"Sah."
"Sah."
"Sah."
Tiga kali kata itu terdengar dari mulut para saksi, menggemakan kepastian yang seolah menusuk dada Faizan.
Pria itu memejamkan mata, rahangnya mengeras. Ia menunduk, menyembunyikan riak amarah yang jelas-jelas masih bergejolak di balik ketenangan wajahnya.
Semua tamu terdiam sesaat sebelum akhirnya mulai berbisik-bisik. Tak hanya karena pernikahan yang berlangsung mendadak, tapi juga karena mahar yang diberikan Faizan untuk Alea mencapai angka yang tak masuk akal—lima ratus juta rupiah.
Jumlah yang begitu fantastis untuk seorang gadis yang bahkan tidak diinginkan Faizan sebagai istrinya.
Namun mereka semua tidak tahu, mahar itu bukanlah pemberian tulus dari seorang pria yang jatuh cinta. Itu adalah permintaan dari keluarga Alea. Permintaan yang Faizan penuhi dengan hati yang membara.
Dan kini, pernikahan itu telah mengikat dua insan yang bahkan tidak saling mencintai.
---
Keesokan paginya, langkah Ibu Maisaroh terdengar di lorong rumah besar itu. Ia menuju kamar putranya untuk menemui sang menantu yang baru saja resmi menyandang status istri Faizan.
"Maaf, Bu," ucap seorang pelayan dengan suara lirih. "Dia… tidak mau makan. Sudah saya bujuk berkali-kali, tapi tetap saja diam di atas kasur."
Ibu Maisaroh tersenyum kecil. "Tak apa. Biar aku saja yang menyuruhnya."
Pelayan itu pamit pergi.
Di dalam kamar, Alea duduk di tepi ranjang, berselimut tebal. Wajahnya pucat, matanya bengkak, dan air mata masih sesekali jatuh tanpa suara. Meski hanya mengenakan baju tidur sederhana, kecantikan gadis itu tetap tidak bisa disembunyikan.
"Alea," panggil Ibu Maisaroh pelan. Suaranya begitu hangat. "Sudah waktunya sarapan, Nak."
Alea menoleh. Pandangan matanya kosong, seolah semua tenaga telah disedot dari tubuhnya.
Ibu Maisaroh duduk di sampingnya, menepuk bahunya lembut. "Apa Faizan berbuat kasar padamu?" tanyanya.
Pertanyaan itu memecahkan bendungan emosi yang selama ini ditahan Alea. Gadis itu langsung terisak, memeluk ibu mertuanya erat-erat.
"Maafkan aku, Bu," ucapnya di sela tangis. "Maafkan aku sudah menuduh putra Ibu… melecehkanku."
Ibu Maisaroh mengusap punggungnya penuh kasih. "Ibu sudah tahu semuanya," katanya lembut.
Alea melepaskan pelukan itu, menatap ibu mertuanya dengan mata yang basah. "Aku siap dihukum kapan saja. Bahkan… kalau putra Ibu ingin aku dipenjara, aku akan menerimanya. Tapi… ijinkan aku tinggal di sini beberapa hari saja."
Ibu Maisaroh menghela napas panjang. "Ibu sudah tahu semuanya, Nak. Kemarin, sebelum akad nikah, Ibu sempat mendengar ucapan kakakmu padamu."
"Maafkan kakakku, Bu," ucap Alea lirih, penuh penyesalan.
Ibu Maisaroh hanya tersenyum. "Jangan pedulikan mereka yang tidak menganggapmu. Anggap saja aku ibumu mulai sekarang."
Alea terdiam. Ada kehangatan yang menyusup ke dalam hatinya meski dunia seolah sedang runtuh di sekelilingnya.
"Meski Ibu marah padamu," lanjut Ibu Maisaroh, "tak ada gunanya berlarut-larut dalam amarah. Mungkin memang Allah sudah menakdirkan kau menjadi istri putraku. Siapa kita yang bisa menolak takdir-Nya?"
Air mata Alea kembali jatuh, tapi kali ini disertai rasa haru yang tak bisa ia jelaskan.
---
Alea Ismatul Azalia.
Gadis berusia 21 tahun itu tak pernah menyangka hidupnya akan sekeras ini. Ibunya meninggalkannya saat ia duduk di bangku kelas enam SD. Setelah lulus SMA, ayah yang menjadi satu-satunya sandaran hidupnya pun pergi untuk selamanya.
Tak punya siapa-siapa, Alea akhirnya tinggal bersama kakaknya, Tania Salwa. Mereka memang saudara tiri, dan sejak dulu, Tania selalu membenci Alea.
Bagi Tania, Alea hanyalah sumber masalah. Dengan sifat Alea yang penurut dan pendiam, Tania bisa berbuat apa saja. Ia bahkan menjual adiknya pada pria-pria tak bermoral di desa.
Bukan hanya itu. Tania memperlakukan Alea seperti pembantu di rumahnya sendiri. Makan sekali sehari pun sering kali tidak diberi.
Dan semua penderitaan itu… Alea telan sendiri.
---
Siang itu, Ibu Maisaroh menggandeng Alea ke ruang tengah. Semua mata menoleh.
Faizan sudah duduk di sana, tatapannya tajam menusuk Alea. Gadis itu berhenti melangkah, tubuhnya menegang seketika.
"Ada apa, Alea? Kenapa berhenti?" bisik Ibu Maisaroh.
Alea menggeleng cepat, lalu kembali berjalan.
Dua pengantin baru itu kini duduk berdampingan. Tak ada percakapan. Faizan diam. Alea menunduk, takut memulai pembicaraan.
"Kalian tunggu di sini, ya. Mama mau ambil sesuatu di dapur," ucap Ibu Maisaroh, meninggalkan mereka berdua.
Tak lama, suara riuh terdengar. Beberapa orang dari keluarga besar Faizan berdatangan.
"Assalamualaikum."
Jantung Alea berdegup kencang. Ia menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun.
"Waalaikumsalam," sahut Ibu Maisaroh ramah. "Alhamdulillah, semua sudah datang."
Mereka duduk di sofa. Faizan tetap dingin, tanpa senyuman.
"Faiz," suara seorang tante terdengar. "Ceritakan pada kami. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Tubuh Alea menegang.
Faizan bersandar santai. "Yang sebenarnya… aku tidak melakukan apa pun padanya. Dia yang terobsesi untuk menjadi istriku."
Semua mata langsung menatap Alea.
"Loh, kalau memang kamu tidak melakukannya, kenapa harus menikahinya?"
"Karena tidak ada saksi untuk membuktikan sebaliknya," jawab Faizan datar.
Hening sesaat.
"Sudahlah," potong Ibu Maisaroh akhirnya. "Semua sudah terjadi. Mungkin ini memang ketetapan Allah."
"Jangan bawa-bawa Tuhan, Mbak Yu!" sergah salah satu bibi dengan nada tinggi. "Ini menyangkut nama baik keluarga. Apa kata rekan bisnis kalau tahu Faizan menikahi gadis pel—"
"Jangan teruskan!" Alea berdiri tiba-tiba, suaranya pecah. "Aku bukan pelacur! Permisi!"
Dengan air mata bercucuran, Alea berlari menaiki tangga, meninggalkan semua orang terdiam.
...----------------...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments