Cafe yang terletak di jalan kecil dekat kampus sudah menjadi tempat favorit Syama dan Devanka untuk bertemu selama hampir dua tahun. Tempatnya tidak terlalu ramai, pojok-pojoknya cukup privat, dan yang paling penting, jarang ada mahasiswa atau dosen lain yang datang ke sini.
Syama duduk di meja sudut sambil memainkan jari-jarinya dengan gelisah. Jam menunjukkan pukul 12.15, dan Devanka belum juga datang. Padahal biasanya pria itu selalu tepat waktu, bahkan sering lebih cepat dari jadwal yang mereka sepakati.
"Maaf terlambat, sayang."
Suara bass yang familiar itu membuat Syama menoleh ke arah pintu masuk. Devanka berjalan menghampirinya dengan langkah cepat, wajahnya tampak sedikit lelah tapi mata masih memancarkan kehangatan ketika melihat Syama.
"Tadi ada rapat mendadak dengan dekan," ujar Devanka sambil duduk di hadapan Syama dan langsung meraih tangannya. "Kamu sudah pesan?"
"Belum. Aku nunggu kamu dulu." Syama tersenyum, tapi Devanka yang sudah mengenalnya dengan baik bisa melihat ada kegelisahan di balik senyuman itu.
"Ada apa, cinta? Kamu kelihatannya cemas banget daritadi pagi," tanya Devanka sambil mengelus punggung tangan Syama dengan lembut.
Syama menarik napas dalam-dalam. "Mas, ada yang harus aku kasih tahu soal salah satu mahasiswa bimbinganmu nanti."
"Mahasiswa bimbingan?" Devanka menaikkan alis. "Memangnya kamu tahu aku dipilih jadi dosen wali?"
"Pak Hendra tadi bilang, dan salah satu mahasiswimu nanti... adikku. Syima."
Devanka terdiam sejenak, matanya melebar dengan ekspresi terkejut. "Syima? Adik kembaranmu itu?"
"Iya." Syama mengangguk pelan. "Dan aku belum pernah cerita tentang Mas ke dia. Atau ke keluargaku."
Keheningan menggantung di antara mereka. Devanka melepaskan genggamannya dari tangan Syama dan bersandar ke kursi dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Syama..." suara Devanka terdengar pelan tapi ada nada kecewa di sana. "Kita sudah hampir dua tahun bersama. Kenapa kamu masih menyembunyikan hubungan kita?"
"Bukan menyembunyikan, Mas..." bantah Syama cepat. "Tapi aku cuma... belum siap. Kamu tahu kan situasi keluargaku. Papa itu orang tua yang kolot, dia pasti akan banyak menanyakan ini-itu. Apalagi kamu jauh lebih tua dari aku."
"Sepuluh tahun. Masih banyak yang memiliki hubungan dengan jarak yang lebih jauh. Aku sudah punya pekerjaan tetap, dan siap menikahimu." Devanka menatap mata kekasihnya dengan serius. "Aku berharap kamu pun siap untuk membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius, sayang."
Syama merasakan dadanya sesak. Topik pernikahan sudah beberapa kali Devanka singgung, dan biasanya dia selalu berhasil mengalihkan pembicaraan. Bukan karena dia tidak mencintai Devanka, tapi karena dia takut dengan reaksi keluarganya.
"Mas, aku ingin menikah sama kamu. Sungguh. Tapi—"
"Tapi kamu malu punya pacar yang lebih tua? Atau kamu sudah tak mencintaiku?" potong Devanka dengan nada sedikit pahit.
"Bukan itu!" Syama menggenggam tangan Devanka dengan erat. "Jangan bilang begitu. Aku mencintamu, Mas. Cuma... situasinya memang rumit. Kalau kamu kenal ayahku, kamu pasti ngerti."
"Rumit gimana, Syama?" Devanka membalas genggaman tangannya. "Atau jangan-jangan kamu sebenarnya belum yakin sama perasaanmu sendiri?"
Pertanyaan itu seperti tamparan bagi Syama. Dia menatap mata Devanka yang penuh dengan keraguan dan sedikit luka. Pria yang dicintainya itu memang berhak merasa kecewa. Sudah dua tahun mereka bersama, tapi hubungan mereka masih saja berstatus "rahasia". Dan benar apa yang dikatakan Devanka, dia memang masih sedikit ragu untuk memulai masa depan bersama Devanka.
"Aku yakin, Mas. Aku sangat yakin sama perasaanku." Syama menarik napas dalam. "Baiklah. Aku akan menceritakan semua ke keluargaku tentang kamu. Tapi... bisa nggak kamu sabar sedikit lagi? Setelah situasi dengan Syima reda. Kamu tahu kan gimana adikku. Dia itu impulsif, kalau dia sampai tahu duluan—"
"Memangnya kenapa kalau dia tahu duluan?" Devanka memotong dengan nada yang mulai naik. "Apa masalahnya kalau adikmu tahu kamu punya pacar?"
Syama terdiam. Bagaimana cara menjelaskan bahwa selama ini dia merasa hidup dalam ekspektasi yang sangat tinggi dari keluarganya? Bahwa dia takut kalau hubungannya dengan Devanka malah akan memperburuk situasi Syima di mata orangtua mereka?
"Sayang, tolong jelaskan biar aku ngerti. Apalagi aku nanti akan lebih sering ketemu dia, menurut laporan yang aku terima adikmu itu sedikit bermasalah dengan nilai akademisnya."
"Nah itu alasannya, Bapak dan Syima selalu bertengkar soal nilai akademis Syima. Aku... aku takut Papa akan membandingkan kami lagi." Syama berbisik pelan. "Kamu tahu kan, selama ini Syima selalu dibanding-bandingin sama aku. Kalau Bapak tahu aku punya pacar yang dosen, sementara Syima masih berantakan akademiknya, dia pasti akan makin keras sama Syima."
Devanka menatap kekasihnya dengan ekspresi yang mulai melunak. "Jadi kamu menyembunyikan hubungan kita untuk melindungi adikmu?"
Syama mengangguk. "Salah satunya, iya. Aku tak mau hubunganku dengan Syima semakin buruk. Dan juga karena aku capek menghadapi pertengkaran di rumah."
"Aku ngerti. Tapi bisa kan kamu pelan-pelan menjelaskan semuanya sama keluarga?" Devanka menggenggam kedua tangan Syama. "Aku serius sama kamu. Aku mau menikahimu. Dan untuk itu, aku harus kenal dengan keluargamu."
Syama merasakan air matanya mulai berkaca-kaca. Dia tahu Devanka benar. Mereka tidak bisa terus-terusan menjalani hubungan sembunyi-sembunyi seperti ini. Tapi bayangan wajah Ahmad yang marah dan Syima yang merasa dikhianati olehnya membuatnya sangat takut.
"Mas... Lalu gimana nanti kalau Syima tahu tentang hubungan kita? Apalagi kamu bakal jadi pembimbingnya."
"Sayang, lihat aku." Devanka mengangkat dagu kekasihnya hingga mata mereka bertemu. "Aku janji akan profesional menghadapi Syima sebagai dosen walinya. Aku nggak akan mencampuradukkan urusan pribadi dengan profesional. Dan tentang keluargamu... aku siap menghadapi apapun reaksi mereka."
"Kamu yakin, Mas?"
"Sangat yakin." Devanka tersenyum hangat. "Aku mencintai kamu, Syama. Dan aku mau semua orang tahu kalau kamu adalah wanita yang akan jadi istriku."
Syama tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia merasakan campur aduk perasaan—lega, takut, bahagia, dan cemas bercampur jadi satu. Devanka benar-benar serius dengan hubungan mereka.
"Baiklah," bisik Syama akhirnya. "Aku akan mencoba cerita sama keluargaku. Tapi... bisa nggak kita tunggu sampai situasi akademik Syima membaik dulu? Aku nggak mau Bapak tambah stress karena masalah dua anaknya sekaligus."
Devanka menghela napas, tapi kemudian mengangguk. "Okay. Tapi maksimal tiga bulan, ya. Setelah itu, aku akan datang ke rumahmu dan melamarmu secara resmi."
"Tiga bulan?" Syama tergagap.
"Iya. Aku sudah menunggu hampir dua tahun. Cukup lama untuk sebuah kepastian." Devanka menatap Syama dengan tegas tapi penuh kasih. "Aku mau kita menikah tahun ini, Sayang. Aku sudah siap membangun keluarga denganmu. Dan perlu kamu tahu, rumah kita sudah siap dihuni. Perabotan yang kamu pilih minggu lalu sudah sampai disana."
Syama merasakan jantungnya berdebar kencang. Menikah. Kata itu terdengar indah sekaligus menakutkan di telinganya. Dan rumah, itu pun hal yang membuatnya bahagia, karena mereka berdua telah memilih rumah impian sesuai selera dan kebutuhan mereka berdua.
"Baiklah," bisiknya akhirnya. "Tiga bulan."
Devanka tersenyum lebar dan mencium punggung tangan Syama dengan lembut. "Terima kasih, sayang. Aku janji akan membuatmu bahagia."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Mepica_Elano
Aaaahhh! Begitu seru sampe gak berasa waktu berlalu!
2025-09-13
1