Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. Kanaya memutuskan untuk bermalam disalah satu hotel mewah di Kota Seoul. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati "uang jajan" yang diberikan sang ibu.
Berkali-kali Jihan dan Naura mencoba menghubunginya. Namun, tidak sekali pun ia menerima panggilan tersebut. Rasanya terlalu berat bagi Kanaya menerima semua ini.
Setelah memesan kamar, ia bergegas mengistirahatkan tubuh lelahnya. Ia duduk di sofa panjang dekat jendela besar di tengah ruangan. Keindahan Kota Seoul terpancar dengan lampu-lampu dari gedung pencakar langit berkelap-kelip menyambut kehadirannya. Seulas senyum tergambar di bibir ranum itu, meskipun harus disertai linangan air mata.
"Kenapa aku seperti dijadikan boneka oleh mereka? Apa aku tidak pantas mengecap manisnya kebahagiaan? Dari dulu sampai sekarang tidak pernah kurasakan hangatnya sebuah keluarga."
"Mereka terlalu egois, menyuguhkan ku berbagai macam barang mewah dan uang berlimpah. Semua itu tidak bisa menggantikan kasih sayang, dan sekarang tiba-tiba saja mamah menjodohkan ku dengan pria asing? Di mana perasaan mereka? Ya ampun, tidak pernahkah mereka memikirkan bagaimana perasaanku? Dan lagi, siapa teman bagiku? Mereka semua sama saja, senang menyakiti perasaan orang. Apa itu hobi mereka? Kurang kerjaan sekali. Ini terlalu sakit." Kanaya meracau seorang diri seraya menangis pilu.
Hening menjadi saksi bisu tentang luka menganganya.
Gelapnya malam lebih gelap lagi dasar hati terdalam. Langit berbintang itu membuatnya iri. Di saat kelamnya hadir, tetapi bintang dengan setia menemani, sedangkan Kanaya hanya berteman dengan kehampaan.
Di tempat berbeda, di dalam rumah mewah bernuansa gold itu sepasang suami istri dan seorang wanita baya tengah menikmati hidangan makan malam bersama.
Tatapan sayu sang nenek tepat mengarah pada makanan yang tersusun rapih di meja, ingatannya terus mengarah pada sang cucu. Apa dia sudah makan? Di mana ia sekarang? Apa yang dilakukannya? Pertanyaan terus berputar dalam kepalanya.
Hingga detik ini Kanaya tidak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Bahkan panggilan mereka pun tidak pernah ia angkat, kekhawatiran nampak jelas di wajah Naura.
"Jihan, apa kamu tidak merindukan Kanaya?" tanpa mengalihkan tatapan dari meja Naura penasaran akan sesuatu.
"Apa maksud mamah? Tentu saja Jihan sangat merindukannya." jawabnya seraya memasukan daging sapi berkualitas tinggi ke dalam mulut.
"Lalu, apa yang kamu lakukan? Seharusnya kamu sendiri yang menjemput Kanaya di bandara tadi siang dan membawanya ke rumah ini lebih dulu lalu mengajaknya bicara, tapi ... apa yang kamu lakukan? Langsung mengatakan perjodohan? Tentu saja Kanaya terkejut dan pastinya berpikiran aneh tentangmu," jelas ibunya yang kini menatap sang anak serius. Jihan terdiam, tidak berkutik sedikit pun.
"Ibu seharusnya tidak berkata seperti itu. Jihan melakukan semua ini untuk kebaikan Kanaya." Lee Yon Ju, si kepala keluarga menambahkan.
Kini tatapan ibu mertuanya pun beralih, " untuk kebaikan Kanaya? Ya Allah, yang ada kalian malah menambah kesakitannya. Kamu dengar sendirikan tadi siang Kanaya mengatakan apa?" Nenek Naura lalu menggeleng-gelengkan kepala seraya bangkit dari sana membuat kedua orang itu terdiam seketika.
"Kay, Nenek selalu mendoakan supaya kamu diberi kekuatan, ketabahan oleh Allah. Di mana pun kamu berada sekarang jangan menangis nak. Nenek menyayangimu, tapi nenek tidak bisa terus bersamamu," benak Naura gamang.
...***...
Seminggu berlalu sejak Kanaya pergi meninggalkan keluarganya, selama itu pula ia tinggal di hotel tidak tahu harus ke mana dan bagaimana.
Ia juga pun tidak tahu di mana tempat tinggal sang ibu. Ini pertama kalinya Kanaya datang ke Korea bertemu Jihan sejak pertemuan terakhirnya beberapa tahun lalu.
Saat ini ia tengah menikmati roti lapis di restoran hotel seorang diri. Tidak lama berselang ponsel yang ia letakan di meja bergetar. Nomor tidak dikenal terlihat di layar, kedua alisnya saling bertautan. Tidak mempedulikan hal itu, Kanaya kembali melanjutkan sarapan.
Namun, tidak sampai di sana saja nomor itu terus saja menghubunginya. Jengah, Kanaya pun menerima panggilan tersebut.
"Alhamdulillah. Assalamu'alaikum Kanaya ini saya Kim Yejun. Saya ingin memberitahu kalau nenek Naura sakit. Beliau sekarang ada di rumah sakit pusat Seoul."
Mendengar itu kedua mata Kanaya terbelalak lebar. Jantungnya berdegup kencang seperti sudah melakukan balapan liar. Tanpa menjawab sepatah kata, Kanaya bangkit seraya masih terkejut dengan berita yang didengarnya barusan. Sedetik kemudian ia melesat pergi menuju tujuan.
Berkali-kali Kanaya memukul stir mobil tidak berdosa itu. Cemas, khawatir, takut menjadi satu. Ia tidak bisa melihat neneknya jatuh sakit, apalagi harus di rawat seperti sekarang. Sesuatu hal yang jarang ia temui dari nenek Naura kini membuatnya benar-benar terpukul.
"Kenapa nenek sampai di rawat? Bukankah nenek baik-baik saja? Aku mohon bertahanlah, nek," racaunya ketakutan.
Setengah jam berlalu, akhirnya Kanaya tiba di rumah sakit tersebut. Setelah diberitahu di mana letaknya keberadaan sang nenek Kanaya berlarian mencari keberadaan ruangan yang dimaksudkan.
Setibanya Kanaya di lantai sepuluh, di sana ia melihat ibu, ayah tirinya dan juga Kim Yejun menyambut kedatangannya dengan pandangan sedih. Ia pun semakin dirundung firasat buruk.
Tanpa mengatakan sepatah kata, Kanaya masuk ke dalam ruang inap melihat neneknya tengah terbaring lemah, tak berdaya.
"Ya Tuhan, Nenek," ucap Kanaya lalu membekap mulutnya tidak kuasa menahan isak tangis yang keluar.
Merasakan kehadiran seseorang, Naura membuka mata melihat ke samping kiri di mana cucu malangnya berada.
"Kay," panggilnya lirih.
Kanaya bergegas mendekat dan menggenggam tangan rapuhnya erat.
"Kenapa Nenek jadi seperti ini? Bukannya Nenek baik-baik saja?" tanyanya dengan suara bergetar.
Senyum lemah terukir di wajah tuanya, "Tidak ada yang tahu takdir Allah, Sayang. Kay, kamu tahukan Nenek sangat menyayangimu?" Kanaya menganggukkan kepala beberapa kali, "Nenek ingin yang terbaik untukmu, Nak. Nenek ingin kamu bahagia dan tidak terus terjebak dalam kegelapan. Temukanlah cahaya dalam hatimu, Sayang. Seminggu ini Nenek sudah berpikir dan melihat seperti apa pria bernama Kim Yejun itu. Dia pria yang sangat baik dan juga sholeh. Bahkan terlalu baik untukmu. Nenek berharap dia bisa merubah mu dan memberikan kebahagiaan. Meskipun dia terlihat cuek dan tidak peduli, tapi ternyata dia sangat perhatian. Kanaya, Nenek tidak bisa selalu ada di sampingmu Sayang, Nenek punya satu permintaan untukmu .... menikahlah dengan Kim Yejun, yah."
Ucapan sang nenek barusan menghentikan isak tangis Kanaya. Ia menatap lekat ke dalam mata sayu itu, tidak percaya dengan apa yang diucapkan Naura.
Hal tersebut seperti sebuah permintaan, ia pun terdiam beberapa saat. Sampai, "baiklah Nek, kalau itu yang Nenek inginkan. Kanaya mau menerima perjodohan itu," jawab Kanaya tanpa cela.
Ketiga orang yang juga ada di dalam ruangan tercengang mendengarnya. Kasih sayang Kanaya untuk neneknya begitu besar. Ia tidak bisa menolak jika itu adalah permintaan Naura. Bagaimana pun juga sang nenek lah yang selama ini ada di samping dan membesarkannya.
"Kanaya mohon. Nenek jangan tinggalkan, Kanaya."
Pintanya seraya air mata terus mengalir. Naura pun menggeleng singkat, "Nenek tidak bisa berjanji, Sayang. Allah yang berkehendak atas semuanya."
Kanaya langsung memeluknya erat tidak ingin kehilangan sosok berharga dalam hidupnya.
Sore menjelang, saat ini Kanaya dan Yejun tengah berada di taman rumah sakit. Mereka duduk di bangku kayu dengan jarak yang memisahkan.
"Melihat kondisi nenek Naura sekarang bagaimana kalau pernikahannya dilakukan lusa? Tidak usah mewah yang penting nenek bisa melihatmu menikah," ucapan itu membuat Kanaya teringat kembali perkataan neneknya dua jam lalu.
"Sepertinya umur nenek tidak lama lagi. Nenek ingin melihatmu menikah dengan Yejun, nak." Ucapan itu terus berputar dalam kepalanya. Air mata kembali mengalir, Kanaya menghapusnya dengan kasar.
"Terserah," jawabnya singkat.
"Aku tahu perjodohan ini sangat mengejutkanmu, tapi ... aku tidak bisa menolaknya. Karena ayah dan ibumu sudah banyak membantuku, dan lagi ... aku suda berjanji pada mendiang ayah dan ibu. Kanaya, hari ini aku akan mengucapkan janji pertama. Untuk nenek Naura, aku berjanji akan membahagiakanmu." Ucapan itu seketika membuat Kanaya menoleh.
Ia tidak melihat sedikit pun kebohongan di kedua matanya, yang ada hanyalah pancaran keseriusan. Entah kenapa hal itu membaut Kanaya diam seribu bahasa. Setitik cahaya kecil hadir dalam hatinya membuat ia tercengang.
Senja pun menjadi saksi pernyataan Kim Yejun sore itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 256 Episodes
Comments