Teka-teki

Di kantin Fakultas Teknik Sipil, Syima sedang makan siang bersama Gama dan teman-teman seorganisasinya yang hampir semuanya berjenis kelamin pria. Meskipun ada beberapa gadis yang ikut duduk di sana, mereka adalah para kekasih temannya.

“Eh, Syim, kamu sudah dengar belum kabar soal dosen wali baru?” tanya Rio, teman satu angkatannya.

“Dosen wali baru? Siapa?” Syima merespons sambil mengunyah bakso.

“Namanya Pak Devanka. Katanya masih muda, baru lulus S2. Tapi kabarnya galak banget,” sahut Nina, satu-satunya teman Syima di kelas sipil. Penampilannya lebih tomboi dibandingkan Syima.

“Wah, tambah suram nih hidup kita,” keluh Theo sambil mengaduk es teh. “Sudah nilai jelek, ditambah dosen wali killer.”

 Syima mengernyitkan dahi. Nama Devanka terdengar familiar, tapi dia tidak bisa mengingat di mana pernah mendengarnya. Hanya saja Syima merasa pernah mendengar atau pernah membaca tulisan nama Devanka di suatu tempat.

"Dia dosen kita pas semester satu sama dua, matkul struktur bangunan," jelas Nina.

"Ah iya benar itu. Terus kita sudah gak pernah lihat lagi ya?"

"Dia kalau gak salah fokus di penelitian dan proyek. Baru sekarang Dekan menunjuk dia jadi dosen wali kita."

"Pak Yandi emang kemana?" tanya Syima, setelah menghabiskan semangkuk baksonya, dan kembali memesan satu porsi bakso lagi. Perutnya benar-benar lapar, setelah ia tak bisa menghabiskan gudeg kesukaannya karena bertengkar dengan ayahnya.

"Pindah ke UK. Katanya nerusin S3-nya di sana," jelas Gama.

"Kok bisa ya ada orang yang suka belajar gitu kayak Pak Hendra gitu?" celetuk Syima polos.

Semua mata memandang Syima dengan tatapan setuju. Teman Syima memiliki jenis IPK yang sama dengannya, terkecuali Gama dan Nina, keduanya terkenal memiliki IPK tertinggi di satu jurusan.

“Emangnya kapan dosennya datang?” tanya Gama.

“Besok pagi. Katanya mau kenalan sekaligus briefing tentang aturan-aturan baru,” jawab Nina sambil menggulir ponsel. “Nih, ini foto dia.”

Nina menunjukkan layar ponselnya kepada teman-temannya. Terlihat foto seorang pria berusia sekitar tiga puluhan, tinggi, berambut rapi, dengan senyum yang terlihat ramah namun tegas, yang jelas tampan. Syima pun mengakui ketampanan dosen itu.

"Kok mukanya familiar ya?" tanya Gama, mengerutkan kening.

Mata Syima memindai pria di foto itu dengan teliti. Dia hampir tersedak bakso ketika melihat foto itu. Pria itu... dia kenal pria itu. Pria yang pernah beberapa kali dilihatnya di kafe dekat kampus, duduk berdua dengan seorang wanita yang...

Yang sangat mirip dengannya. Atau lebih tepatnya bersama Syima.

“Kenapa, Syim? Kamu kenal dia?” tanya Gama memperhatikan reaksi aneh sahabatnya.

“Nggak... nggak kenal kok,” jawab Syima terbata-bata, meski otaknya sudah mulai menyusun teka-teki yang selama ini tidak lengkap.

 Syama yang akhir-akhir ini sering pergi dengan alasan “kuliah tambahan” atau “diskusi kelompok”. Syama yang tiba-tiba rajin ke salon dan membeli baju-baju bagus dengan alasan “presentasi penting”. Syama yang sering tersenyum-senyum sendiri sambil memainkan ponsel.

 Dan sekarang, dosen wali barunya ternyata pria yang pernah dia lihat bersama seseorang yang identik dengannya.

 “Aku harus pergi,” kata Syima tiba-tiba sambil bangkit dari kursi.

 “Loh, kemana? Kan belum jam kuliah,” tanya Rio bingung.

 

“Aku ada urusan penting. Kalau ada apa-apa, bilang aja aku ke toilet.” Syima mengambil tas ranselnya dan bergegas pergi, meninggalkan teman-temannya yang kebingungan.

"Tapi nanti kamu kuliah kan?" teriak Gama.

Syima mengacungkan jempolnya. Tanda kalau dia akan masuk kuliah, kalau tidak terlambat.

 Syima berjalan cepat menuju Fakultas Keguruan. Dia harus bertemu Syama sekarang juga. Dia harus tahu kebenaran yang selama ini mungkin disembunyikan kembarannya.

 Di sepanjang perjalanan, berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Kenapa Syama tidak pernah cerita kalau dia punya pacar? Kenapa harus dirahasiakan? Dan yang paling penting, kenapa pacar Syama malah jadi dosen walinya, kalau memang benar dia pacar Syama? Sejak kapan mereka dekat?

Syima mempercepat langkah. Ada sesuatu yang tidak beres di sini, dan dia akan mencari tahu kebenarannya. Bukan karena Syima tidak suka Syama berpacaran, tapi itu akan mendatangkan masalah bagi dirinya.

Syima berjalan cepat, napasnya memburu, bukan karena lelah, tetapi karena emosi yang bergejolak. Lorong-lorong kampus yang biasanya ia lalui dengan santai, kini terasa seperti labirin yang menyesakkan.

Pikirannya melayang-layang, menyusun kepingan-kepingan informasi yang baru saja ia terima. Foto di ponsel Nina, nama Devanka, dan bayangan sosok Syama yang seringkali ia lihat bersama pria itu. Semuanya terasa seperti skenario film yang terlalu dramatis untuk menjadi kenyataan.

​Ia tiba di depan gedung Fakultas Keguruan. Di sanalah Syama selalu menghabiskan waktunya, di dunia yang jauh berbeda dari hiruk-pikuk Teknik Sipil yang Syima geluti. Syima melongok ke dalam, mencari sosok kembarannya. Matanya menemukan teman-teman Syama sedang duduk di bangku taman. Dengan langkah mantap, ia menghampiri mereka.

"Syima? Ada apa?" tanya salah satu teman Syama, Mita. Dia bisa langsung mengenali Syima, karena perbedaan rambut dan warna kulit Syima yang agak kecoklatan karena lebih sering berkegiatan di luar ruangan. "Tumben kamu ke sini."

"Aku cari Syama. Dia ada?" tanya Syima, suaranya terdengar dingin.

Mita dan teman-teman lainnya saling pandang. "Syama? Oh, dia tadi sudah pergi. Katanya ada janji sama Pak Hendra."

Dada Syima mencelos. Lagi-lagi alasan yang sama. Pak Hendra. Dosen yang seringkali dijadikan alasan Syama untuk menghilang.

"Janji apa? Kalian tahu?"

"Kurang tahu, Syim. Katanya sih diskusi penelitian," jawab Mita. "Memangnya ada apa? Kamu kelihatan buru-buru."

Syima mencoba menenangkan diri, mengepalkan tangannya di balik tas ransel.

"Enggak, enggak ada apa-apa kok. Cuma mau tanya tugas." Dia tidak bisa memaksa mereka memberitahu hal yang tidak mereka ketahui. Dan dia juga tidak bisa serta merta menuduh tanpa bukti.

"Oh, begitu. Kayaknya Syama nggak ikut kuliah deh hari ini. Coba kamu cek ke ruang dosen." saran Mita.

Syima mengangguk. "Makasih, ya." Ia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan teman-teman Syama yang kebingungan.

Kekecewaan menggerogoti hati Syima. Ia gagal mendapatkan konfirmasi langsung dari Syama. Di tengah langkahnya, Syima merenung. Hubungan Syama dengan seorang dosen terpandang, yang kini akan menjadi dosen walinya, pasti akan membawa implikasi besar. Ayah mereka pasti akan menggunakan ini sebagai alat untuk menekan Syima. "Lihatlah Kakakmu! Dia mendapatkan pria yang sempurna! Kamu? Kapan kamu akan menjadi seperti dia?"

Pertanyaan-pertanyaan itu sudah terngiang di telinga Syima, bahkan sebelum itu diucapkan. Syima merasa tertekan. Ia merasa dia akan semakin terperosok ke dalam bayang-bayang Syama yang tidak pernah bisa dilampauinya.

Syima kembali ke gedung fakultasnya. Wajahnya terlihat cemberut. Perlahan dia memasuki kelas, duduk di bangku paling belakang bersama Gama dan Nina. Kedua temannya itu memperhatikan Syima. Tanpa perlu bertanya, mereka tahu Syima sedang ada masalah berkaitan dengan saudara kembarnya.

Terpopuler

Comments

Rizitos Bonitos

Rizitos Bonitos

Bikin galau.

2025-09-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!