Syima membuka mata dengan susah payah ketika alarm ponselnya berbunyi keras untuk ketiga kalinya. Tangannya meraba-raba di atas meja samping tempat tidur, berusaha menemukan benda kecil yang mengganggu tidurnya itu. Ketika akhirnya berhasil mematikan alarm, matanya melirik jam yang menunjukkan pukul 07.15 pagi.
“Sial,” gumamnya sambil berguling malas di tempat tidur.
Dari balik pintu kamar, terdengar suara ketukan yang diikuti dengan suara lembut yang sudah sangat familiar di telinganya.
“Syima, bangun! Kamu sudah terlambat lagi!”
Syima menarik bantal dan menutup kepalanya. Syama, kembar identiknya yang lahir tiga puluh menit lebih dulu, selalu saja bertingkah seperti ibu kedua. Bahkan lebih cerewet dan mengatur di bandingkan ibu mereka sendiri. Padahal mereka sama-sama anak kuliahan semester tujuh.
“Lima menit lagi!” teriak Syima dari balik bantal.
Pintu kamar terbuka dengan paksa. Syama masuk dengan langkah tegas, sudah rapi dengan blus putih bersih dan rok payung selutut berwarna navy yang disetrika sempurna. Rambutnya yang panjang bergelombang ditata indah melalui tangan hairstylist, dipadukan wajahnya yang cantik dengan makeup semi natural. Kulit putih bersihnya tampak berseri di bawah cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela kamar.
“Sisi, serius deh. Ini sudah jam setengah delapan lewat,” kata Syama sambil menarik selimut adiknya dengan paksa. “Ibu sudah masak nasi gudeg kesukaanmu. Dan Bapak udah nanya terus, kenapa kamu belum turun.”
Syima terpaksa bangkit dan duduk di tepi tempat tidur. Rambutnya yang pendek sebahu acak-acakan, beberapa helai menutupi tahi lalat kecil di bawah mata kanannya, satu-satunya tanda yang membedakan dirinya dari kembarannya. Dia mengenakan kaos oversize bekas merchandise konser band indie yang sudah melar dan celana pendek yang kusut.
“Kenapa sih kamu suka banget ngatur-ngatur aku?” gerutu Syima sambil mengucek mata. “Aku bukan anak kecil lagi, Sya.”
“Karena kamu masih bertingkah seperti anak kecil,” sahut Syama sambil melipat tangan di dada. “Coba lihat kamarmu ini.”
Mata Syima ikut menyapu sekeliling kamarnya. Memang berantakan. Buku-buku berserakan di meja belajar yang tidak pernah digunakan untuk belajar. Baju kotor menumpuk di kursi. Sepatu sneakers dilempar sembarangan di sudut kamar. Poster-poster band dan aktivis lingkungan ditempel secara asal di dinding.
“Lah, ini kan kamar aku. Terserah aku dong mau diapain,” ujar Syima sambil berjalan menuju lemari, mencari pakaian yang bersih.
“Syima...” Suara Syama melembut. “Aku Cuma peduli sama kamu. Kita kan kembar, kalau kamu berbuat yang nggak baik, reputasi keluarga kita yang kena imbasnya. Apalagi Bapak kan guru, dia punya nama baik yang harus dijaga.”
Syima berhenti mencari baju dan menatap kembarannya dengan tajam. “Ah, itu dia masalahnya. Kamu tuh selalu mikirin reputasi, nama baik, pendapat orang lain. Kapan sih kamu hidup buat dirimu sendiri?”
“Hidup itu nggak Cuma soal diri sendiri, Sisi. Ada tanggung jawab, ada—“
“Ada Bapak bilang, ada Ibu bilang, ada masyarakat bilang,” potong Syima dengan nada sinis. “Kamu itu kayak robot yang diprogram buat jadi anak sempurna.”
Wajah Syama memerah menahan emosi. “Si, kenapa sih kamu selalu begini? Kenapa kamu nggak bisa sedikit saja menghargai usaha Bapak Ibu yang udah membesarkan kita?”
“Aku menghargai kok. Cuma caranya beda.” Syima mengambil kaos bersih dari lemari. “Kamu tunjukin penghargaan dengan jadi anak penurut yang sempurna. Aku tunjukin penghargaan dengan jadi diri aku sendiri.”
“Diri kamu sendiri yang suka terlambat, nilai pas-pasan, ikut demo sana-sini, pulang malem, main sama cowok gak jelas—“
“Itu hidup aku!” bentak Syima, suaranya mulai tinggi. “Dan aku nggak ‘main’ sama cowok gak jelas. Cowok itu, Gama. Kamu juga kenal, dia temen kita dari SMA. Temen baik yang selalu support aku, nggak kayak keluargaku yang selalu menuntut agar aku sama persis sama kamu.”
Syama terdiam. Air matanya mulai berkaca-kaca. “Siai... aku nggak pernah minta kayak gitu. Aku cuma berusaha jadi anak yang baik.”
Melihat kembarannya hampir menangis, Syima langsung merasa bersalah. Ini dia kelemahan terbesarnya, dia tidak pernah bisa melihat Syama sedih. Sejak kecil, mereka memang berbeda karakter, tapi Syama selalu melindunginya dari amarah Bapak ketika dia berbuat kenakalan.
“Sya...” Syima mendekati kembarannya. “Aku nggak bermaksud—“
“Udahlah,” potong Syama sambil menyeka mata. “Kamu mandi sana. Nanti Bapak makin marah kalau kamu telat lagi.”
Syama keluar dari kamar dengan langkah tergesa, meninggalkan Syima berdiri dengan perasaan bersalah yang mengganjal di dada. Gadis itu menatap foto mereka berdua saat masih kecil yang terpajang di meja belajarnya. Dalam foto itu, mereka pelukan erat dengan senyum ceria, mengenakan dress kembar yang sama saat merayakan ulang tahun bersama.
Dulu sebelum SMA, Stama dan Syima saling bergantung satu sama lain. Ibu selalu memberikan pakaian yang sama. Tapi semakin kemari perubahan penampilan Syima semakin jauh berbeda. Ahmad jadi lebih sering membandingkan keduanya. Apalagi prestasi Syama yangbselalu gemilang, berbeda dengan Syima yang cukup bersyukur nilainya tidak perlu di remidi.
Ia pun merindukan masa-masa mereka berbincang sebelum tidur, bertukar cerita tentang apapun yang mengenai keseharian mereka. Tapi semua itu sekarang tinggal kenangan, satu hari tidak bertengkar saja sudah menjadi sebuah keajaiban. Walaupun pertengkaran itu selalu dipicu Syima, dan berakhir dengan Syama menangis. Efeknya Syama ditenangkan ibu mereka, Syima si hukum ayah mereka.
Kadang Syima berpikir, sejak kapan ya mereka jadi memiliki jarak seperti ini?
Ruang makan keluarga kecil itu dipenuhi aroma nasi gudeg dan semur daging yang menggugah selera. Ahmad, ayah mereka yang berusia lima puluh tahun, duduk di ujung meja sambil membaca koran pagi. Rambut beliau yang mulai beruban di bagian samping membuatnya tampak berwibawa dengan kacamata baca yang bertengger di ujung hidung.
“Pagi, semua,” sapa Syama sambil duduk di kursi depan Ahmad.
“Pagi. Hari ini ada kuliah sampai jam berapa?” tanya Ahmad tanpa mengangkat mata dari korannya.
“Sampai jam tiga. Setelah itu ada rapat sama Pak Hendra soal penelitian.”
“Bagus. Bapak bangga sama kamu. IPK mu semester kemarin 3,70. Hampir sempurna.”
Syama tersenyum, meski ada rasa tidak nyaman di dadanya ketika mendengar pujian yang secara tidak langsung merendahkan adiknya.
Dewi, ibu mereka yang berusia empat puluh lima tahun, keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi piring-piring sarapan. Wanita yang dulu cantik itu kini tampak sedikit pucat dan kurus. Gerakannya juga lebih lambat dari biasanya.
“Ibu kenapa?” tanya Syama dengan wajah khawatir. “Sakit?”
“Nggak apa-apa, sayang. Cuma sedikit cape aja,” jawab Dewi sambil tersenyum memaksakan diri. “Ibu udah buatin nasi gudeg kesukaan Syima. Mana dia?”
“Masih mandi, Bu. Tadi hampir telat bangun lagi,” lapor Syama sambil membantu ibunya menyiapkan piring.
Ahmad menghela napas panjang. “Kapan dewasanya anak itu. Udah semester tujuh masih aja kayak anak SMA.”
“Bapak, jangan gitu dong,” bela Dewi sambil duduk di sebelah suaminya. “Syima kan emang beda sama Syama. Tapi dia anak baik.”
“Baik gimana, Ma?” Ahmad menatap istrinya dengan tajam. “Nilai akademik pas-pasan, sering terlambat, ikut organisasi yang aneh-aneh, pulang malem, bergaul sama anak cowok begajulan—“
“Pak...” Dewi menyentuh lengan suaminya. “Syima itu punya kepedulian sosial yang tinggi. Dia aktif di BEM, sering ikut kegiatan sosial. Itu sudah cukup bagus kan?”
“Bagus kalau nggak ganggu kuliahnya. Lihat Syama, dia bisa berorganisasi sekaligus jadi asisten dosen, tapi selalu seimbang dengan IPK nya yang tetap tinggi. Kenapa Syima nggak bisa kayak kakaknya?”
Syama yang mendengar percakapan orangtuanya merasa tidak nyaman. Topik perbandingan antara dirinya dan Syima selalu membuatnya gelisah. Dia tahu betapa adiknya benci dibanding-bandingkan dengannya.
Suara langkah kaki dari tangga membuat percakapan itu terhenti. Syima turun dengan rambut masih setengah basah, mengenakan kaos putih polos dan celana jeans yang agak ketat. Sneakers putih yang sudah agak kotor melengkapi penampilan kasualnya.
“Pagi,” sapanya singkat sambil langsung duduk dan mengambil sepiring nasi gudeg.
“Pagi,” jawab Ahmad tanpa menatap putri bungsunya.
“Rambutmu masih basah. Nanti masuk angin lho,” kata Dewi sambil ingin bangkit mengambil handuk.
“Udah, Ma. Nggak usah. Nanti kering sendiri,” tolak Syima sambil melahap sarapannya. “Hmm, enak banget nih, Ma. Makasih, ya.”
Dewi tersenyum lega melihat anaknya menikmati masakan. “Hari ini kuliah sampai jam berapa, sayang?”
“Sampai jam empat. Habis itu ada rapat BEM. Kita lagi persiapan acara besar bulan depan,” jawab Syima sambil terus makan.
“Rapat lagi?” Ahmad menatap putrinya dengan tidak suka. “Kemarin juga rapat. Organisasi apa sih yang rapat melulu?”
“BEM kampus, Pak. Kita mau ngadain seminar nasional tentang krisis iklim dan peran mahasiswa. Ini penting banget, Pak. Nanti ada pembicara dari Greenpeace dan aktivis lingkungan terkenal—“
“Yang penting itu nilai kuliahmu,” potong Ahmad dengan nada tinggi. “Semester kemarin IPK mu berapa? Dua koma tujuh! Syama semester yang sama IPK nya hampir empat. Kenapa bisa beda jauh begitu?”
Syima berhenti mengunyah. Lagi. Selalu begini. Apapun yang dilakukannya, pasti akan dibandingkan dengan Syama yang sempurna.
“Pak, Syima udah berusaha kok,” bela Dewi lagi dengan suara lemah.
“Berusaha gimana? Kalau dia fokus sama kuliah, pasti bisa dapet nilai bagus kayak kakaknya.” Ahmad melipat korannya dengan kesal. “Syima, Bapak udah sering bilang. Bapak itu guru. Bapak tahu betapa pentingnya pendidikan. Kalau kamu nggak serius dari sekarang, nanti susah cari kerja.”
“Iya, Pak,” jawab Syima pelan sambil menundukkan kepala.
“Jangan Cuma iya doang. Bapak mau lihat perubahan nyata. IPK semester ini minimal tiga koma lima. Bisa?”
Syima mengangkat kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Tiga koma lima? Pak, itu susah banget. Mata kuliah semester ini banyak yang berat.”
“Syama bisa, kenapa kamu nggak bisa?” tanya Ahmad dengan suara yang semakin keras. “Kalian kan kembar. Otak kalian sama. Dididik dengan cara sama. Fasilitas belajar juga sama. Yang beda cuma prioritas dan cara berpikir.”
“Mungkin karena aku bukan Syama, Pak,” jawab Syima dengan suara bergetar. “Mungkin aku emang nggak sepintar dia.”
“Syima, jangan bilang begitu,” Syama yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Kamu itu pinter. Cuma kurang fokus aja.”
“Kamu jangan ikut campur, ya!” bentak Syima pada kembarannya. Tangannya menunjuk kembarannya. “Kamu enak cuma ngomong. Kamu kan anak emas Bapak. Apapun yang kamu lakuin pasti bener.”
“Syima!” tegur Ahmad dengan keras, suaranya menggelegar. “Jangan berbicara kayak gitu sama kakakmu!”
“Kakak?” Syima bangkit dari kursi dengan emosi. “Dia Cuma lahir lima belas menit lebih dulu, Pak! Dan kenapa sih semua orang selalu nyuruh aku jadi kayak dia? Aku punya pribadi aku sendiri!”
“Syima, duduk!” perintah Ahmad dengan suara menggelegar yang membuat gelas-gelas di meja bergetar.
“Aku udah selesai sarapan. Aku berangkat kuliah dulu.” Syima mengambil tas ranselnya yang sudah lusuh dan bergegas menuju pintu depan.
“Syima, tunggu!” panggil Dewi dengan suara lemah, tapi putrinya sudah membanting pintu dan pergi.
Ruang makan tiba-tiba menjadi hening yang mencekam. Ahmad memijat pelipisnya yang berdenyut, sementara Dewi menatap pintu dengan mata berkaca-kaca. Syama hanya bisa terdiam, hatinya sakit melihat keluarga kecil mereka selalu dilanda pertengkaran seperti ini.
“Bapak terlalu keras sama Syima,” ucap Dewi pelan. Hampir setiap hari acara sarapan selalu berakhir seperti ini.
“Keras gimana? Bapak Cuma mau yang terbaik buat dia,” sahut Ahmad. “Lihat sekarang, dia kabur lagi. Nggak mau menghadapi kenyataan.”
Syama bangkit dari kursi dengan hati yang berat. “Bapak, Ibu, aku ijin berangkat juga. Nanti aku coba bicara sama Syima di kampus.”
“Iya, sayang. Hati-hati di jalan ya,” kata Dewi sambil mengecup kening putri sulungnya.
Setelah Syama pergi, Ahmad dan Dewi duduk berhadapan dalam keheningan yang menyakitkan. Dewi menatap sisa sarapan yang berserakan di meja sambil memegang dadanya yang terasa sesak. Bukan hanya karena sedih melihat pertengkaran keluarga, tapi juga karena rasa sakit yang akhir-akhir ini sering dia rasakan di dadanya.
“Pak, kita harus lebih sabar sama Syima,” ujar Dewi pelan.
“Bapak udah sabar, Ma. Tapi sampai kapan? Dia udah semester lima, masa masih bertingkah kayak anak kecil?” Ahmad bangkit dari kursi. “Bapak berangkat dulu. Nanti sore kita bahas lagi soal ini.”
Setelah suaminya pergi, Dewi duduk sendirian sambil membereskan piring-piring dengan gerakan lambat. Dadanya semakin sesak, dan kali ini bukan hanya karena sedih. Ada sesuatu yang salah dengan tubuhnya, tapi dia belum berani memeriksakan diri ke dokter.
Di salah satu kampus swasta Kota Malang, sudah ramai dengan aktivitas mahasiswa di pagi hari. Syima berjalan dengan langkah cepat menuju gedung Fakultas Teknik Sipil sambil menenteng tas ransel lusuhnya. Wajahnya masih cemberut akibat pertengkaran pagi tadi.
“Syim! Tunggu!”
Syima menoleh dan mendapati Gama, sahabat sekaligus teman satu fakultasnya, berlari kecil mengejarnya. Pemuda tinggi berkulit sawo matang dengan senyum hangat itu terengah-engah ketika sampai di sampingnya.
“Kamu kenapa sih mukanya kayak habis berantem sama dunia?” tanya Gama sambil menyesuaikan langkah dengan Syima.
“Seperti biasa. Habis berantem sama Bapak,” jawab Syima singkat.
“Lagi?” Gama menatap sahabatnya dengan wajah prihatin. “Gara-gara apa kali ini?”
“Hal yang biasa. Nilai jelek, dibandingin sama Syama, masa depan, bla bla bla,” ujar Syima sambil menendang kerikil kecil di jalanan.
Gama berhenti berjalan dan menarik lengan Syima untuk ikut berhenti. “Syim, kamu dengar aku ya. Aku tahu kamu bukan Syama. Kalian berbeda, hanya kebetulan kalian kembar. Tapi apa salahnya kamu jawab iya saja sama bapak, tidak usah berantem terus. Tunjukkan sama Pak Ahmad, kamu punya pribadi yang sama hebatnya kayak Syama.”
“Maksud kamu apa?” tanya Syima dengan nada sinis.
“Kamu berani, tegas, punya empati tinggi sama orang-orang yang tertindas, mau berjuang buat hal-hal yang kamu percayai,” jawab Gama dengan serius. “Kamu ingat tidak waktu SMA dulu, kamu berani demo sendirian waktu kantin sekolah menaikkan harga sembarangan? Atau waktu kamu mengumpulkan sumbangan buat Pak Tono, tukang sapu sekolah yang anaknya sakit?”
Syima tersenyum tipis, pertama kalinya pagi itu. “Itu bukan apa-apa, lagian bapak tidak akan menilai itu.”
“Buat kamu mungkin bukan apa-apa, tapi buat orang-orang yang kamu bantu, itu berarti banget.” Gama menyentuh bahu sahabatnya. “Kamu punya hati yang besar, Syim. Dan kamu punya keberanian buat bicara yang benar meski semua orang tidak setuju. Itu tidak semua orang bisa.”
“Tapi nilai kuliah aku jelek, Gam. IPK cuma dua koma tujuh.”
“Terus kenapa? Hidup itu nggak cuma soal nilai. Einstein pernah bilang, ‘Everybody is a genius, but if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.’” Gama tersenyum lebar. “Kamu itu ikan yang dipaksa memanjat pohon. Makanya kamu merasa bodoh.”
“Jadi menurut kamu, aku itu ikan?” tanya Syima dengan senyum mengejek.
“Ikan yang cantik dan pintar berenang,” sahut Gama sambil tertawa. “Maksud aku, kamu punya kecerdasan yang berbeda. Kamu pintar dalam hal-hal yang nggak bisa diukur sama sistem akademik.”
Mereka melanjutkan perjalanan menuju gedung fakultas sambil mengobrol ringan. Syima tidak menyadari bahwa dari kejauhan, ada seseorang yang memperhatikan mereka berdua dengan tatapan yang sulit diartikan.
***
Di sisi lain kampus, tepatnya di Fakultas Keguruan, Syama berjalan menuju ruang dosen sambil membawa tumpukan berkas penelitian. Sebagai asisten dosen Metodologi Penelitian, dia bertanggung jawab membantu Pak Hendra dalam mempersiapkan materi kuliah dan mengoreksi tugas mahasiswa.
“Selamat pagi, Pak Hendra,” sapa Syama sambil mengetuk pintu ruang dosen.
“Pagi, Syama. Masuk, masuk,” jawab dosen senior berusia lima puluhan itu sambil tersenyum ramah. “Kamu sudah siapkan materi presentasi untuk hari ini?”
“Sudah, Pak. Ini draf slide-nya.” Syama menyerahkan flashdisk dan beberapa lembar kertas. “Saya juga sudah siapkan contoh-contoh kasus penelitian yang menarik buat diskusi mahasiswa.”
“Bagus sekali. Kamu memang bisa diandalkan,” puji Pak Hendra sambil membaca outline presentasi. “Oh iya, kamu ke sini pasti pengen sekalian ketemu yayang ya?” goda Pak Hendra, mengingat Syama telah menjalin hubungan dengan rekan dosennya, Devanka, dosen muda fakultas Teknik.
“Ah, tidak, Pak.” Syama berusaha terlihat biasa saja, padahal jantungnya mulai berdebar.
“Beneran? Padahal tadinya saya mau kasih bocoran dia ada di mana,” Pak Hendra menatap Syama sambil tersenyum menggoda mahasiswinya. Kedua pipi Syama, samar terlihat memerah. “Pak Devan lagi dipanggil Dekan. Katanya dia bakal jadi dosen wali jurusan sipil, mengganti Pak Yandi yang pindah. Mungkin dia bakal difokuskan mengurusi beberapa mahasiswa yang... eh... agak bermasalah secara akademik. Kamu tahu sendiri anak teknik di sini kayak gimana.”
Syama hampir tersedak air mineral yang sedang dia minum. “Bermasalah... bagaimana maksudnya, Pak?”
“Ya, mahasiswa yang IPK-nya rendah, sering terlambat, kurang fokus ke akademik. Kamu tahu, lah, setiap angkatan pasti ada beberapa mahasiswa seperti itu.” Pak Hendra menggeleng-geleng kepala. “Mudah-mudahan Pak Devan bisa membantu mereka.”
Syama menahan napas. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Dan sepertinya kekhawatirannya akan menjadi kenyataan.
“Salah satu mahasiswa yang akan dia bimbing itu adikmu, Syima.”
Deg. Jantung Syama berdebar keras. Inilah yang selama ini dia takutkan. Hubungan yang terjalin dengan Devanka selama hampir dua tahun ini masih dirahasiakan. Sekarang kekasihnya itu akan menjadi dosen wali adik kembarnya yang tidak tahu apa-apa tentang hubungan mereka.
“Oh... begitu ya, Pak,” jawab Syama berusaha tenang.
“Iya. Kamu kan kenal karakter adikmu. Mungkin kamu bisa kasih masukan ke Pak Devan tentang cara terbaik mendekati Syima.” Pak Hendra menatap Syama dengan harapan. “Soalnya dari laporan yang saya terima, Syima itu terlalu frontal dalam mengemukakan pendapat, apalagi saat demo. Rektor khawatir nama Universitas akan terbawa-bawa."
Syama tersenyum pahit. Frontal? Itu belum seberapa dibanding dengan sifat sebenarnya. Dan Syama khawatir dengan apa yang akan terjadi jika Syima mengetahui hubungannya dengan Devanka.
“Baik, Pak. Kalau dibutuhkan, saya siap membantu.”
"Bagus. Semoga bisa membuat nilai akademis Syima lebih baik.”
“Tentu, Pak.” Syama mengangguk sambil berusaha menutupi kegugupannya.
Setelah selesai di ruang dosen, Syama berjalan menuju perpustakaan dengan pikiran yang kacau. Dia mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan.
^^^Syama :^^^
^^^Sayang, Pak Hendra bilang kamu jadi dosen wali? Tapi kita perlu bicara. Ada yang harus kamu tahu tentang salah satu mahasiswa bimbinganmu.
^^^
Tidak lama kemudian, balasan masuk.
Devanka :
Hai cinta. Kenapa? Kamu kedengarannya cemas. Btw, udah nggak sabar ya ketemu aku? Sebentar lagi aku selesai, nanti kita ketemu. 😘
Syama menghela napas panjang sebelum kembaki membalas.
^^^Syama :^^^
^^^Ketemu di cafe biasa jam 12 ya. Ada yang penting banget.
^^^
Devanka :
Okay, sayang. Love you.
Syama memasukkan ponselnya dengan perasaan campur aduk. Devanka sudah beberapa kali menyinggung soal melamar dan menikah, apalagi usia Devanka yang sudah menginjak tiga puluh satu tahun. Tapi Syama masih ragu. Ada perasaan yang mengganjal. Dia takut setelah menikah nanti cita-citanya sebagai wanita karir akan tersendat. Bukan hanya itu, bapaknya mungkin tidak menyetujui pernikahan mereka, di saat Syama belum selesai kuliahnya. Makanya dia menjalani hubungan ini sembunyi-sembunyi, karena Ahmad tipe ayah yang tidak suka anaknya berpacaran sebelum selesai sekolah.
Hanya saja, bagaimana kalau Syima tahu dan memberitahu orang tuanya? Bagaimana kalau orang tuanya tidak setuju karena Devanka jauh lebih tua darinya? Dan yang paling menakutkan, bagaimana kalau hubungan profesional Devanka sebagai dosen wali dan Syama sebagai mahasiswi, merusak hubungan pribadi mereka?
Syama duduk di sudut perpustakaan sambil menatap kosong ke halaman kampus, di mana dia tengah memperhatikan kembarannya yang tengah bersenda gurau dengan sahabatnya, Gama. Untuk pertama kalinya, dia merasa tidak yakin dengan masa depan hubungannya dengan Devanka bisa dilanjutkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!