Kutukan Pagi hari

Greenindia tidak ingat persis bagaimana proses pernikahan itu terjadi. Yang ia ingat hanyalah ruangan berpendingin udara yang terasa mencekik, Antonio yang meletakkan dokumen-dokumen tebal di hadapannya, dan bunyi pena di atas kertas. Semuanya terasa buram dan cepat—seperti adegan yang dipotong dari sebuah film buruk.

​Ketika Antonio akhirnya mengizinkannya pergi, matahari sudah terbit. Greenindia menolak tawaran tumpangan limusin mewah. Ia hanya ingin menghilang. Setelah berjuang mencari taksi ke sisi kota yang lebih sepi, ia akhirnya sampai di bangunan apartemennya yang kusam dan bertingkat empat. Ini bukan penthouse mewah, hanya bangunan bata tua yang diselimuti tanaman merambat, tempat ia menyewa unit kecil di lantai tiga.

​Langkah kakinya terasa berat saat ia menapaki lantai dasar. Sebelum naik, ia berhenti di toko serba ada di sudut bangunan, milik seseorang yang ia kenal.

​Bel pintu berdering nyaring saat Greenindia masuk. Tomi, pemilik toko yang ramah, sedang menyusun tumpukan majalah di konter. Wajahnya yang bulat dan senyum lebarnya langsung menyambut Greenindia.

​“Wah, Nona Pendaki sudah pulang!” sapa Tomi, suaranya ceria. “Tumben cepat. Bagaimana Puncak Blackwood? Biasanya kau bersinar seperti baru mandi matahari kalau habis dari sana.”

​Tomi terdiam, melihat lebih dekat wajah Greenindia yang kini berdiri di depan rak pendingin minuman. Wajah itu bukan bersinar; wajah itu kusut dan pucat pasi. Lingkaran gelap sudah terbentuk di bawah matanya.

Dia sangat mengenal Green jika ia baru saja kembali setelah mendaki.

​Greenindia mulai memasukkan kaleng-kaleng bir berukuran besar ke dalam keranjang. Satu, dua, tiga, empat...

​“Kau mendaki, Green?” tanya Tomi, nada suaranya berubah khawatir. “Kenapa wajahmu seperti habis bergulat dengan beruang? Ada apa? Kau diculik yeti?”

​“Tidak ada apa-apa, Tomi,” jawab Greenindia datar, sambil mengambil dua botol kecil minuman keras beralkohol tinggi. “Tolong hitung saja. Dan tambahkan ini.”

​Tomi mencondongkan tubuhnya ke depan konter, melihat isi keranjang belanja Greenindia yang dominan dengan alkohol.

​“Hei, Green. Tunggu dulu,” tegur Tomi, suaranya tegas. “Ini terlalu banyak. Kau baru pulang mendaki, kan? Badanmu pasti capek sekali. Kau harusnya tidur, bukan malah merayakan dengan minuman keras sebanyak ini.”

​Greenindia mendongak, matanya lelah tetapi memancarkan tatapan keras. Ia sudah lelah berpura-pura baik-baik saja di hadapan Rex, dan ia tidak punya energi untuk bersikap ceria di hadapan Tomi.

​“Justru ini, Tomi,” balas Greenindia, suaranya rendah dan tajam. “Justru inilah waktu yang paling tepat untuk minum alkohol. Sekarang, cepat hitung. Aku tidak punya waktu.”

​Tomi, yang sudah mengenal Greenindia sejak ia pindah ke sana tiga tahun lalu, tahu betul kapan harus berhenti. Ada kerapuhan yang menakutkan di mata temannya itu. Ia segera menghitung belanjaan dalam diam.

​Setelah membayar dengan tergesa-gesa, Greenindia bergegas keluar. Ia tidak menoleh ke belakang saat Tomi mengucapkan “Hati-hati, Green,” dengan nada yang dipenuhi rasa kasihan.

***

Malam hari.

​Apartemen Greenindia di lantai tiga adalah cerminan kehidupannya: minimalis, fungsional, dan agak suram. Hanya ada satu kamar tidur kecil, dapur mini di sudut, dan ruang tamu berukuran sedang yang didominasi sofa panjang yang nyaman dan televisi usang yang diletakkan di atas meja bundar kayu.

​Greenindia menjatuhkan semua belanjaannya di atas karpet. Ia tidak menyalakan lampu, hanya membiarkan cahaya redup dari jendela yang menghadap tembok bata tetangga menyinari ruangan.

​Dalam hitungan detik, ia sudah duduk di sofa, membuka salah satu kaleng bir, dan menenggaknya rakus. Rasa pahit dan dingin itu menyengat, tetapi berhasil membungkam sejenak kegaduhan di kepalanya.

​Ia meratapi tragedi dalam hidupnya.

​Semalam. Semalam ia berada di puncak dunia, di atas tebing dingin yang memberinya rasa kebebasan mutlak.

​Siang ini. Siang ini ia telah menikah dengan orang asing bernama Rex Caraon—pria sombong yang ia temui selama dua puluh menit sebelum ia menusuk kakinya.

​“Menikahlah denganku… sandera…” gerutu Greenindia pada dirinya sendiri, menenggak bir lagi, kali ini dari botol alkohol. Rasa terbakar yang hangat mulai menyebar di perutnya.

​“Rex Carson! Dasar gila!” Ia tertawa getir, tawanya berubah menjadi erangan sedih. “Dia pikir aku mau bunuh diri? Bodoh! Aku hanya melarikan diri, dasar bodoh. Bukan mencari kematian! Kenapa... kenapa harus menikah?”

​Greenindia meraih botol alkoholnya lagi. Ia mulai mencerca Rex, Antonio, tebing itu, dan dirinya sendiri. Ia mencerca takdir yang seolah-olah mempermainkannya, mengayunkan hidupnya dari puncak ketenangan ke jurang absurditas dalam waktu kurang dari dua belas jam.

​Botol kedua habis. Matanya mulai kabur. Kata-kata Greenindia menjadi ceracauan tak jelas tentang pisau, janji, dan sebuah nama yang samar-samar. Ia merasa kepalanya berputar, dan sesaat ia kembali ke ingatan akan kamar operasi yang dingin.

​Greenindia akhirnya roboh di sofa, bantalnya memeluk wajahnya yang basah oleh air mata dan keringat. Ia tertidur lelap dalam kelelahan dan mabuk, ruangan itu dipenuhi bau bir basi dan penyesalan.

...

​Cahaya pagi merayap masuk melalui jendela, tetapi Greenindia tidak menyambutnya. Ia terbangun karena suara yang menyerupai gempa bumi di pintu apartemennya.

​BRAK! BRAK! BRAK!

​Ketukan itu brutal dan tidak sabar, seolah pintunya akan hancur sebentar lagi. Greenindia mengerang kesakitan. Kepalanya berdenyut seperti dipalu. Ia segera menyadari di mana ia berada. Ia bangkit, pandangannya masih kabur, sisa mabuk semalam menimpanya seperti beban beton.

​Siapa yang bertamu sepagi ini dengan cara barbar seperti ini? Tomi tidak pernah seberisik ini.

​BRAK! BRAK!

​Dengan kesal, Greenindia menyeret langkahnya ke pintu. Ia mengusap matanya, membuka kunci pengaman, dan menarik daun pintu hingga terbuka.

​Dunia Greenindia yang baru saja kembali tenang, langsung hancur berkeping-keping di ambang pintu.

​Di hadapannya, Antonio berdiri dengan setelan yang sama rapinya seperti kemarin, tetapi dengan ekspresi yang lebih lelah. Di sebelah Antonio, tepat di depan pintu apartemennya yang kecil dan tidak berdaya, ada Rex Carson.

​Rex duduk di kursi roda hitam metalik. Kaki kirinya dibalut perban putih bersih yang besar, menjulur lurus ke depan. Wajahnya tidak lagi pucat; Rex tampak segar, meskipun sedikit menyebalkan. Ia mengenakan kaus cashmere abu-abu dan celana training mahal.

​Rex mengangkat tangannya, seolah-olah sedang menyambutnya ke pesta.

​“Selamat pagi, Istriku,” sapa Rex dengan nada yang sangat, sangat ceria.

​Greenindia menatap tumpukan botol bir di belakangnya dan bau alkohol yang menusuk, lalu kembali menatap Rex yang tampak berkuasa meski sedang duduk.

​“Apa... yang kau lakukan di sini?” tanya Greenindia, suaranya parau dan dipenuhi kemarahan.

​Rex menyandarkan kepalanya ke belakang, ekspresi wajahnya berubah menjadi santai, tetapi matanya memancarkan kepemilikan.

​“Pulang, Istriku,” jawab Rex, melambaikan tangan ke arah Antonio. Antonio segera mulai mendorong kursi roda itu melewati ambang pintu apartemen Greenindia yang sempit.

​“Tentu saja, pulang ke rumah istriku.”

 

.

.

.

Hai, Readers.

Mohon dukungannya, ya, untuk karya ini untuk diikutkan lomba. Jangan lupa like, komen. Dan vote karya ini. Terima kasih...

Terpopuler

Comments

Amidah Anhar

Amidah Anhar

semangat Up nya jangan Hiatus lagi

2025-10-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!