Waktu terus berputar mengiringi setiap langkah manusia. Selesai melaksanakan salat maghrib, Yejun pun menyiapkan makan malam. Sudah menjadi kebiasaannya selama 5 tahun terakhir ini, ia selalu masak makanan untuk dirinya sendiri. Meskipun ada asisten rumah tangga, tapi untuk urusan makan ia turun tangan walaupun hanya menikmatinya sendirian. Tetapi sekarang berbeda sudah ada istri yang akan menemaninya.
Setelah makanan tersaji, Yejun hendak mengajak Kanaya makan malam bersama. Namun, wanita itu keluar kamar lebih dulu, seketika tatapan Yeon gi mengunci tepat padanya. Melihat penampilan Kanaya yang berbeda, ia mengerutkan dahi heran.
"Kamu mau ke mana, Kay?" tanyanya ingin tahu.
"Bukan urusan kamu," cuek wanita itu. Kanaya lalu cepat berlalu dari hadapan Yejun tanpa mengatakan ke mana tujuannya pergi.
Yejun hanya memandanginya tanpa mengatakan apapun lagi. Ia kembali menuju meja makan melihat masakan itu lalu tersenyum sekilas. Ia mengerti dengan cara Kanaya menolak ajakannya. Selain mereka yang baru bertemu, perjodohan itu pun pasti masih mengejutkannya. Dengan berlapang dada Yejun duduk di meja makan sendirian, lagi.
"Sayang sekali Kanaya tidak bisa makan makanan ini. Tidak apa-apa, mungkin dia ingin sendiri dulu, bismillah."
Hanya ditemani dentingan jam ia menikmati makanan buatannya sendiri.
...***...
Rambut hitam tergerai bebas, make up di wajahnya menambah kecantikan wanita Asia Tenggara ini. Celana jeans hitam ketat serta kaos putih dengan jaket denim menjadi daya tarik tersendiri sosok Kanaya yang tengah duduk sendirian di sofa merah pojok ruangan. Dentuman musik keras tak sedikit pun mengusik kesendirian. Kepulan asap berkali-kali keluar dari mulut ranumnya. Beberapa batang rokok menemani lamunan, menjadi kebiasaan sejatinya.
Dikejauhan sepasang mata sedari tadi memerhatikannya. Keberadaan Kanaya menarik perhatian wanita tersebut membuatnya penasaran.
Seorang wanita berambut coklat sebahu itu pun berjalan mendekat lalu uduk begitu saja di hadapannya, "Kamu sendirian? Kenalkan saya So Hyun. Sepertinya kamu bukan orang Korea, yah?" tanya wanita bernama So Hyun itu bertubi-tubi.
Kanaya menoleh, mengangguk seraya membalas uluran tangannya. "Iya, saya Kanaya dari Indonesia."
"Kamu bisa bahasa Korea?" tanyanya terdengar antusias.
Hanya anggukan dan seulas senyum sebagai jawaban. Kanaya tidak berminat untuk berhubungan dengan siapa pun lagi. Tanpa menghiraukan keberadaan wanita bernama So Hyun tersebut ia menikmati sebatang rokok.
So Hyun tersenyum singkat seraya berkata, "wah, hebat. Aku bisa menemukan seorang teman dari negara lain."
Mendengar ucap So Hyun senyum mengambang di bibir ranum Kanaya. Ia mengakhiri kegiatannya dan mematikan rorok di asbak tepat di depannya. Ia menoleh menatap manik kecoklatan di sana.
Mendengar kata "teman" ada sesuatu dalam hatinya yang tidak bisa ia gambarkan dengan jelas.
Seiring berjalannya waktu mereka asyik berbincang-bincang satu sama lin. Kanaya tidak mempedulikan apapun, baginya sekarang hanyalah kesenangan melupakan kesakitan yang mengendap di hatinya.
Suara musik terus berdentum keras, orang-orang di sekitar menari begitu antusias menikmati irama yang ada. Kanaya dan So Hyun pun bergabung bersama mereka mengikuti gelombang keramaian yang tercipta. Bersama So Hyun, ia menemukan sosok seorang teman baru, lagi. Kanaya tidak menyangka wanita yang baru dikenalnya ini memberikan kesenangan. Ia tidak peduli di mana dirinya berada sekarang. Ia berbaur dengan yang lain menikmati musik yang berdentum keras. Sejenak ia melupakan kepedihan dalam dada.
Sedangkan di dalam rumah keluarga Kim, sedari tadi kepala rumah tangga itu terlihat mondar-mandiri di depan pintu masuk menunggu kepulangan sang istri. Salahnya sendiri juga tidak meminta nomor ponsel wanita itu. Berkali-kali Yejun menatap pada jam dinding. Sudah hampir 6 jam lamanya sejak Kanaya meninggalkan rumah, tapi sampai saat ini wanita itu belum juga memperlihatkan batang hidungnya.
Rasa khawatir menggerogoti perasaan Yejun, kala tahu jika sang istri baru berada di Seoul. Ia juga takut Kanaya akan melakukan hal nekad setelah kehilangan nenek Naura.
Jam sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam. Namun, keberadaan Kanaya masih belum terlihat juga. Yejun semakin cemas dibuatnya.
"Apa jangan-jangan Kanaya kabur?" gumam Yejun dilanda gelisah hebat mengingat tempramen Kanaya yang keras. Bagaimana pun juga sekarang Kanaya sudah menjadi istri sahnya. Sudah menjadi kewajiban Yejun untuk mencemaskan dan mengkhawatirkan keadaannya.
Tidak lama kemudian pintu terbuka lebar. Yejun beranjak dari sofa menyambut kedatangannya dengan senyum lebar.
"Dari mana saja? Kenapa baru pulang jam segini? Tidak baik seorang wanita pulang malam-malam." Jeda sejenak, Yejun mengendus aroma yang menguar dalam tubuh sang istri. "Kamu bau rokok. Apa kamu merokok, Kay? Kalau iya aku ingin kamu berhenti." Yejun bertubi-tubi menghujaninya dengan pertanyaan.
Kanaya memutar bola matanya bosan. "Cukup yah!!! Kamu tidak berhak bertanya apapun padaku," balas Kanaya dengan sorot mata tajam.
"Aku berhak, karena aku suamimu," jelas Yejun mengingatkan.
Kanaya hanya berlalu dari sana tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi. Baru saja ia merasa damai, kini hatinya kembali kesal. Dengan kasar ia membanting pintu kamar cukup keras. Yejun menggelengkan kepala dan kembali duduk menutup kedua mata lelahnya.
Beberapa menit kemudian, Kanaya kembali keluar seraya membawa selembar surat.
"Tanda tangani ini." Kanaya menyodorkannya pada sang suami.
Pria itu lalu kembali membuka mata dan menerimanya. Yejun membaca dengan serius tulisan Hangeul sang istri.
"Surat perjanjian?"
Kanaya mengangguk mengiyakan.
"Surat Perjanjian"
1. Jangan mencampuri urusan orang lain (Meskipun kita sudah menikah)
2. Tidak usah sok peduli
3. Jalani hidup masing-masing seperti biasanya
4. Jangan pernah kontak fisik apapun kita menikah karena terpaksa
5. Lakukan apa yang diinginkan tanpa persetujuan masing-masing
Ttd,
Kanaya
"Meskipun kamu sudah menjadi suamiku, tapi kamu tidak berhak bertanya ini itu, karena apa? Karena pernikahan ini terjadi atas kehendak "mereka". Aku menerimanya karena ingin balas budi kepada nenek, beliau yang sudah mengurusiku selama ini. Jadi, jangan harap aku bisa menjadi istri yang baik buat kamu dan sekarang tanda tangani itu," jelas Kanaya datar.
Yejun tercengang tidak percaya. Ternyata Kanaya tidak seperti apa yang ada dalam pikirannya. Tanpa pikir panjang, Yejun menandatangani surat "perjanjian" yang dibuat sepihak olehnya. Kanaya pun kembali mengambilnya dan berlalu.
Yejun terdiam beberapa saat mencerna apa yang baru saja terjadi sampai,
"Ya Allah hamba tidak ingin mempermainkan pernikahan. Ampuni hamba ya Rabb. Kuatkan hamba menerima semua ini, aamiin," gumamnya.
Sejak malam itu pernikahan mereka hanya berjalan di atas kertas. Keduanya menjalani kehidupan masing-masing seperti orang asing. Meskipun ada benang merah tak kasat mata melingar dijari kelingking keduanya. Namun, takdir berkata lain. Pernikahan hanya sebatas nama dan janji dalam selembar kertas tak bersua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 256 Episodes
Comments