Di salah satu kampus swasta Kota Malang, sudah ramai dengan aktivitas mahasiswa di pagi hari. Syima berjalan dengan langkah cepat menuju gedung Fakultas Teknik Sipil sambil menenteng tas ransel lusuhnya. Wajahnya masih cemberut akibat pertengkaran pagi tadi.
“Syim! Tunggu!”
Syima menoleh dan mendapati Gama, sahabat sekaligus teman satu fakultasnya, berlari kecil mengejarnya. Pemuda tinggi berkulit sawo matang dengan senyum hangat itu terengah-engah ketika sampai di sampingnya.
“Kamu kenapa sih mukanya kayak habis berantem sama dunia?” tanya Gama sambil menyesuaikan langkah dengan Syima.
“Seperti biasa. Habis berantem sama Bapak,” jawab Syima singkat.
“Lagi?” Gama menatap sahabatnya dengan wajah prihatin. “Gara-gara apa kali ini?”
“Hal yang biasa. Nilai jelek, dibandingin sama Syama, masa depan, bla bla bla,” ujar Syima sambil menendang kerikil kecil di jalanan.
Gama berhenti berjalan dan menarik lengan Syima untuk ikut berhenti. “Syim, kamu dengar aku ya. Aku tahu kamu bukan Syama. Kalian berbeda, hanya kebetulan kalian kembar. Tapi apa salahnya kamu jawab iya saja sama bapak, tidak usah berantem terus. Tunjukkan sama Pak Ahmad, kamu punya pribadi yang sama hebatnya kayak Syama.”
“Maksud kamu apa?” tanya Syima dengan nada sinis.
“Kamu berani, tegas, punya empati tinggi sama orang-orang yang tertindas, mau berjuang buat hal-hal yang kamu percayai,” jawab Gama dengan serius. “Kamu ingat tidak waktu SMA dulu, kamu berani demo sendirian waktu kantin sekolah menaikkan harga sembarangan? Atau waktu kamu mengumpulkan sumbangan buat Pak Tono, tukang sapu sekolah yang anaknya sakit?”
Syima tersenyum tipis, pertama kalinya pagi itu. “Itu bukan apa-apa, lagian bapak tidak akan menilai itu.”
“Buat kamu mungkin bukan apa-apa, tapi buat orang-orang yang kamu bantu, itu berarti banget.” Gama menyentuh bahu sahabatnya. “Kamu punya hati yang besar, Syim. Dan kamu punya keberanian buat bicara yang benar meski semua orang tidak setuju. Itu tidak semua orang bisa.”
“Tapi nilai kuliah aku jelek, Gam. IPK cuma dua koma tujuh.”
“Terus kenapa? Hidup itu nggak cuma soal nilai. Einstein pernah bilang, ‘Everybody is a genius, but if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.’” Gama tersenyum lebar. “Kamu itu ikan yang dipaksa memanjat pohon. Makanya kamu merasa bodoh.”
“Jadi menurut kamu, aku itu ikan?” tanya Syima dengan senyum mengejek.
“Ikan yang cantik dan pintar berenang,” sahut Gama sambil tertawa. “Maksud aku, kamu punya kecerdasan yang berbeda. Kamu pintar dalam hal-hal yang nggak bisa diukur sama sistem akademik.”
Mereka melanjutkan perjalanan menuju gedung fakultas sambil mengobrol ringan. Syima tidak menyadari bahwa dari kejauhan, ada seseorang yang memperhatikan mereka berdua dengan tatapan yang sulit diartikan.
***
Di sisi lain kampus, tepatnya di Fakultas Keguruan, Syama berjalan menuju ruang dosen sambil membawa tumpukan berkas penelitian. Sebagai asisten dosen Metodologi Penelitian, dia bertanggung jawab membantu Pak Hendra dalam mempersiapkan materi kuliah dan mengoreksi tugas mahasiswa.
“Selamat pagi, Pak Hendra,” sapa Syama sambil mengetuk pintu ruang dosen.
“Pagi, Syama. Masuk, masuk,” jawab dosen senior berusia lima puluhan itu sambil tersenyum ramah. “Kamu sudah siapkan materi presentasi untuk hari ini?”
“Sudah, Pak. Ini draf slide-nya.” Syama menyerahkan flashdisk dan beberapa lembar kertas. “Saya juga sudah siapkan contoh-contoh kasus penelitian yang menarik buat diskusi mahasiswa.”
“Bagus sekali. Kamu memang bisa diandalkan,” puji Pak Hendra sambil membaca outline presentasi. “Oh iya, kamu ke sini pasti pengen sekalian ketemu yayang ya?” goda Pak Hendra, mengingat Syama telah menjalin hubungan dengan rekan dosennya, Devanka, dosen muda fakultas Teknik.
“Ah, tidak, Pak.” Syama berusaha terlihat biasa saja, padahal jantungnya mulai berdebar.
“Beneran? Padahal tadinya saya mau kasih bocoran dia ada di mana,” Pak Hendra menatap Syama sambil tersenyum menggoda mahasiswinya. Kedua pipi Syama, samar terlihat memerah. “Pak Devan lagi dipanggil Dekan. Katanya dia bakal jadi dosen wali jurusan sipil, mengganti Pak Yandi yang pindah. Mungkin dia bakal difokuskan mengurusi beberapa mahasiswa yang... eh... agak bermasalah secara akademik. Kamu tahu sendiri anak teknik di sini kayak gimana.”
Syama hampir tersedak air mineral yang sedang dia minum. “Bermasalah... bagaimana maksudnya, Pak?”
“Ya, mahasiswa yang IPK-nya rendah, sering terlambat, kurang fokus ke akademik. Kamu tahu, lah, setiap angkatan pasti ada beberapa mahasiswa seperti itu.” Pak Hendra menggeleng-geleng kepala. “Mudah-mudahan Pak Devan bisa membantu mereka.”
Syama menahan napas. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Dan sepertinya kekhawatirannya akan menjadi kenyataan.
“Salah satu mahasiswa yang akan dia bimbing itu adikmu, Syima.”
Deg. Jantung Syama berdebar keras. Inilah yang selama ini dia takutkan. Hubungan yang terjalin dengan Devanka selama hampir dua tahun ini masih dirahasiakan. Sekarang kekasihnya itu akan menjadi dosen wali adik kembarnya yang tidak tahu apa-apa tentang hubungan mereka.
“Oh... begitu ya, Pak,” jawab Syama berusaha tenang.
“Iya. Kamu kan kenal karakter adikmu. Mungkin kamu bisa kasih masukan ke Pak Devan tentang cara terbaik mendekati Syima.” Pak Hendra menatap Syama dengan harapan. “Soalnya dari laporan yang saya terima, Syima itu terlalu frontal dalam mengemukakan pendapat, apalagi saat demo. Rektor khawatir nama Universitas akan terbawa-bawa."
Syama tersenyum pahit. Frontal? Itu belum seberapa dibanding dengan sifat sebenarnya. Dan Syama khawatir dengan apa yang akan terjadi jika Syima mengetahui hubungannya dengan Devanka.
“Baik, Pak. Kalau dibutuhkan, saya siap membantu.”
"Bagus. Semoga bisa membuat nilai akademis Syima lebih baik.”
“Tentu, Pak.” Syama mengangguk sambil berusaha menutupi kegugupannya.
Setelah selesai di ruang dosen, Syama berjalan menuju perpustakaan dengan pikiran yang kacau. Dia mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan.
^^^Syama :^^^
^^^Sayang, Pak Hendra bilang kamu jadi dosen wali? Tapi kita perlu bicara. Ada yang harus kamu tahu tentang salah satu mahasiswa bimbinganmu.
^^^
Tidak lama kemudian, balasan masuk.
Devanka :
Hai cinta. Kenapa? Kamu kedengarannya cemas. Btw, udah nggak sabar ya ketemu aku? Sebentar lagi aku selesai, nanti kita ketemu. 😘
Syama menghela napas panjang sebelum kembaki membalas.
^^^Syama :^^^
^^^Ketemu di cafe biasa jam 12 ya. Ada yang penting banget.
^^^
Devanka :
Okay, sayang. Love you.
Syama memasukkan ponselnya dengan perasaan campur aduk. Devanka sudah beberapa kali menyinggung soal melamar dan menikah, apalagi usia Devanka yang sudah menginjak tiga puluh satu tahun. Tapi Syama masih ragu. Ada perasaan yang mengganjal. Dia takut setelah menikah nanti cita-citanya sebagai wanita karir akan tersendat. Bukan hanya itu, bapaknya mungkin tidak menyetujui pernikahan mereka, di saat Syama belum selesai kuliahnya. Makanya dia menjalani hubungan ini sembunyi-sembunyi, karena Ahmad tipe ayah yang tidak suka anaknya berpacaran sebelum selesai sekolah.
Hanya saja, bagaimana kalau Syima tahu dan memberitahu orang tuanya? Bagaimana kalau orang tuanya tidak setuju karena Devanka jauh lebih tua darinya? Dan yang paling menakutkan, bagaimana kalau hubungan profesional Devanka sebagai dosen wali dan Syama sebagai mahasiswi, merusak hubungan pribadi mereka?
Syama duduk di sudut perpustakaan sambil menatap kosong ke halaman kampus, di mana dia tengah memperhatikan kembarannya yang tengah bersenda gurau dengan sahabatnya, Gama. Untuk pertama kalinya, dia merasa tidak yakin dengan masa depan hubungannya dengan Devanka bisa dilanjutkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments