakan jaket denim menahan pergelangan tangan Kanaya.
"Kamu mau ke mana Kay?" tanyanya dengan suara tenang.
"Angga? Nenek gue tadi nelpon, nyuruh balik. Kalau begitu gue balik duluan yah, bye."
Kanaya melepaskan genggaman tangan Angga lalu melangkah pergi meninggalkannya.
Bianca dan kedua temannya yang lain berjalan mendekat lalu menatap mata sayu Angga dengan pandangan sulit diartikan.
"Mau sampe kapan lo menyimpan perasaan? Katakan langsung saja. Lagian, kalian sudah lama sahabatan. Sejak smp, apa lo masih betah seperti ini terus?" ucap salah satu pria lainnya, bernama Raihan.
"Gue setuju apa kata si Raihan. Lo kan cinta banget sama Kanaya, dan gue yakin dia juga punya perasaan yang sama," lanjut teman wanitanya bernama Safira. Wanita berkacamata ini sosok paling diandalkan dalam kelompok pertemanan mereka.
Bianca tidak mengatakan apa-apa, terdiam meresapi perkataan teman-temannya. Dia tahu seperti apa perasaan Angga dan Kanya.
Sudah sering Bianca menjadi tempat curhat keduanya. Terlebih Kanaya adalah sahabatnya dari kecil. Ia tahu seperti apa kehidupannya. Salah satunya tentang perasaan. Namun, yang menjadi penghalang penyatuan kedua insan itu adalah kondisi mental Kanaya. Dia terlalu menutup diri dengan yang namanya "CINTA". Meskipun Kanaya mengatakan suka pada sosok Angga, tetapi wanita itu entah kenapa enggan untuk memulai sebuah hubungan.
Kanaya terlalu bersembunyi di balik topeng senyum palsu keceriaan. Padahal, jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam ia benar-benar rapuh. Tidak ada yang tahu tentang hal itu. Dia terlalu pandai menyembunyikannya.
Hanya satu yang Bianca inginkan, kebahagiaan sang sahabat. Tapi, haruskah bersama Angga? Pria yang diam-diam aku cintai juga? Tidak ada satu pun dari mereka mengetahui rahasianya ini.
"Sorry Kay, gue juga ingin lo bahagia, tapi gue-" batinnya meracau memandang kosong ke depan.
...***...
Mobil sedan hitam melaju dengan kecepatan tinggi. Jalanan di ibu kota tengah malam ini terlihat lengang tidak seperti siang hari selalu dipadati kendaraan. Si pengemudi senang merasa ardenalin nya terpacu.
"Apa ada hal baik?" gumamnya.
Langit terlihat sangat gelap. Hal itu membuat Kanaya berkonsentrasi di jalanan. Hawa dingin begitu menusuk membuatnya tidak sabar ingin segera tiba di rumah. Jam sudah menunjukan pukul dua belas lebih. Keheningan itu tidak menyurutkan orang lain untuk menghabiskan waktu bersama di trotoar. Melihat itu Kanaya menyunggingkan senyum menyeringai. Entahlah di saat sendirian seperti ini ia sering merasa kesepian.
Tidak lama berselang, mobilnya memasuki pekarangan. Rumah mewah di sekitar perumahan elit bernuansa putih ini menggambarkan kehidupan bak kerajaan. Kini sang putri yang terkenal liar telah pulang.
Setelah memarkirkan kendaraannya, Kanaya bergegas memasuki bangunan tersebut. Hening menyambutnya dan keadaan itu sudah menjadi kebiasaan.
Pintu terbuka lebar, hal pertama yang ia lihat seorang wanita paruh baya berhijab merah panjang tengah berkacak pinggang di ruang tamu. Sedari tadi sang nenek menunggu kepulangannya. Kanaya memutar bola matanya. Entah karena dia bosan atau jengah kesenangannya harus terusik begitu saja.
"Kamu pergi ke klub malam lagi? Astaghfirullah, Kanaya mau sampai kapan? Agama kita melarang kamu pergi ke tempat seperti itu, sayang. Lihat pakaianmu itu Ya Allah.... Ya Rabbi mini sekali. Kamu tidak minum minuman itukan?"
Pertanyaan beruntun dari sang nenek membuat Kanaya kembali memutar bola matanya.
Ia pun duduk di sofa seraya menatap neneknya, "Aku tahu Nek, tapi mau bagaimana lagi dengan cara seperti itu aku menemukan kesenangan, kebahagiaan. Dan melupakan semua beban." Jawabnya seraya merentangkan kedua tangan, seperti burung keluar dari sangkar.
Neneknya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan cucunya ini. Beliau mengerti apa yang menjadi beban Kanaya. Kedua orang tua, itulah faktor utamanya. Namun, beliau tidak bisa berbuat banyak.
Sudah sering Kanaya dinasehati, tapi tetep saja dia masih melakukan hal yang sama. Seolah hal itu sudah menjadi bagian dalam hidup. Perceraian orang tua menjadi dasar utama Kanaya berbuat seenaknya. Peristiwa tidak diinginkan itu terjadi atas kehendak mereka dan tanpa memikirkan perasaan Kanaya sebagai pelengkap keluarga. Dari kecil Kanaya sudah tinggal bersama neneknya. Dari umur 5 tahun sampai sekarang hanya ada sang nenek yang merawatnya.
Orang tua? Hanya sebatas pelengkap dalam kamus hidup seorang Kanaya.
"Sudah berapa kali Nenek ingatkan kamu untuk berubah. Kay, berubah lah Sayang, Allah menyayangimu. Karena itulah Allah memberikan masalah padamu," ujar neneknya lagi. Kanaya tidak berkata apa-apa dan beranjak dari sana menapaki satu demi satu anak tangga. Tidak lama suara neneknya kembali menginterupsi.
"Mereka ingin kamu pergi ke Korea Selatan, Sayang. Ini juga permintaan nenek, mamah dan papah mu menunggu di sana," sang nenek pun mengungkapkan tujuannya.
Kanaya terdiam. Tanpa kata-kata yang keluar dari mulutnya ia benar-benar pergi meninggalkan sang nenek di sana. Wanita berusia 60 tahunan itu mengusap wajahnya gusar.
"Ya Allah berikanlah hidayah untuk cucuku."
Itulah harapan yang setiap saat neneknya inginkan.
Di dalam kamar bernuansa gold itu, Kanaya merenung dengan tatapan kosong.
Tidak lama kemudian bola matanya bergulir melihat ke arah nakas. Di sana terdapat figura kecil yang memperlihatkan potret tiga orang tengah tersenyum manis. Dua orang dewasa dan satu gadis kecil dalam pangkuan terlihat seperti sebuah keluarga yang harmonis.
Seringaian tercetak di wajah cantik Kanaya. Rambut hitam panjang ikal di ujungnya memperlihatkan sisi dewasa gadis kecil dalam foto.
Perjalanan panjang tanpa kehadiran dua sosok malaikat di hidupnya membuat Kanaya harus berjuang seorang diri. Rasa iri melanda saat perpisahan sekolah datang. Mereka yang didampingi ayah dan ibunya sering kali membuat Kanaya harus menelan pil kekesalan. Hanya ada sang nenek sebagai peneman. Tidak pernah Kanaya merasakan bahagianya disayangi oleh dua orang yang disebut ayah dan ibu.
Gadis kecil itu kini sudah berubah menjadi wanita "liar" yang sering menyibukkan diri dengan kesenangan duniawi tanpa mengindahkan aturan agama yang melekat pada dirinya sejak ia dilahirkan ke dunia. Hanya sebatas status tanpa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ia sering melakukan hal sesuka hatinya.
Lagi, air mata mengalir di kedua pipi mulusnya saat memikirkan hal yang menimpa hidupnya. Kanaya pun menghapusnya kasar. Berkali-kali belati tak kasat mata mengoyak dan merobek hatinya. Di dalam kesendirian ini Kanaya berubah menjadi wanita cengeng, seperti anak kecil.
Kanaya kembali teringat akan masa-masa indah dulu saat orang tuanya masih ada di sampingnya tanpa terhalang apapun. Meskipun itu hanya sementara, tapi tetap melekat dalam ingatan. Kini bunga indah itu layu tidak diinginkan oleh siapa pun, bagaimana pun kondisinya orang lain tidak mau melirik.
"Teganya kalian meninggalkanku memangnya uang bisa menggantikan kasih sayang?" racaunya dalam keheningan.
...***...
Subuh menjelang, entah sudah ke berapa kali neneknya membangunkannya. Wanita berumur dua puluh dua tahun itu masih betah bergelung nyaman dibalik selimut tebalnya tidak menghiraukan kehadiran orang lain di sana.
Nenek Naura berkacak pinggang melihat cucu terdekatnya ini. Sudah menjadi kebiasaan dari dulu kegiatan itu dilakukannya sebelum memulai hari.
"KANAYA BANGUN AYO SALAT SUBUH!"
Suara yang melengking itu sontak membuat kedua mata bulatnya terbuka lebar. Tidak ingin membuat neneknya murka lebih parah Kanaya pun beranjak dari tempat tidurnya.
"Iya nek, ini Kanaya sudah bangun. Ya Tuhan masih mengantuk padahal. Jawabnya dengan menguap lebar.
"Pokoknya kamu harus salat subuh dulu, ayo." Nenek Naura menarik pergelangan tangan wanita muda ini keluar kamar.
Sekarang kedua wanita yang terpaut beda usia jauh itu tengah berada di mushola melakukan salat subuh bersama. Selalu seperti ini.
Selesai melakukan ibadahnya Kanaya sering menitikkan air mata. Cahaya remang berhasil menyembunyikan kesedihan. Neneknya tidak pernah tahu akan hal itu. Masih menjadi alasan terbesar kenapa Kanaya sering menangis selepas salat subuh.
"Apa lagi kalau bukan mereka? Papah dan mamah. Hidupku bukanlah sebuah drama televisi, tapi kenapa rasanya sama? Mungkin dalam drama bisa saja mendapatkan akhir yang bahagia. Dalam cerita orang tua yang sudah berpisah itu kembali dan menggelar sajadah bersama anak-anaknya. Tapi sepertinya tidak dengan hidupku. Karena apa? Karena hidupku bukanlah sebuah drama."
Dalam lamunan Kanaya berceloteh seraya pandangannya jatuh ke bawah melihat ukiran masjid di sajadah merahnya.
Nenek Naura yang baru selesai berdoa memandanginya lekat. Sorot mata kesedihan itu pun tertangkap pandangan.
"Kay, apa kamu merindukan papah dan mamah mu?"
Pertanyaan tadi sontak membuat Kanaya terkejut. Tidak sepatah kata pun ia lontarkan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan berat itu.
"Kalau kamu merindukan mereka, kita bisa pergi ke Korea."
Hal itu lagi yang diungkit.
"Kanaya harus pergi Nek, ada hal penting yang harus diurus."
Tanpa sedikit pun membahas ucapan neneknya. Kanaya berlalu begitu saja setelah mengecup singkat punggung tangannya.
"Ya Allah Jihan, Faid apa yang sudah kalian tanamkan pada anak kalian, Kanaya? Astaghfirullah." Gumam nenek Naura seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kanya sudah kembali ke kamar, duduk dimeja rias menatap pantulan dirinya sendiri. Menyedihkan, satu kata terlintas dalam benak. Rambut tergerai panjang, wajah polos tanpa polesan make up terlihat sarat akan kesedihan.
"Kenapa mereka menyuruh pergi ke Korea? Buat apa juga gue ketemu mereka? Toh kalau ketemu pun percuma. Hanya menimbulkan kesakitan yang lebih parah." Racau Kanaya di depan cermin. "Navisha Kanaya Humaira, hidup lo menyedihkan sekali." Sudut bibir kanannya terangkat membentuk seringaian yang tergambar jelas.
Jam menunjukan pukul 7 pagi. Seperti hari-hari yang telah lalu nenek Naura kembali disibukan dengan peralatan dapur, membuat sarapan untuknya dan Kanaya. Meskipun ada asisten rumah tangga, tapi untuk hal memasak nenek Naura turun tangan sendiri. Beliau ingin Kanaya selalu ingat tentang masakan rumah buatannya.
Sudah 8 tahun, nenek Naura mengurus cucu perempuan satu-satunya dalam keluarga. Beliau menginginkan yang terbaik untuk Kanaya supaya dia tidak merasakan kehilangan kasih sayang. Namun, sayangnya Kanaya merasa demikian. Walaupun ia tidak pernah mengatakan langsung tentang derita yang ditanggungnya. Tidak lama berselang Kanaya datang. Neneknya menoleh melihat penampilan wanita itu yang siap pergi kembali menjelajahi dunia luar.
"Kamu mau ke mana, Sayang? Ayo sarapan dulu, nenek sudah buatkan makanan kesukaanmu ayam goreng lada hitam." Titahnya. Kanaya mengangguk dan duduk disalah satu kursi meja makan.
Dalam keheningan ia menikmati suapan demi suapan nasi yang masuk ke dalam mulutnya. Nenek Naura tersenyum senang tidak percaya sudah membesarkan Kanaya seorang diri. Kini gadis kecilnya sudah menjadi seorang wanita cantik.
"Kenapa nenek menyuruhku pergi ke Korea? Apa nenek sudah tidak ingin tinggal bersamaku lagi?" tanya Kanaya tiba-tiba. Nenek Naura pun membalas tatapannya, "Bukan seperti itu sayang. Nenek pikir kamu merindukan papah dan mamah mu. Terlebih mamah mu ingin kamu menemuinya di Korea. Kamu tahu sendirikan seperti apa sibuknya ayah tirimu dengan perusahaannya? Dan Jihan tidak mungkin meninggalkannya. Karena mamah mu jadi sekretarisnya," jelas sang nenek.
Kanaya diam sejenak hingga, "Entahlah, Kanaya gak kepikiran buat ketemu. Kalau gitu Kanaya pergi dulu, assalamu'alaikum." Ia melengos pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Nenek Naura hanya menatap kepergiannya. Selalu saja seperti ini setiap kali mereka membahas orang tua wanita itu seolah menghindarinya.
...***...
Jalanan lenggang pagi ini menjadi sirkuit laju kendaraannya. Mobil itu dengan kencang membelah angin dengan bebas. Kanaya terkenal sebagai seorang pembalap wanita amatir di daerahnya.
Sudah tiga tahun Kanaya sering ikut balapan bersama teman-teman prianya. Berkendara dengan kecepatan di atas rata-rata membuatnya melupakan kembali kesedihan.
Terkadang sesuatu hal yang memicu adrenalin memberikan tantangan tersendiri untuk melupakan kesakitan. Itulah yang dirasakan Kanaya.
Sudah hampir dua jam lamanya, ia berkendara tanpa tujuan. Kini ia pun memutuskan untuk pergi ke basecamp tempat teman-temannya berkumpul. Rumah sederhana itu terlihat sepi tak berpenghuni.
Tanpa memberitahu siapa pun Kanaya datang ke sana. Baru saja ia hendak membuka pintu, tangan kananya mengambang di udara saat samar-samar ia mendengar percakapan dua orang di dalam.
"Gue pikir tidak ada siapa-siapa. Tunggu! Suara itu seperti," gumam Kanaya seraya mendekatkan daun telinganya ke arah pintu.
"Angga, sebenarnya selama ini gue suka sama lo," ucap seorang wanita membuat kedua mata Kanaya membulat.
"Tapi Bi, lo tahu sendirikan kalau gua suka sama Kanaya," jawab si pria.
"Mau sampe kapan lo menunggu? Sudah jelas-jelas di sini ada orang yang rela buat memperhatikan lo setiap waktu. Lo tidak pernah buka mata hati lo buat gue, Ngga." Setetes air mata mengalir di pipinya.
Pria mana pun tidak sanggup melihat seorang wanita menangis di hadapannya, termasuk Angga. Secara naluriah ia merengkuh Bianca, "Sorry Bi gua gak pernah memperhatikan lo selama ini. Okay, gua coba buka hati buat lo."
Bersamaan dengan itu pintu depan terbuka lebar, seorang wanita menyaksikan drama singkat di depannya. Pandangan kekecewaan tercetak jelas di sana.
"Gue tidak pernah menyangka yah, ternyata lo suka juga sama Angga? Selama ini gue sering cerita ama lo Bi. Kalau gue suka sama Angga. Kenapa lo tidak pernah bilang? Apa lo kasihan? Sorry gue tidak butuh dikasihani. Cih! Lucu sekali. Dan lo, Angga bukannya suka sama gue tapi nyatanya apa? Lo malah mengkhianati perasaan sendiri. Ternyata selama ini gue ada di lingkungan orang-orang yang salah." Kanaya kembali pergi dengan derai air mata.
Bianca dan Angga terdiam tidak bisa berbuat apa-apa, merasa bersalah telah menyakiti hati Kanaya yang telah rapuh. Kini luka baru tercetak dihatinya.
Bak pembalap profesional Kanaya melajukan mobilnya dengan sangat kencang. Sesak di dadanya tak kunjung reda. Lengkap sudah penderitaan yang dirasakannya saat ini. Orang-orang terdekatnya yang telah ia percayai ternyata mengkhianati. Menusuknya dari belakang dengan kejam. Tidak ada lagi cinta tulus untuknya. Semua berkhianat dalam topeng kebaikan. Senyum palsu menutupi kebohongan. Perhatian sebagai simbol pendustaan.
Itulah perasaan Kanaya saat ini.
Satu minggu berlalu setelah kejadian menimpa Angga, Bianca dan juga Kanaya. Persahabatan di antara mereka kandas seketika. Begitu pula dengan kedua temannya yang lain.
Kanaya memblokir semua kontak mereka. Kepercayaan sudah hilang dalam dirinya. Entahlah ia sudah tidak ingin berhubungan apa pun lagi.
Dibuang, tidak dipedulikan, dihempas, seperti itulah gambaran mengenai hatinya saat ini. Kanaya sudah tidak ingin terikat dengan teman-temannya. Bahkan hingga detik ini pun kedua pelaku itu tidak pernah datang untuk meminta maaf. Ia anggap itu sebagai salam perpisahan.
Saat ini ia dan sang nenek sudah berada dalam pesawat hendak menuju Negeri Ginseng, Korea Selatan. Empat hari lalu Kanaya memutuskan untuk menyetujui pertemuannya dengan sang ibu.
Nenek Naura pun senang, berharap ada kebahagiaan tengah menunggu cucunya di sana. Namun, kenyataannya Kanaya hanya ingin mencari suasana baru, melupakan pengkhianatan para sahabatnya.
"Cih! Bisa-bisanya mereka menusuk dari belakang. Cinta? Apa itu bisa dipercaya? Selama ini aku selalu menunggu Angga menyatakan perasaannya, tapi itu tidak pernah terjadi. Aku tidak punya keberanian mengatakannya lebih dulu, seperti Bianca. Ah, menyebut namanya saja membuat hatiku sakit. Bodohnya kamu, Kanaya. Aku pikir di balik kejadian ini ada pembelajaran yang bisa diambil. Ternyata sahabat yang selama ini aku anggap keluarga sendiri tidak bisa dipercaya," racau Kanaya dalam diam. Tatapannya jatuh ke samping melihat awan berarak di sekitar.
Akhirnya setelah menempuh perjalanan panjang, pesawat tiba di Bandara Internasional Incheon. Kanaya dan nenek Naura bergegas mencari seseorang yang telah menunggu mereka.
Beberapa menit lalu ibunya mengabari jika tidak bisa menjemput dan menyuruh orang sebagai pengganti. Seorang pria berjas hitam itu pun berjalan mendekati keduanya.
"Apa Anda Kanaya-ssi dan Naura-ssi?" tanya pria itu menggunakan bahasa Korea.
"Ne," jawab Kanaya singkat
Wanita itu cukup mahir berbahasa asing. Kanaya menguasai lima bahasa yaitu, bahasa Inggris, Korea, Jepang, China dan Perancis. Dari kecil ibunya memang ketat memasukan ia ke beberapa les bahasa asing.
"Saya Lee Dong Hae, disuruh Nyonya Jihan untuk menjemput kalian berdua," jelasnya membuat mereka mengangguk mengerti.
Kini pria berjas tadi membawa Kanaya dan Nenek Naura menuju suatu tempat yang menjadi pertemuan antar keluarga.
"Kenapa tidak jemput sendiri? Sesibuk itukah? Sampai-sampai harus menyuruh orang lain menjemput anak dan ibunya," batin Kanaya lagi.
Tidak lama kemudian mereka tiba di sebuah restoran mewah bergaya Eropa modern di Seoul.
Pria bernama Lee Dong Hae kembali mengantar keduanya masuk ke dalam. Rasa penasaran menyeruak dalam dada kala Kanaya tidak tahu kenapa Lee bisa membawanya ke restoran.
Apakah ibu ada di sana? Pikirnya gamang.
Di tengah-tengah restoran ia menangkap bayangan seorang wanita yang visualnya sudah tidak asing lagi dalam pandangan. Wanita berambut hitam sepundak itu bangkit dari duduk saat netranya menangkap kedatangan anak dan ibunya.
"Kanaya," panggilnya.
Senyum cerah mengembang di bibir ranumnya, Kanaya hanya diam tidak merespon apa pun.
Di sana tidak hanya ada sang ibu saja yang terlihat, ada dua pria lagi yang Kanaya tahu salah satu dari mereka kini menjabat sebagai ayah tirinya dan satunya lagi duduk membelakangi.
"Alhamdulillah, kamu mau datang Sayang. Sini, kenalkan dia rekan bisnis ayahmu," ucap sang ibu berjalan membawa Kanaya ke depan pria asing itu.
Kanaya pun bisa melihat jelas siapa dia. Seorang pria muda berambut hitam rapih, berkacamata bulat membingkai mata sipitnya kini bertatapan dengannya.
Pria itu bangkit melihat kedatangan Kanaya dan merasa aneh dengan penampilannya yang jauh berbeda dari ibunya maupun neneknya.
Seperti wanita yang jauh dari aturan, pikirnya.
"Jadi dia orangnya?" batin pria itu.
"Kanaya," kata Kanaya singkat, seraya mengulurkan tangan.
Namun, siapa yang menyangka jika pria di hadapannya menangkupkan kedua tangan di depan dada menolak berjabatan tangan dengan Kanaya.
"Kim Yejun-imnida," jawabnya seraya tersenyum singkat.
"Cih." Kanaya berdecih seraya duduk di kursi tepat berhadapan dengannya. "Sok alim banget," gumamnya, pria bernama Kim Yejun ini hanya tersenyum mendengar ocehan itu, sedangkan ibu dan neneknya sibuk melepas kerinduan satu sama lain.
Setelah acara pribadi singkat mereka, kini ibunya membuka suara kembali.
"Pertemuan ini bukanlah suatu kebetulan, tapi Mamah, Ayah dan semua keluarga sudah sepakat untuk menjodohkan mu dengan Kim Yejun. Kami ingin kalian menikah."
Bak petir di siang bolong, Kanaya terkejut bukan main mendengar penuturan sang ibu barusan. Kedua matanya membulat, ternyata tujuan mereka menyuruhnya datang ke sana untuk perjodohan? Sungguh tidak masuk akal. Pikir Kanaya menggelengkan kepala beberapa kali, menatap ibu dan berakhir pada sang nenek.
"Nenek tahu semua ini?" tanya Kanaya tidak percaya.
Nenek Naura mengangguk singkat. "Nenek juga ingin yang terbaik untukmu, Sayang."
Mulut ranum Kanaya menganga lebar tidak mempercayai hal itu.
"Mamah juga sudah bicara dengan papah mu dan juga Yejun sendiri dan mereka setuju. Kim Yejun ini, dia adalah rekan kerja ayah tirimu, jadi Mamah sudah tahu pria seperti apa dia ini. Yejun anak yang baik, penuh tanggung jawab dan lagi dia seiman dengan kita. Jadi, Yejun bisa menjadi imam terbaik untukmu ... Ini juga untuk kebahagiaanmu sendiri, Sayang."
Mendengar penjelasan dari ibunya malah membuat Kanaya semakin dirundung tidak suka.
Kedua tangan mengepal kuat dengan tatapan mata begitu serius. Kanaya bangkit dari duduk memperlihatkan kekesalan.
"Siapa pun tidak berhak menentukan kebahagiaanku. Mamah juga tidak usah sok peduli. Karena selama ini kebahagiaan Kanaya sudah hilang bersama dengan perpisahan kalian. Mamah pergi tanpa menganggap ku ada, tidak mempedulikan apakah aku bisa hidup tanpa orang tua? Dan sekarang mamah menyuguhkan hal seperti ini untuk kebahagiaanku? Sama sekali tidak masuk akal, yang ada hanya menambah luka. Ayah? Aku tidak punya seorang ayah, yang ada dalam hidupku hanyalah papah. Jangan samakan dia seperti papah kandungku. Permainan apa lagi yang ingin kalian lakukan padaku? Apa penderitaan selama ini tidak cukup Mamah berikan padaku?"
Setelah berkata panjang lebar Kanaya menyambar tasnya dan berlalu dari sana menyisakan keheningan begitu kuat.
Kim Yejun, pria berkacamata memakai kemeja biru dongker itu sangat terkejut melihat kilatan amarah dari Kanaya. Drama singkat tadi menyadarkan jika ada sesuatu yang tidak ia ketahui dari keluarga ini, sedangkan kepala kelurga Lee itu hanya terdiam.
"Ayah, papah? Apa tadi wanita itu sengaja berbicara bahasa Korea agar aku tahu? Entahlah, yang jelas aku menangkap sesuatu di sini. Apa Nyonya Jihan dan Tuan Lee menyembunyikan sesuatu dariku? Apakah Lee Yon Ju ini bukanlah ayah kandung Kanaya?" sekelumit pertanyaan terus berputar dalam kepalanya.
Wajah seputih susu, sebening porselin itu nampak sedikit memerah.
Beberapa saat berlalu setelah kepergian Kanaya, Lee Jihan tersenyum canggung padanya. Ia tidak menyangka pertemuan kembali dengan putrinya akan membuahkan kekacauan.
Namun, siapa pun pasti tidak akan setuju jika kebebasannya harus direnggut paksa oleh tangan orang lain. Terlebih dalam hal pasangan hidup, sesuatu hal yang paling sensitif.
"Ah, Yejun em saya minta maaf atas ketidaknyamanan tadi. Sudah lama memang saya tidak bertemu dengan Kanaya, mungkin dia sedang kelelahan karena baru mendarat. Sekali lagi saya minta maaf," jelas Jihan merasa tidak enak dengan pria muda di depannya.
"Ah, tidak apa-apa Nyonya Lee. Saya mengerti. Siapa pun pasti terkejut dengan perjodohan mendadak seperti ini," jawab Yejun tersenyum ramah.
Nenek Naura terkesan dengan kebaikannya. Sekilas menggelengkan kepala mengerti bagaimana keadaan cucunya sekarang.
"Jadi, Kim Yejun ini yang akan dijodohkan dengan Kanaya?" Yejun menatap wanita baya berhijab merah itu.
Yejun memberikan senyum ramah seraya mengangguk singkat. "Kenalkan saya Nenek Kanaya. Saya dengar tadi kamu seiman dengan kita. Kamu seorang muslim? Bagaimana bisa? Bukankah di sini minoritas?" tanya Naura penasaran.
"Saya memang seorang mualaf. Sudah sembilan tahun saya memeluk Islam," jelasnya.
Sang nenek mengangguk senang. Entah kenapa melihat Yejun di hadapannya ini membuat ia tenang untuk menitipkan Kanaya padanya.
Harapan baru terbit dalam benak dan setitik cahaya terlihat untuk masa depan sang cucu.
"Lalu, di mana orang tuamu? Apa mereka menyetujui perjodohan ini?"
Pertanyaan kedua darinya seketika membuat keadaan menjadi hening kembali. "Apa aku salah bicara?" batin Naura.
"Kedua orang tua saya sudah meninggal lima tahun lalu," jawab Yejun.
"A, mianhae, saya turut berduka." Perasaan menyesal pun merundungi hati Naura.
"Tidak apa-apa," balas Yejun tersenyum tulus.
Di sana sang anak mengerutkan dahi dalam seperti merasakan sesuatu mengganjal dalam hatinya.
"Tunggu, Mamah bisa bahasa Korea?" tanya Jihan spontan. Hal itu membuat perhatian semua orang mengarah padanya.
"Kamu ini bagaimana, tentu saja Mamah bisa. Bukankah lima belas tahun lalu kita sempat tinggal di sini selama sepuluh tahun?" ungkapnya.
Jihan tersenyum canggung kala sudah melupakan semua itu.
Kini mereka berempat berbincang bersama mendekatkan tali kekeluargaan. Namun, tidak bisa dipungkiri rasa penasaran masih menghantui Yejun mengenai keluarga Lee ini.
Tentang, siapakah sosok Kanaya itu? Lalu ada fakta apa yang terjadi di dalamnya? Kenapa dia terlihat menyimpan sebuah luka? Pertanyaan itu terus saja mengembang dalam kepala bulatnya.
...***...
Mobil hitam melaju di jalanan kota Seoul. Sedari tadi Kanaya hanya melamun, tidak ada hal yang dilakukan.
Sebuah kebiasaan yang tidak bisa hindari, jika ia sudah dalam mode seperti itu, artinya rasa sakit kembali menguasai. Hati dan pikirannya tidak sejalan. Bagaikan menggenggam air, apa yang ia dapatkan? Tidak ada sama sekali. Hanya ada jejak-jejak basah melekat di tangannya, seperti itulah luka dalam hatinya.
"Kita pergi ke mana nona?" tanya Lee yang tengah menyetir.
Kanaya tersadar, menoleh ke depan tanpa berekspresi apa pun. Sorot matanya yang tajam dan mencekam menatap jalanan.
"Hentikan mobilnya!" titah Kanaya kemudian.
Lee pun menurut dan segera menepikan kendaraan beroda empat itu di samping jalan. Kanaya keluar begitu pula dengan sang supir. Kini ia pun duduk di kursi pengemudi, membuka jendela seraya memberikan beberapa lembar uang padanya.
"Kamu bisa pulang sekarang, mobil ini biar aku saja yang bawa," ucap Kanaya. Tidak lama kemudian mobil itu pergi meninggalkan Lee seorang diri.
Keheningan melanda, Kanaya tidak tahu harus pergi ke mana sekarang. Suasana hatinya sedang tidak terkendali, hancur berantakan.
Mobil yang tengah di kendarainya melaju dengan sangat cepat. Orang-orang sempat memberikan klakson terkejut dengan si pengemudi satu ini.
Sumpah serapah dilayangkan, tapi Kanaya tidak mempedulikannya dan hal itu sudah biasa didapatkan.
Kata-kata serapahan yang diberikan tidak sebanding dengan rasa sakit yang ia emban.
Ia memukul stir kuat mengenyahkan kekesalan.
Air mata meleleh tak tertahan. Hatinya terasa sesak, dengan napas naik turun hingga membuat hidungnya memerah. Bibir ranum itu berkali-kali menghembuskan napas memberikan oksigen masuk ke dalam paru-paru.
Tidak ada kata yang terucap, hanya air bening terus meluncur bebas di kedua pipi menjadi saksi seperti apa hancurnya perasaan Kanaya.
Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. Kanaya memutuskan untuk bermalam disalah satu hotel mewah di Kota Seoul. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati "uang jajan" yang diberikan sang ibu.
Berkali-kali Jihan dan Naura mencoba menghubunginya. Namun, tidak sekali pun ia menerima panggilan tersebut. Rasanya terlalu berat bagi Kanaya menerima semua ini.
Setelah memesan kamar, ia bergegas mengistirahatkan tubuh lelahnya. Ia duduk di sofa panjang dekat jendela besar di tengah ruangan. Keindahan Kota Seoul terpancar dengan lampu-lampu dari gedung pencakar langit berkelap-kelip menyambut kehadirannya. Seulas senyum tergambar di bibir ranum itu, meskipun harus disertai linangan air mata.
"Kenapa aku seperti dijadikan boneka oleh mereka? Apa aku tidak pantas mengecap manisnya kebahagiaan? Dari dulu sampai sekarang tidak pernah kurasakan hangatnya sebuah keluarga."
"Mereka terlalu egois, menyuguhkan ku berbagai macam barang mewah dan uang berlimpah. Semua itu tidak bisa menggantikan kasih sayang, dan sekarang tiba-tiba saja mamah menjodohkan ku dengan pria asing? Di mana perasaan mereka? Ya ampun, tidak pernahkah mereka memikirkan bagaimana perasaanku? Dan lagi, siapa teman bagiku? Mereka semua sama saja, senang menyakiti perasaan orang. Apa itu hobi mereka? Kurang kerjaan sekali. Ini terlalu sakit." Kanaya meracau seorang diri seraya menangis pilu.
Hening menjadi saksi bisu tentang luka menganganya.
Gelapnya malam lebih gelap lagi dasar hati terdalam. Langit berbintang itu membuatnya iri. Di saat kelamnya hadir, tetapi bintang dengan setia menemani, sedangkan Kanaya hanya berteman dengan kehampaan.
Di tempat berbeda, di dalam rumah mewah bernuansa gold itu sepasang suami istri dan seorang wanita baya tengah menikmati hidangan makan malam bersama.
Tatapan sayu sang nenek tepat mengarah pada makanan yang tersusun rapih di meja, ingatannya terus mengarah pada sang cucu. Apa dia sudah makan? Di mana ia sekarang? Apa yang dilakukannya? Pertanyaan terus berputar dalam kepalanya.
Hingga detik ini Kanaya tidak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Bahkan panggilan mereka pun tidak pernah ia angkat, kekhawatiran nampak jelas di wajah Naura.
"Jihan, apa kamu tidak merindukan Kanaya?" tanpa mengalihkan tatapan dari meja Naura penasaran akan sesuatu.
"Apa maksud mamah? Tentu saja Jihan sangat merindukannya." jawabnya seraya memasukan daging sapi berkualitas tinggi ke dalam mulut.
"Lalu, apa yang kamu lakukan? Seharusnya kamu sendiri yang menjemput Kanaya di bandara tadi siang dan membawanya ke rumah ini lebih dulu lalu mengajaknya bicara, tapi ... apa yang kamu lakukan? Langsung mengatakan perjodohan? Tentu saja Kanaya terkejut dan pastinya berpikiran aneh tentangmu," jelas ibunya yang kini menatap sang anak serius. Jihan terdiam, tidak berkutik sedikit pun.
"Ibu seharusnya tidak berkata seperti itu. Jihan melakukan semua ini untuk kebaikan Kanaya." Lee Yon Ju, si kepala keluarga menambahkan.
Kini tatapan ibu mertuanya pun beralih, " untuk kebaikan Kanaya? Ya Allah, yang ada kalian malah menambah kesakitannya. Kamu dengar sendirikan tadi siang Kanaya mengatakan apa?" Nenek Naura lalu menggeleng-gelengkan kepala seraya bangkit dari sana membuat kedua orang itu terdiam seketika.
"Kay, Nenek selalu mendoakan supaya kamu diberi kekuatan, ketabahan oleh Allah. Di mana pun kamu berada sekarang jangan menangis nak. Nenek menyayangimu, tapi nenek tidak bisa terus bersamamu," benak Naura gamang.
...***...
Seminggu berlalu sejak Kanaya pergi meninggalkan keluarganya, selama itu pula ia tinggal di hotel tidak tahu harus ke mana dan bagaimana.
Ia juga pun tidak tahu di mana tempat tinggal sang ibu. Ini pertama kalinya Kanaya datang ke Korea bertemu Jihan sejak pertemuan terakhirnya beberapa tahun lalu.
Saat ini ia tengah menikmati roti lapis di restoran hotel seorang diri. Tidak lama berselang ponsel yang ia letakan di meja bergetar. Nomor tidak dikenal terlihat di layar, kedua alisnya saling bertautan. Tidak mempedulikan hal itu, Kanaya kembali melanjutkan sarapan.
Namun, tidak sampai di sana saja nomor itu terus saja menghubunginya. Jengah, Kanaya pun menerima panggilan tersebut.
"Alhamdulillah. Assalamu'alaikum Kanaya ini saya Kim Yejun. Saya ingin memberitahu kalau nenek Naura sakit. Beliau sekarang ada di rumah sakit pusat Seoul."
Mendengar itu kedua mata Kanaya terbelalak lebar. Jantungnya berdegup kencang seperti sudah melakukan balapan liar. Tanpa menjawab sepatah kata, Kanaya bangkit seraya masih terkejut dengan berita yang didengarnya barusan. Sedetik kemudian ia melesat pergi menuju tujuan.
Berkali-kali Kanaya memukul stir mobil tidak berdosa itu. Cemas, khawatir, takut menjadi satu. Ia tidak bisa melihat neneknya jatuh sakit, apalagi harus di rawat seperti sekarang. Sesuatu hal yang jarang ia temui dari nenek Naura kini membuatnya benar-benar terpukul.
"Kenapa nenek sampai di rawat? Bukankah nenek baik-baik saja? Aku mohon bertahanlah, nek," racaunya ketakutan.
Setengah jam berlalu, akhirnya Kanaya tiba di rumah sakit tersebut. Setelah diberitahu di mana letaknya keberadaan sang nenek Kanaya berlarian mencari keberadaan ruangan yang dimaksudkan.
Setibanya Kanaya di lantai sepuluh, di sana ia melihat ibu, ayah tirinya dan juga Kim Yejun menyambut kedatangannya dengan pandangan sedih. Ia pun semakin dirundung firasat buruk.
Tanpa mengatakan sepatah kata, Kanaya masuk ke dalam ruang inap melihat neneknya tengah terbaring lemah, tak berdaya.
"Ya Tuhan, Nenek," ucap Kanaya lalu membekap mulutnya tidak kuasa menahan isak tangis yang keluar.
Merasakan kehadiran seseorang, Naura membuka mata melihat ke samping kiri di mana cucu malangnya berada.
"Kay," panggilnya lirih.
Kanaya bergegas mendekat dan menggenggam tangan rapuhnya erat.
"Kenapa Nenek jadi seperti ini? Bukannya Nenek baik-baik saja?" tanyanya dengan suara bergetar.
Senyum lemah terukir di wajah tuanya, "Tidak ada yang tahu takdir Allah, Sayang. Kay, kamu tahukan Nenek sangat menyayangimu?" Kanaya menganggukkan kepala beberapa kali, "Nenek ingin yang terbaik untukmu, Nak. Nenek ingin kamu bahagia dan tidak terus terjebak dalam kegelapan. Temukanlah cahaya dalam hatimu, Sayang. Seminggu ini Nenek sudah berpikir dan melihat seperti apa pria bernama Kim Yejun itu. Dia pria yang sangat baik dan juga sholeh. Bahkan terlalu baik untukmu. Nenek berharap dia bisa merubah mu dan memberikan kebahagiaan. Meskipun dia terlihat cuek dan tidak peduli, tapi ternyata dia sangat perhatian. Kanaya, Nenek tidak bisa selalu ada di sampingmu Sayang, Nenek punya satu permintaan untukmu .... menikahlah dengan Kim Yejun, yah."
Ucapan sang nenek barusan menghentikan isak tangis Kanaya. Ia menatap lekat ke dalam mata sayu itu, tidak percaya dengan apa yang diucapkan Naura.
Hal tersebut seperti sebuah permintaan, ia pun terdiam beberapa saat. Sampai, "baiklah Nek, kalau itu yang Nenek inginkan. Kanaya mau menerima perjodohan itu," jawab Kanaya tanpa cela.
Ketiga orang yang juga ada di dalam ruangan tercengang mendengarnya. Kasih sayang Kanaya untuk neneknya begitu besar. Ia tidak bisa menolak jika itu adalah permintaan Naura. Bagaimana pun juga sang nenek lah yang selama ini ada di samping dan membesarkannya.
"Kanaya mohon. Nenek jangan tinggalkan, Kanaya."
Pintanya seraya air mata terus mengalir. Naura pun menggeleng singkat, "Nenek tidak bisa berjanji, Sayang. Allah yang berkehendak atas semuanya."
Kanaya langsung memeluknya erat tidak ingin kehilangan sosok berharga dalam hidupnya.
Sore menjelang, saat ini Kanaya dan Yejun tengah berada di taman rumah sakit. Mereka duduk di bangku kayu dengan jarak yang memisahkan.
"Melihat kondisi nenek Naura sekarang bagaimana kalau pernikahannya dilakukan lusa? Tidak usah mewah yang penting nenek bisa melihatmu menikah," ucapan itu membuat Kanaya teringat kembali perkataan neneknya dua jam lalu.
"Sepertinya umur nenek tidak lama lagi. Nenek ingin melihatmu menikah dengan Yejun, nak." Ucapan itu terus berputar dalam kepalanya. Air mata kembali mengalir, Kanaya menghapusnya dengan kasar.
"Terserah," jawabnya singkat.
"Aku tahu perjodohan ini sangat mengejutkanmu, tapi ... aku tidak bisa menolaknya. Karena ayah dan ibumu sudah banyak membantuku, dan lagi ... aku suda berjanji pada mendiang ayah dan ibu. Kanaya, hari ini aku akan mengucapkan janji pertama. Untuk nenek Naura, aku berjanji akan membahagiakanmu." Ucapan itu seketika membuat Kanaya menoleh.
Ia tidak melihat sedikit pun kebohongan di kedua matanya, yang ada hanyalah pancaran keseriusan. Entah kenapa hal itu membaut Kanaya diam seribu bahasa. Setitik cahaya kecil hadir dalam hatinya membuat ia tercengang.
Senja pun menjadi saksi pernyataan Kim Yejun sore itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!