Satu minggu berlalu setelah kejadian menimpa Angga, Bianca dan juga Kanaya. Persahabatan di antara mereka kandas seketika. Begitu pula dengan kedua temannya yang lain.
Kanaya memblokir semua kontak mereka. Kepercayaan sudah hilang dalam dirinya. Entahlah ia sudah tidak ingin berhubungan apa pun lagi.
Dibuang, tidak dipedulikan, dihempas, seperti itulah gambaran mengenai hatinya saat ini. Kanaya sudah tidak ingin terikat dengan teman-temannya. Bahkan hingga detik ini pun kedua pelaku itu tidak pernah datang untuk meminta maaf. Ia anggap itu sebagai salam perpisahan.
Saat ini ia dan sang nenek sudah berada dalam pesawat hendak menuju Negeri Ginseng, Korea Selatan. Empat hari lalu Kanaya memutuskan untuk menyetujui pertemuannya dengan sang ibu.
Nenek Naura pun senang, berharap ada kebahagiaan tengah menunggu cucunya di sana. Namun, kenyataannya Kanaya hanya ingin mencari suasana baru, melupakan pengkhianatan para sahabatnya.
"Cih! Bisa-bisanya mereka menusuk dari belakang. Cinta? Apa itu bisa dipercaya? Selama ini aku selalu menunggu Angga menyatakan perasaannya, tapi itu tidak pernah terjadi. Aku tidak punya keberanian mengatakannya lebih dulu, seperti Bianca. Ah, menyebut namanya saja membuat hatiku sakit. Bodohnya kamu, Kanaya. Aku pikir di balik kejadian ini ada pembelajaran yang bisa diambil. Ternyata sahabat yang selama ini aku anggap keluarga sendiri tidak bisa dipercaya," racau Kanaya dalam diam. Tatapannya jatuh ke samping melihat awan berarak di sekitar.
Akhirnya setelah menempuh perjalanan panjang, pesawat tiba di Bandara Internasional Incheon. Kanaya dan nenek Naura bergegas mencari seseorang yang telah menunggu mereka.
Beberapa menit lalu ibunya mengabari jika tidak bisa menjemput dan menyuruh orang sebagai pengganti. Seorang pria berjas hitam itu pun berjalan mendekati keduanya.
"Apa Anda Kanaya-ssi dan Naura-ssi?" tanya pria itu menggunakan bahasa Korea.
"Ne," jawab Kanaya singkat
Wanita itu cukup mahir berbahasa asing. Kanaya menguasai lima bahasa yaitu, bahasa Inggris, Korea, Jepang, China dan Perancis. Dari kecil ibunya memang ketat memasukan ia ke beberapa les bahasa asing.
"Saya Lee Dong Hae, disuruh Nyonya Jihan untuk menjemput kalian berdua," jelasnya membuat mereka mengangguk mengerti.
Kini pria berjas tadi membawa Kanaya dan Nenek Naura menuju suatu tempat yang menjadi pertemuan antar keluarga.
"Kenapa tidak jemput sendiri? Sesibuk itukah? Sampai-sampai harus menyuruh orang lain menjemput anak dan ibunya," batin Kanaya lagi.
Tidak lama kemudian mereka tiba di sebuah restoran mewah bergaya Eropa modern di Seoul.
Pria bernama Lee Dong Hae kembali mengantar keduanya masuk ke dalam. Rasa penasaran menyeruak dalam dada kala Kanaya tidak tahu kenapa Lee bisa membawanya ke restoran.
Apakah ibu ada di sana? Pikirnya gamang.
Di tengah-tengah restoran ia menangkap bayangan seorang wanita yang visualnya sudah tidak asing lagi dalam pandangan. Wanita berambut hitam sepundak itu bangkit dari duduk saat netranya menangkap kedatangan anak dan ibunya.
"Kanaya," panggilnya.
Senyum cerah mengembang di bibir ranumnya, Kanaya hanya diam tidak merespon apa pun.
Di sana tidak hanya ada sang ibu saja yang terlihat, ada dua pria lagi yang Kanaya tahu salah satu dari mereka kini menjabat sebagai ayah tirinya dan satunya lagi duduk membelakangi.
"Alhamdulillah, kamu mau datang Sayang. Sini, kenalkan dia rekan bisnis ayahmu," ucap sang ibu berjalan membawa Kanaya ke depan pria asing itu.
Kanaya pun bisa melihat jelas siapa dia. Seorang pria muda berambut hitam rapih, berkacamata bulat membingkai mata sipitnya kini bertatapan dengannya.
Pria itu bangkit melihat kedatangan Kanaya dan merasa aneh dengan penampilannya yang jauh berbeda dari ibunya maupun neneknya.
Seperti wanita yang jauh dari aturan, pikirnya.
"Jadi dia orangnya?" batin pria itu.
"Kanaya," kata Kanaya singkat, seraya mengulurkan tangan.
Namun, siapa yang menyangka jika pria di hadapannya menangkupkan kedua tangan di depan dada menolak berjabatan tangan dengan Kanaya.
"Kim Yejun-imnida," jawabnya seraya tersenyum singkat.
"Cih." Kanaya berdecih seraya duduk di kursi tepat berhadapan dengannya. "Sok alim banget," gumamnya, pria bernama Kim Yejun ini hanya tersenyum mendengar ocehan itu, sedangkan ibu dan neneknya sibuk melepas kerinduan satu sama lain.
Setelah acara pribadi singkat mereka, kini ibunya membuka suara kembali.
"Pertemuan ini bukanlah suatu kebetulan, tapi Mamah, Ayah dan semua keluarga sudah sepakat untuk menjodohkan mu dengan Kim Yejun. Kami ingin kalian menikah."
Bak petir di siang bolong, Kanaya terkejut bukan main mendengar penuturan sang ibu barusan. Kedua matanya membulat, ternyata tujuan mereka menyuruhnya datang ke sana untuk perjodohan? Sungguh tidak masuk akal. Pikir Kanaya menggelengkan kepala beberapa kali, menatap ibu dan berakhir pada sang nenek.
"Nenek tahu semua ini?" tanya Kanaya tidak percaya.
Nenek Naura mengangguk singkat. "Nenek juga ingin yang terbaik untukmu, Sayang."
Mulut ranum Kanaya menganga lebar tidak mempercayai hal itu.
"Mamah juga sudah bicara dengan papah mu dan juga Yejun sendiri dan mereka setuju. Kim Yejun ini, dia adalah rekan kerja ayah tirimu, jadi Mamah sudah tahu pria seperti apa dia ini. Yejun anak yang baik, penuh tanggung jawab dan lagi dia seiman dengan kita. Jadi, Yejun bisa menjadi imam terbaik untukmu ... Ini juga untuk kebahagiaanmu sendiri, Sayang."
Mendengar penjelasan dari ibunya malah membuat Kanaya semakin dirundung tidak suka.
Kedua tangan mengepal kuat dengan tatapan mata begitu serius. Kanaya bangkit dari duduk memperlihatkan kekesalan.
"Siapa pun tidak berhak menentukan kebahagiaanku. Mamah juga tidak usah sok peduli. Karena selama ini kebahagiaan Kanaya sudah hilang bersama dengan perpisahan kalian. Mamah pergi tanpa menganggap ku ada, tidak mempedulikan apakah aku bisa hidup tanpa orang tua? Dan sekarang mamah menyuguhkan hal seperti ini untuk kebahagiaanku? Sama sekali tidak masuk akal, yang ada hanya menambah luka. Ayah? Aku tidak punya seorang ayah, yang ada dalam hidupku hanyalah papah. Jangan samakan dia seperti papah kandungku. Permainan apa lagi yang ingin kalian lakukan padaku? Apa penderitaan selama ini tidak cukup Mamah berikan padaku?"
Setelah berkata panjang lebar Kanaya menyambar tasnya dan berlalu dari sana menyisakan keheningan begitu kuat.
Kim Yejun, pria berkacamata memakai kemeja biru dongker itu sangat terkejut melihat kilatan amarah dari Kanaya. Drama singkat tadi menyadarkan jika ada sesuatu yang tidak ia ketahui dari keluarga ini, sedangkan kepala kelurga Lee itu hanya terdiam.
"Ayah, papah? Apa tadi wanita itu sengaja berbicara bahasa Korea agar aku tahu? Entahlah, yang jelas aku menangkap sesuatu di sini. Apa Nyonya Jihan dan Tuan Lee menyembunyikan sesuatu dariku? Apakah Lee Yon Ju ini bukanlah ayah kandung Kanaya?" sekelumit pertanyaan terus berputar dalam kepalanya.
Wajah seputih susu, sebening porselin itu nampak sedikit memerah.
Beberapa saat berlalu setelah kepergian Kanaya, Lee Jihan tersenyum canggung padanya. Ia tidak menyangka pertemuan kembali dengan putrinya akan membuahkan kekacauan.
Namun, siapa pun pasti tidak akan setuju jika kebebasannya harus direnggut paksa oleh tangan orang lain. Terlebih dalam hal pasangan hidup, sesuatu hal yang paling sensitif.
"Ah, Yejun em saya minta maaf atas ketidaknyamanan tadi. Sudah lama memang saya tidak bertemu dengan Kanaya, mungkin dia sedang kelelahan karena baru mendarat. Sekali lagi saya minta maaf," jelas Jihan merasa tidak enak dengan pria muda di depannya.
"Ah, tidak apa-apa Nyonya Lee. Saya mengerti. Siapa pun pasti terkejut dengan perjodohan mendadak seperti ini," jawab Yejun tersenyum ramah.
Nenek Naura terkesan dengan kebaikannya. Sekilas menggelengkan kepala mengerti bagaimana keadaan cucunya sekarang.
"Jadi, Kim Yejun ini yang akan dijodohkan dengan Kanaya?" Yejun menatap wanita baya berhijab merah itu.
Yejun memberikan senyum ramah seraya mengangguk singkat. "Kenalkan saya Nenek Kanaya. Saya dengar tadi kamu seiman dengan kita. Kamu seorang muslim? Bagaimana bisa? Bukankah di sini minoritas?" tanya Naura penasaran.
"Saya memang seorang mualaf. Sudah sembilan tahun saya memeluk Islam," jelasnya.
Sang nenek mengangguk senang. Entah kenapa melihat Yejun di hadapannya ini membuat ia tenang untuk menitipkan Kanaya padanya.
Harapan baru terbit dalam benak dan setitik cahaya terlihat untuk masa depan sang cucu.
"Lalu, di mana orang tuamu? Apa mereka menyetujui perjodohan ini?"
Pertanyaan kedua darinya seketika membuat keadaan menjadi hening kembali. "Apa aku salah bicara?" batin Naura.
"Kedua orang tua saya sudah meninggal lima tahun lalu," jawab Yejun.
"A, mianhae, saya turut berduka." Perasaan menyesal pun merundungi hati Naura.
"Tidak apa-apa," balas Yejun tersenyum tulus.
Di sana sang anak mengerutkan dahi dalam seperti merasakan sesuatu mengganjal dalam hatinya.
"Tunggu, Mamah bisa bahasa Korea?" tanya Jihan spontan. Hal itu membuat perhatian semua orang mengarah padanya.
"Kamu ini bagaimana, tentu saja Mamah bisa. Bukankah lima belas tahun lalu kita sempat tinggal di sini selama sepuluh tahun?" ungkapnya.
Jihan tersenyum canggung kala sudah melupakan semua itu.
Kini mereka berempat berbincang bersama mendekatkan tali kekeluargaan. Namun, tidak bisa dipungkiri rasa penasaran masih menghantui Yejun mengenai keluarga Lee ini.
Tentang, siapakah sosok Kanaya itu? Lalu ada fakta apa yang terjadi di dalamnya? Kenapa dia terlihat menyimpan sebuah luka? Pertanyaan itu terus saja mengembang dalam kepala bulatnya.
...***...
Mobil hitam melaju di jalanan kota Seoul. Sedari tadi Kanaya hanya melamun, tidak ada hal yang dilakukan.
Sebuah kebiasaan yang tidak bisa hindari, jika ia sudah dalam mode seperti itu, artinya rasa sakit kembali menguasai. Hati dan pikirannya tidak sejalan. Bagaikan menggenggam air, apa yang ia dapatkan? Tidak ada sama sekali. Hanya ada jejak-jejak basah melekat di tangannya, seperti itulah luka dalam hatinya.
"Kita pergi ke mana nona?" tanya Lee yang tengah menyetir.
Kanaya tersadar, menoleh ke depan tanpa berekspresi apa pun. Sorot matanya yang tajam dan mencekam menatap jalanan.
"Hentikan mobilnya!" titah Kanaya kemudian.
Lee pun menurut dan segera menepikan kendaraan beroda empat itu di samping jalan. Kanaya keluar begitu pula dengan sang supir. Kini ia pun duduk di kursi pengemudi, membuka jendela seraya memberikan beberapa lembar uang padanya.
"Kamu bisa pulang sekarang, mobil ini biar aku saja yang bawa," ucap Kanaya. Tidak lama kemudian mobil itu pergi meninggalkan Lee seorang diri.
Keheningan melanda, Kanaya tidak tahu harus pergi ke mana sekarang. Suasana hatinya sedang tidak terkendali, hancur berantakan.
Mobil yang tengah di kendarainya melaju dengan sangat cepat. Orang-orang sempat memberikan klakson terkejut dengan si pengemudi satu ini.
Sumpah serapah dilayangkan, tapi Kanaya tidak mempedulikannya dan hal itu sudah biasa didapatkan.
Kata-kata serapahan yang diberikan tidak sebanding dengan rasa sakit yang ia emban.
Ia memukul stir kuat mengenyahkan kekesalan.
Air mata meleleh tak tertahan. Hatinya terasa sesak, dengan napas naik turun hingga membuat hidungnya memerah. Bibir ranum itu berkali-kali menghembuskan napas memberikan oksigen masuk ke dalam paru-paru.
Tidak ada kata yang terucap, hanya air bening terus meluncur bebas di kedua pipi menjadi saksi seperti apa hancurnya perasaan Kanaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 256 Episodes
Comments