Tiga puluh menit kemudian, seluruh adegan di Puncak Blackwood tampak seperti mimpi buruk yang kabur. Greenindia Simon tidak ingat persis bagaimana ia berhasil menghentikan pendarahan di paha Rex, atau bagaimana ia menghubungi tim evakuasi darurat yang dipanggil oleh pria gila itu melalui jam satelitnya.
Yang ia tahu, ia kini terikat di kursi helikopter berwarna hitam, mesinnya berderu memekakkan telinga. Ia duduk di sebelah Rex, yang berbaring di tandu darurat, kakinya dibalut kasar dengan perban darurat dari kain syal Greenindia. Perban itu kini basah dan berwarna merah gelap.
Wajah Greenindia pucat pasi, seperti kertas yang direndam air. Itu bukan sekadar rasa takut dituntut karena menikam seseorang; itu adalah campuran dari rasa bersalah, kengerian akan darah, dan sesuatu yang jauh lebih gelap yang mengakar dari masa lalunya—sebuah kenangan yang ia yakini terkubur dalam-dalam. Setiap getaran helikopter mengirimkan gelombang trauma dingin ke seluruh tubuhnya.
Rex, meskipun meringis menahan sakit, memiringkan kepalanya dan mengamatinya.
“Lihat dirimu,” suara Rex serak dan bergetar, tapi tatapannya tajam dan meremehkan. “Kau hampir terjun dari tebing, mencari kematian, tapi sekarang kau tampak seperti hantu hanya karena melihat sedikit darah.”
Greenindia menoleh, mencoba menghindari kontak mata. Ia merapatkan rahang.
“Aku tidak mencoba bunuh diri,” bisiknya, suaranya hampir hilang di balik raungan baling-baling.
Rex mendengus, tawa kering dan menyakitkan. “Tentu. Dan aku adalah peri gigi. Kalau kau bukan pencari kematian, lantas apa? Kau penyerang berdarah dingin? Pisau lipat itu terlalu gesit untuk kecelakaan, Nona.”
Greenindia memejamkan mata. Ia tidak punya energi untuk berdebat. Pisau itu memang tergelincir, tetapi ia tahu ia telah mengacungkannya dengan niat mengancam. Ia bertanggung jawab atas luka Rex. Hanya saja... cara pria itu beranggapan tentang dirinya membuatnya muak.
“Kau terlihat sangat takut, Greenindia Simon. Untuk seseorang yang begitu berani berdiri di tepi jurang, ketakutanmu sekarang agak... menyedihkan.” Rex membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. “Apa yang kau takutkan? Kau tidak membunuhku. Aku tidak akan mati. Lukanya tidak mematikan, hanya... mengganggu.”
Rex menekan luka di kakinya, dan erangan kecil lolos dari bibirnya. Greenindia melihatnya. Meskipun ia membenci Rex karena kesalahpahaman dan kesombongannya, ia juga merasa iba.
Greenindia menggeleng. Bukan kematiannya yang ia takuti. Bukan itu.
“Aku hanya takut... aku melukai seseorang,” jawab Greenindia jujur. Matanya memancarkan kesedihan.
Rex tersenyum sinis. “Bagus. Setidaknya kau masih punya hati nurani. Itu akan berguna, mengingat kita akan segera menikah.”
***
Helikopter mendarat di atas landasan pribadi di atap salah satu rumah sakit paling eksklusif di kota. Tim medis yang berpakaian serba biru segera bergegas masuk.
Di lobi mewah rumah sakit—yang tampak lebih seperti hotel bintang lima daripada fasilitas kesehatan—seorang pria berpakaian setelan abu-abu dengan tampilan yang rapi dan kacamata berbingkai tipis sudah menunggu. Pria itu tampak tenang, dingin, dan sangat efisien.
“Tuan Rex!” sapa pria itu, mendekat dengan langkah cepat. “Saya Antonio. Saya sudah siapkan ruang operasi dan ruang pemulihan. Bagaimana kondisi Anda?”
“Jangan khawatirkan kakiku, Tony,” perintah Rex dengan nada tegas, sama sekali berbeda dari suara Rex yang mengerang kesakitan di tebing. Mata Rex, yang kini memancarkan otoritas penuh, beralih dari Antonio ke Greenindia.
“Wanita ini. Greenindia Simon,” Rex menunjuk Greenindia. Greenindia merasakan perutnya melilit ketika Rex menyebut namanya di hadapan pria yang tampak berkuasa ini. “Dia yang menusukku. Pastikan dia tidak bergerak dari tempatnya. Jangan biarkan dia lari.”
Antonio mengangguk singkat, tanpa emosi. “Dimengerti, Tuan Rex.”
Tepat saat tandu Rex mulai didorong ke lorong terlarang, tiga pria berjaket kulit hitam dan bertubuh sangat besar, yang sebelumnya tampaknya menyamar sebagai staf keamanan rumah sakit, muncul dan mengepung Greenindia. Mereka bergerak cepat dan senyap, memotong setiap jalur pelarian.
Rex menghentikan tandunya sesaat. Ia menatap Greenindia dengan tatapan yang sangat intens, wajahnya kembali menampakkan ekspresi kesakitan yang berlebihan.
“Tony, dengarkan baik-baik. Luka ini sangat parah. Kau tahu, kakiku ini aset berharga. Dan dia pelakunya,” kata Rex, sengaja berbicara dengan nada dramatis yang bisa didengar Greenindia. “Aku butuh pertanggungjawaban. Segera. Kau tahu apa yang harus dilakukan.”
Antonio membungkuk. “Instruksi sudah jelas, Tuan Rex. Saya akan segera menyelesaikannya.”
Rex tersenyum puas, kemudian berbisik pelan, hanya untuk didengar Antonio. “Lakukan apa pun yang diperlukan. Paksa dia. Cari cara agar pernikahan ini sah dan didaftarkan, malam ini juga.”
***
Setelah Rex dibawa masuk ke ruang operasi, Antonio beralih kepada Greenindia. Suasana berubah dari kacau menjadi dingin dan mengancam.
“Nyonya Simon,” Antonio memulai, suaranya rendah dan terkontrol. Ia memberi isyarat kepada tiga pria berjaket kulit untuk menjaga jarak, tetapi memastikan Greenindia tahu bahwa mereka ada di sana. “Mari kita bicara sambil duduk. Saya akan jelaskan situasinya.”
Greenindia didorong perlahan ke sofa kulit mahal di sudut lobi. Ia duduk kaku, matanya tidak pernah meninggalkan pintu tempat Rex menghilang.
“Situasinya adalah, Tuan Rex sedang berakting berlebihan,” balas Greenindia, berusaha terdengar berani meskipun lututnya gemetar. “Aku tidak sengaja menusuknya. Aku hanya membela diri karena dia menyerangku lebih dulu.”
Antonio tersenyum tipis—senyum yang tidak mencapai matanya. “Memang. Dan Anda harus sangat berhati-hati dengan klaim ‘membela diri’ itu.”
Antonio meletakkan sebuah map di atas meja kaca di antara mereka.
“Anda menusuk Rex Carson, Nyonya Simon. Salah satu pengusaha properti terkaya di negara ini, seorang pria dengan jaringan politik yang luas. Apa yang Anda lihat sebagai kecelakaan, secara hukum adalah penyerangan dengan senjata tajam yang menyebabkan cedera serius.”
Greenindia menarik napas tajam. “Tapi dia yang memulai! Dia menuduhku akan bunuh diri dan menarikku dengan paksa!”
“Bukti? Anda hanya punya kata-kata Anda. Tuan Rex Harrison memiliki tiga orang saksi yang bisa bersumpah bahwa Anda berdiri di ambang tebing dan menyerangnya saat ia mencoba menyelamatkan Anda. Itu belum termasuk petugas evakuasi yang dipanggil karena laporan Anda bertingkah agresif.” Antonio mengetuk map tersebut. “Hukum sangat berpihak pada korban, Nyonya. Dan di mata hukum, Rex Carson adalah korban Anda.”
Wajah Greenindia semakin pucat. Ancaman itu nyata. Kebebasannya terancam.
“Tunggu,” kata Greenindia, suaranya nyaris tercekat. “Apa hubungannya semua ini dengan... menikah? Dia bilang aku harus menikah dengannya sebagai ganti rugi?”
Antonio mendesah, seolah pernikahan adalah hal yang sepele. “Ya. Instruksi Tuan Rex adalah pertanggungjawaban penuh. Kerusakan emosional dan fisik yang diakibatkan oleh tindakan Anda, ditambah dengan kerusakan reputasi. Jika ini masuk pengadilan, Anda akan menghadapi denda jutaan dolar, tuntutan pidana, dan hukuman penjara bertahun-tahun. Masa depan Anda akan berakhir, Nyonya Simon.”
Dia berhenti, membiarkan ancaman penjara meresap.
“Alternatifnya, seperti yang Tuan Rex tawarkan: menikah. Menikahi Tuan Rex Carson berarti Anda menjadi bagian dari keluarganya. Tidak ada tuntutan pidana yang diajukan. Dia akan menganggap ini sebagai insiden keluarga yang diselesaikan secara pribadi. Pernikahan ini akan menyelamatkan Anda, Nyonya Simon.”
Greenindia tertawa getir, meski air mata sudah menggenang di matanya. “Ini gila! Ini tidak masuk akal! Menikah untuk menghindari penjara?!”
“Memang tidak masuk akal, tapi itu adalah kenyataan Anda. Tuan Rex bukanlah pria yang bisa ditentang. Keputusannya mutlak. Anda menikamnya, dia meminta pertanggungjawaban. Pilihan Anda: Penjara atau Pernikahan.” Antonio menatapnya dingin. “Kami hanya butuh tanda tangan Anda. Kami sudah punya petugas Catatan Sipil menunggu di lantai bawah. Ini akan selesai dalam satu jam.”
Dunia Greenindia runtuh. Trauma masa lalunya, ketakutan akan ruang tertutup, rasa ngeri akan kontrol orang lain, semua berputar menjadi badai. Penjara bukanlah pilihan. Tidak setelah semua yang telah ia lalui untuk bebas.
Ia menelan ludah, air mata membasahi pipinya. Tanggung jawab atas luka Rex, betapapun tidak sengaja, terasa mematikan di bawah tekanan ancaman Antonio.
“Baiklah,” Greenindia berbisik, suaranya pecah, menyerah pada nasib yang tidak masuk akal. “Aku akan menikahinya. Tapi ini bukan pernikahan, ini... ini adalah sandera.”
Antonio tersenyum lagi, senyum kemenangan yang kejam. “Sebut saja apa pun yang Anda suka, Nyonya Carson.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
BCuan
maksa kali, Rex🤣🤣🤣
2025-11-08
0