Greenindia Simon tidak punya energi untuk berteriak atau membantah. Kemunculan Rex Carson dan Antonio di ambang pintunya adalah kejutan brutal yang menghancurkan sisa-sisa kedamaian yang ia peroleh semalaman. Ia membiarkan Rex, yang didorong Antonio menggunakan kursi roda hitam mengkilap, memasuki apartemen kecilnya.
Rex, si konglomerat properti, kini berada di tengah ruang tamu sempitnya yang berbau alkohol basi.
“Silakan masuk,” ujar Greenindia datar, menutup pintu dengan bunyi klik yang dingin. Ia berbalik, melangkahi botol bir kosong, dan kembali menjatuhkan diri ke sofa. Tanpa memedulikan tatapan Rex dan Antonio, ia meraih kaleng bir yang tersisa dan menenggak isinya.
“Hentikan itu, Greenindia,” seru Rex dengan suara tajam dan otoriter, mata birunya memancarkan kemarahan. “Kau baru saja bangun, dan kau minum lagi? Apa kau serius ingin mengakhiri hidupmu, dan menunda-nunda kematianmu dengan bir murahan?”
Greenindia menurunkan kaleng bir itu, tawa sinis keluar dari mulutnya yang kering. “Aku sudah legal, Rex. Dan aku tidak sedang mengakhiri hidupku. Aku merayakan pernikahan anehku. Ada masalah?”
“Masalahnya adalah ini masih terlalu pagi untuk alkohol,” balas Rex.
Saat itulah Greenindia melirik jam dinding bututnya. Pukul sebelas siang. Ia tidur lebih lama dari yang ia duga. Rasa pening memukul kepalanya. Tiba-tiba, suara nyaring dan memalukan memenuhi ruangan. Perut Greenindia berbunyi, berteriak lapar setelah hanya diisi cairan beralkohol sejak kemarin sore.
Rex tertawa keras. Tawa itu menggema di ruangan kecil tersebut, terdengar sangat tidak pantas. “Astaga. Seorang istri yang menusuk suami dan kelaparan? Konyol. Cepat, buatkan aku sarapan. Dan berhentilah mengeluh, perutmu berisik.”
Greenindia sontak berdiri, emosinya kembali tersulut. “Tunggu dulu, Tuan Carson. Rumah ini bukan penampungan tunawisma, dan aku bukan juru masak di panti amal. Kau ingin sarapan? Pesan dari luar atau masak sendiri.”
Rex tidak membalas. Dia hanya melirik Antonio, dan tatapan itu sudah cukup.
Antonio maju selangkah, mengeluarkan tablet dari tas kerjanya. “Nyonya Carson, berdasarkan perjanjian yang Anda tandatangani, Tuan Rex adalah suami Anda dan Anda adalah istri yang sah secara hukum. Ada klausul mengenai ‘pemenuhan kebutuhan dasar dan kenyamanan’ Tuan Carson selama masa pemulihan. Anda adalah orang yang melukainya. Anda terikat pada tanggung jawab pelayanan pribadi.”
Greenindia merasa darahnya mendidih, tetapi ia ingat ancaman Antonio tentang penjara. Ia memaksakan dirinya untuk menarik napas panjang.
“Baiklah,” Greenindia menggeram. “Akan kubuatkan sarapan.”
Ia bergegas ke dapur kecilnya. Lemarinya kosong, dan kulkasnya—yang berfungsi lebih sebagai pajangan—hanya berisi air kemasan dan bir. Ia mengeluarkan dua bungkus mi instan dari bagian belakang lemari, sisa pemberian Tomi. Greenindia tidak bisa memasak; ia selalu membeli makanan dari luar.
Greenindia kembali dengan dua bungkus mi instan di tangan.
“Pilih,” katanya ketus. “Mi Kari Ayam atau Mi Pedas?”
Rex menatap dua bungkus mi instan itu dengan tatapan jijik, seolah itu adalah benda asing dari planet lain.
“Mi instan? Kau menyuruhku sarapan mi instan?” Rex hampir berteriak. “Greenindia, aku punya operasi. Aku butuh nutrisi. Aku tidak terbiasa sarapan mi instan!”
“Aku katakan dengan jujur, Rex. Tidak ada makanan lain di sini,” balas Greenindia. “Kulkasku kosong. Hanya itu yang kumiliki.”
Rex memandangnya tak percaya. “Kau berbohong. Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup tanpa makanan di rumah? Kau pasti menyembunyikannya.”
“Terserah kau mau percaya atau tidak,” Greenindia mengangkat bahu.
Rex mendengus, frustrasi. Ia menghela napas, lalu menatap Antonio. “Tony, pergilah ke pasar atau supermarket terdekat. Beli bahan makanan paling dasar. Daging, sayur, buah. Isi kulkas ini sampai penuh.”
Antonio mengangguk. “Baik, Tuan Rex. Saya akan kembali dalam waktu satu jam.”
Begitu Antonio beranjak, Rex menunjuk ke dua koper kulit mahal yang terletak rapi di dekat pintu masuk.
“Sementara itu, bawa koper-koper ini ke kamar. Simpan pakaianku,” pinta Rex.
Greenindia menatap dua koper itu, lalu menatap Rex, dan akhirnya menatap apartemennya yang hanya memiliki satu kamar tidur. “Tidak. Kau tidak bisa tinggal di sini.”
“Tentu saja aku bisa. Aku suamimu.”
“Aku hanya punya satu kamar tidur. Itu kamarku. Kau tidak akan tidur denganku, Rex.”
“Aku baru saja ditusuk olehmu, Greenindia, dan kau mengira aku akan tidur di lantai?” Rex tidak percaya.
“Kalau begitu, kau tidur di sofa,” putus Greenindia. “Ini, sofa ini cukup besar dan empuk.”
Rex menatap sofa panjangnya yang tampak biasa-biasa saja dengan ekspresi jijik. “Baiklah. Tapi kita buat kesepakatan. Koper-koperku tetap diletakkan di kamar dan kau tidak boleh menyentuhnya.”
Akhirnya, Greenindia mengalah dan bergegas ke kamar tidurnya yang kecil. Ia harus mengosongkan sudut lemari untuk barang-barang Rex.
Saat ia sedang mendorong koper Rex di dalam kamar, ponselnya berdering—lagu lama yang ceria. Itu adalah Lizbet, temannya.
[Halo, Green! Kau sudah pulang dari pengasinganmu?] suara Lizbet ceria di ujung sana.
“Sudah, Kak,” jawab Greenindia, mencoba terdengar normal.
[Bagus! Siang ini, pukul satu, aku butuh bantuanmu di kafe. Stoknya banyak sekali. Kau bisa kan?]
“Tentu. Aku akan segera ke sana.”
Setelah menutup telepon, Greenindia keluar dari kamar. Ia mengumumkan sambil berjalan ke arah Rex.
“Aku harus pergi bekerja siang ini. Aku tidak bisa menemanimu di sini.”
Tepat pada saat itu, pintu terbuka. Antonio masuk, diikuti oleh Tiga Pria Berjaket Kulit dari rumah sakit. Mereka membawa keranjang besar dan kantong belanjaan penuh yang berisi sayuran segar, daging, dan bahan makanan mewah yang Greenindia yakini harganya lebih mahal daripada sewa bulanannya.
Melihat tiga pria asing itu memenuhi ruang tamunya yang sempit, Greenindia tiba-tiba membeku.
Itu bukan kemarahan biasa. Itu adalah kemarahan yang tenang, dalam, dan mengerikan—jenis kemarahan yang biasanya tersembunyi jauh di bawah permukaan. Wajahnya yang sebelumnya pucat kini memerah karena amarah yang tak terkendali. Matanya berkilat tajam, menatap Rex.
“Aku membiarkanmu masuk karena itu adalah bagian dari kesepakatan bodohku untuk menghindari masalah hukum,” ucap Greenindia, suaranya pelan, dingin, dan sangat berbahaya. “Tapi aku tidak setuju untuk mengubah tempat tinggalku menjadi terminal bus, Rex. Kau membawa orang-orang ini ke rumahku. Tanpa izin.”
Rex awalnya membuka mulut untuk membantah, mungkin untuk mengingatkan Greenindia tentang siapa yang membayar semuanya. Namun, sesuatu dalam tatapan Greenindia menghentikannya. Tatapannya tidak mengandung rasa takut lagi, melainkan ancaman yang nyata dan murni—kemarahan yang terasa hampir patologis.
Rex menelan kembali kata-katanya. Ia merasakan getaran aneh, sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar perlawanan.
“Baiklah. Keluar,” perintah Rex kepada ketiga pria itu. “Letakkan barang-barang itu dan segera keluar. Jangan pernah masuk tanpa izinku.”
Ketiga pria itu segera menurut. Begitu mereka pergi, Rex menoleh ke Antonio.
“Tony, kau juga. Bawa semua tasmu. Tinggalkan saja bahan-bahan itu. Aku akan menghubungimu nanti.”
Antonio, yang bingung dengan perubahan perintah itu, segera mengangguk dan bergegas keluar.
Greenindia masih berdiri di sana, diam. Kemarahannya perlahan mereda, digantikan oleh kesuraman.
Rex mengamati Greenindia, perasaan yang rumit bercampur aduk di dalam dirinya. Ia datang ke sini untuk mengendalikan situasi, tetapi dialah yang baru saja mundur karena tatapan marah wanita itu.
Dia tidak takut dipenjara. Dia takut pada orang lain di sekitarnya.
Rasa penasaran yang tajam dan tak terduga mulai menyelimuti Rex. Siapa sebenarnya Greenindia Simon ini? Mengapa wanita yang begitu putus asa di tebing bisa berubah menjadi begitu menakutkan ketika pintu rumahnya dilanggar?
“Pergilah bekerja,” kata Rex, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Dan kunci pintunya rapat-rapat saat kau pergi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments