NovelToon NovelToon

Aku Bukan Pelacur

Part 1

“Faiz, sedang apa kau berdiri di situ? Ayo, semua tamu undangan sudah menunggu.”

Maisaroh, ibu Faizan, menghampiri putranya yang masih saja berdiri di balkon kamar.

Jas hitam dengan kemeja putih melekat rapi di tubuh tegap Faizan.

“Aku tidak melakukan apa pun padanya, Mah,” kata Faizan lirih, masih menatap pepohonan di kejauhan.

“Mamah tahu, Nak. Tapi kau harus membuktikan pada mereka kalau kau tidak melakukannya malam itu.”

---

Pada malam itu telah terjadi kesalahpahaman besar, yang membuat Faizan harus menikahi seorang gadis yang bahkan tidak ia kenal sama sekali.

Faizan mendengar suara teriakan dari ujung jalan dan menghentikan motor yang ia kendarai. Ia baru saja pulang setelah pengajian di masjid terdekat.

Faizan menoleh karena suara minta tolong itu terdengar jelas dari arah kirinya. Rasa penasaran membuatnya mengarahkan motor ke sumber suara.

“Hey, kau kenapa? Apa yang sudah membuatmu seperti ini?” tanyanya pada seorang gadis yang terbaring di tanah.

Saat hendak membantu gadis itu bangun, tangan Faizan justru ditolak kasar olehnya. Gadis itu menatap Faizan dengan sorot mata penuh ketakutan. Penampilannya acak-acakan: rambut kusut, lengan baju sobek, pipi basah karena air mata.

“Pergi! Jangan sakiti aku!” suara gadis itu bergetar ketakutan.

“Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya me—”

“Tolooong...!” gadis itu berteriak sekeras mungkin, membuat Faizan mundur selangkah. Niat baiknya disalahpahami.

Beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak yang baru selesai pengajian beramai-ramai menghampiri mereka.

Dengan wajah penuh ketakutan, gadis itu menangis tersedu, menatap Faizan dengan ngeri.

“Di... dia mau melecehkan aku. Tolong aku...” rintihnya sambil menunjuk Faizan di hadapan orang-orang yang mulai berkerumun.

Ekspresi Faizan berubah drastis, terkejut mendengar tuduhan itu. Seorang wanita paruh baya berlutut di samping gadis tersebut, berusaha menenangkannya.

Faizan menggeleng, tangannya mengepal kuat menahan amarah.

“Maaf, sebenarnya bukan itu yang terjadi. Aku hanya—”

“Sudahlah, jangan mengelak. Jujur saja, kau sebenarnya mau memperkosa gadis ini, kan?” teriak seorang wanita dari kerumunan.

“Iya! Lihat saja, baju gadis itu sudah sobek. Pasti dia memaksanya!” sahut ibu-ibu yang lain.

“Bapak-bapak, dia harus segera dibawa ke kantor polisi. Dia sudah melakukan pelecehan terhadap gadis ini!” seru seorang wanita dengan tegas.

Di pertigaan, seorang ibu paruh baya yang berjalan bersama teman-temannya terhenti melihat kerumunan itu.

“Ada apa itu ramai-ramai?” tanya seorang temannya.

“Nggak tahu, ayo kita lihat.”

Ibu paruh baya itu—Maisaroh—akhirnya mendekat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat putranya menjadi sasaran tuduhan.

“Ada apa ini? Kenapa putra saya diseret-seret begini?” protesnya.

Faizan memegang tangan ibunya. “Ada apa ini, Faiz? Apa yang terjadi?” tanya Maisaroh.

“Mereka salah paham, Mah. Mereka kira aku melecehkannya.”

“Astaghfirullah...” ucap Maisaroh lirih.

“Halaaah... tidak usah sok alim, Bu! Masa iya, ibunya ustadzah, anaknya melecehkan seorang gadis?” sindir seorang wanita.

“Tutup mulutmu! Sudah kubilang, aku tidak pernah melecehkannya! Menyentuhnya pun tidak!” tegas Faizan, wajahnya memerah menahan emosi.

Ucapan-ucapan penuh fitnah terus menghujani mereka. Maisaroh hanya bisa menahan sedih; dia tahu putranya tidak akan melakukan hal serendah itu.

“Ayo, Mah. Kita pulang.” Faizan menggandeng tangan ibunya.

“Hey! Jangan lari dari tanggung jawab, Faizan!” teriak seorang pria paruh baya, membuat langkah mereka terhenti.

Maisaroh menatap kerumunan dengan wajah tegang. Setelah menarik napas panjang, ia memberi keputusan mengejutkan:

“Baiklah. Putra saya, Faizan, akan bertanggung jawab pada gadis ini.”

Faizan menatap ibunya, ekspresinya tak percaya.

“Mah, aku nggak melakukan apa-apa. Aku hanya ingin menolongnya saat dia berteriak minta tolong,” suaranya tercekat.

“Apa kau punya bukti bahwa kau tidak melakukan itu, Nak?” tanya Maisaroh dengan nada tegas.

“Mamah nggak percaya pada anak sendiri?” Faizan terlihat kecewa.

“Mamah percaya, Faiz. Sangat percaya,” balas Maisaroh lembut. “Tapi tanpa bukti, kita akan menanggung malu seumur hidup. Pikirkan reputasi Mama, juga perusahaanmu. Pikirkan itu.”

“Tidak perlu mendengarkan ucapan mereka, Mah,” Faizan mulai frustrasi.

“Itu menurutmu. Tapi Mama memikirkan nama baik kita ke depannya.”

Maisaroh menatap gadis yang masih ketakutan, lalu bersuara tegas di hadapan semua orang:

“Baiklah! Putra saya akan menikahi gadis ini. Dia akan bertanggung jawab sepenuhnya.”

Faizan berdiri kaku. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras, napasnya tersengal menahan emosi. Tatapannya menusuk ke arah gadis itu, yang menunduk ketakutan setelah menuduhnya.

Dengan suara bergetar menahan marah, Faizan berbisik lirih:

“Gadis murahan... pelacur tidak berguna...”

***

Bersambung...

****************

Assalamualaikum, haaay semuanya para pembaca setiaku... Miss Ra hadir lagi dengan cerita baru. Mohon dukungannya yaaa... Cerita ini Miss Ra buat dengan memutar otak keras yaa...

Jangan lupa kasih jempol dan komentar baiknya, pantengin terus kisah cerita *Aku Bukan Pelacur*

Oke selamat membaca semuanya, semoga suka dengan ceritanya. Iloveu sekebon buat kalian semua, sampai jumpa di Up selanjutnya yaa...

See You.

Part 2

"Sah."

"Sah."

"Sah."

Tiga kali kata itu terdengar dari mulut para saksi, menggemakan kepastian yang seolah menusuk dada Faizan.

Pria itu memejamkan mata, rahangnya mengeras. Ia menunduk, menyembunyikan riak amarah yang jelas-jelas masih bergejolak di balik ketenangan wajahnya.

Semua tamu terdiam sesaat sebelum akhirnya mulai berbisik-bisik. Tak hanya karena pernikahan yang berlangsung mendadak, tapi juga karena mahar yang diberikan Faizan untuk Alea mencapai angka yang tak masuk akal—lima ratus juta rupiah.

Jumlah yang begitu fantastis untuk seorang gadis yang bahkan tidak diinginkan Faizan sebagai istrinya.

Namun mereka semua tidak tahu, mahar itu bukanlah pemberian tulus dari seorang pria yang jatuh cinta. Itu adalah permintaan dari keluarga Alea. Permintaan yang Faizan penuhi dengan hati yang membara.

Dan kini, pernikahan itu telah mengikat dua insan yang bahkan tidak saling mencintai.

---

Keesokan paginya, langkah Ibu Maisaroh terdengar di lorong rumah besar itu. Ia menuju kamar putranya untuk menemui sang menantu yang baru saja resmi menyandang status istri Faizan.

"Maaf, Bu," ucap seorang pelayan dengan suara lirih. "Dia… tidak mau makan. Sudah saya bujuk berkali-kali, tapi tetap saja diam di atas kasur."

Ibu Maisaroh tersenyum kecil. "Tak apa. Biar aku saja yang menyuruhnya."

Pelayan itu pamit pergi.

Di dalam kamar, Alea duduk di tepi ranjang, berselimut tebal. Wajahnya pucat, matanya bengkak, dan air mata masih sesekali jatuh tanpa suara. Meski hanya mengenakan baju tidur sederhana, kecantikan gadis itu tetap tidak bisa disembunyikan.

"Alea," panggil Ibu Maisaroh pelan. Suaranya begitu hangat. "Sudah waktunya sarapan, Nak."

Alea menoleh. Pandangan matanya kosong, seolah semua tenaga telah disedot dari tubuhnya.

Ibu Maisaroh duduk di sampingnya, menepuk bahunya lembut. "Apa Faizan berbuat kasar padamu?" tanyanya.

Pertanyaan itu memecahkan bendungan emosi yang selama ini ditahan Alea. Gadis itu langsung terisak, memeluk ibu mertuanya erat-erat.

"Maafkan aku, Bu," ucapnya di sela tangis. "Maafkan aku sudah menuduh putra Ibu… melecehkanku."

Ibu Maisaroh mengusap punggungnya penuh kasih. "Ibu sudah tahu semuanya," katanya lembut.

Alea melepaskan pelukan itu, menatap ibu mertuanya dengan mata yang basah. "Aku siap dihukum kapan saja. Bahkan… kalau putra Ibu ingin aku dipenjara, aku akan menerimanya. Tapi… ijinkan aku tinggal di sini beberapa hari saja."

Ibu Maisaroh menghela napas panjang. "Ibu sudah tahu semuanya, Nak. Kemarin, sebelum akad nikah, Ibu sempat mendengar ucapan kakakmu padamu."

"Maafkan kakakku, Bu," ucap Alea lirih, penuh penyesalan.

Ibu Maisaroh hanya tersenyum. "Jangan pedulikan mereka yang tidak menganggapmu. Anggap saja aku ibumu mulai sekarang."

Alea terdiam. Ada kehangatan yang menyusup ke dalam hatinya meski dunia seolah sedang runtuh di sekelilingnya.

"Meski Ibu marah padamu," lanjut Ibu Maisaroh, "tak ada gunanya berlarut-larut dalam amarah. Mungkin memang Allah sudah menakdirkan kau menjadi istri putraku. Siapa kita yang bisa menolak takdir-Nya?"

Air mata Alea kembali jatuh, tapi kali ini disertai rasa haru yang tak bisa ia jelaskan.

---

Alea Ismatul Azalia.

Gadis berusia 21 tahun itu tak pernah menyangka hidupnya akan sekeras ini. Ibunya meninggalkannya saat ia duduk di bangku kelas enam SD. Setelah lulus SMA, ayah yang menjadi satu-satunya sandaran hidupnya pun pergi untuk selamanya.

Tak punya siapa-siapa, Alea akhirnya tinggal bersama kakaknya, Tania Salwa. Mereka memang saudara tiri, dan sejak dulu, Tania selalu membenci Alea.

Bagi Tania, Alea hanyalah sumber masalah. Dengan sifat Alea yang penurut dan pendiam, Tania bisa berbuat apa saja. Ia bahkan menjual adiknya pada pria-pria tak bermoral di desa.

Bukan hanya itu. Tania memperlakukan Alea seperti pembantu di rumahnya sendiri. Makan sekali sehari pun sering kali tidak diberi.

Dan semua penderitaan itu… Alea telan sendiri.

---

Siang itu, Ibu Maisaroh menggandeng Alea ke ruang tengah. Semua mata menoleh.

Faizan sudah duduk di sana, tatapannya tajam menusuk Alea. Gadis itu berhenti melangkah, tubuhnya menegang seketika.

"Ada apa, Alea? Kenapa berhenti?" bisik Ibu Maisaroh.

Alea menggeleng cepat, lalu kembali berjalan.

Dua pengantin baru itu kini duduk berdampingan. Tak ada percakapan. Faizan diam. Alea menunduk, takut memulai pembicaraan.

"Kalian tunggu di sini, ya. Mama mau ambil sesuatu di dapur," ucap Ibu Maisaroh, meninggalkan mereka berdua.

Tak lama, suara riuh terdengar. Beberapa orang dari keluarga besar Faizan berdatangan.

"Assalamualaikum."

Jantung Alea berdegup kencang. Ia menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun.

"Waalaikumsalam," sahut Ibu Maisaroh ramah. "Alhamdulillah, semua sudah datang."

Mereka duduk di sofa. Faizan tetap dingin, tanpa senyuman.

"Faiz," suara seorang tante terdengar. "Ceritakan pada kami. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Tubuh Alea menegang.

Faizan bersandar santai. "Yang sebenarnya… aku tidak melakukan apa pun padanya. Dia yang terobsesi untuk menjadi istriku."

Semua mata langsung menatap Alea.

"Loh, kalau memang kamu tidak melakukannya, kenapa harus menikahinya?"

"Karena tidak ada saksi untuk membuktikan sebaliknya," jawab Faizan datar.

Hening sesaat.

"Sudahlah," potong Ibu Maisaroh akhirnya. "Semua sudah terjadi. Mungkin ini memang ketetapan Allah."

"Jangan bawa-bawa Tuhan, Mbak Yu!" sergah salah satu bibi dengan nada tinggi. "Ini menyangkut nama baik keluarga. Apa kata rekan bisnis kalau tahu Faizan menikahi gadis pel—"

"Jangan teruskan!" Alea berdiri tiba-tiba, suaranya pecah. "Aku bukan pelacur! Permisi!"

Dengan air mata bercucuran, Alea berlari menaiki tangga, meninggalkan semua orang terdiam.

...----------------...

Bersambung...

Part 3

Malam itu, udara terasa menusuk tulang. Di taman belakang yang remang, Alea duduk memeluk dirinya sendiri. Matanya bengkak, wajahnya pucat, bibirnya bergetar—tanda ia sudah terlalu lama menangis. Hatinya serasa diremas-remas, tapi ia tak punya tempat untuk melarikan diri.

Langkah pelan Ibu Maisaroh berhenti tak jauh dari sana. Tatapan matanya lembut melihat sang menantu yang tampak hancur. Perlahan, beliau duduk di samping Alea.

“Kenapa masih di sini, Nak? Sudah malam… pergilah ke kamar suamimu,” ucapnya lembut. Suaranya bagai hembusan angin menenangkan di tengah badai.

Alea menoleh ragu. “Apa… apa aku pantas tidur satu ruangan dengannya, Bu?”

Ibu Maisaroh menarik napas panjang. “Faiz sudah jadi suamimu. Selama kau istrinya, kamarnya juga rumahmu. Jangan takut, Nak. Faiz itu anak yang baik… hanya saja hatinya sedang tertutup.”

“Tapi, Bu…” Alea mencoba bicara, namun Ibu Maisaroh memotongnya dengan suara penuh keyakinan.

“Percayalah. Jika kau sabar, Faiz akan luluh juga suatu hari nanti.”

Dengan perlahan, Ibu Maisaroh menggandeng tangan Alea, menuntunnya menaiki tangga menuju kamar Faizan.

 

Pintu kamar terbuka. Suasana sepi menyambut mereka—hanya cahaya remang dan angin malam yang berhembus dari balkon.

“Masuklah. Ibu tinggal dulu,” ucap Ibu Maisaroh dengan senyum menenangkan, lalu pergi meninggalkan Alea di ambang pintu.

Alea memandang jam di dinding. Hampir pukul satu dini hari. Dengan langkah ragu, ia menutup pintu, lalu berjalan perlahan mendekati balkon.

Dan di sanalah Faizan berdiri: tegap, diam, memandangi langit malam.

Lalu suara itu keluar—dingin, datar, tapi tajam seperti belati.

“Tidak pernah aku sangka… kejadian malam itu membuatku menikahi seorang pelacur.”

Dunia Alea seakan runtuh.

Kata-kata itu menembus jantungnya. Ia terpaku, tubuhnya kaku. Air mata mengalir tanpa izin. Ia ingin membela diri, ingin bicara, tapi tenggorokannya terasa tersumbat.

Tanpa suara, ia berbalik dan berbaring di atas ranjang. Bantal di bawah pipinya basah dalam sekejap.

Sementara Faizan tak sengaja menatapnya dari balkon, matanya penuh kemarahan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti arah sumbernya.

"Apa-apaan ini...?! Berani sekali dia tidur di ranjangku...?!" melihat Alea di ranjang membuat darah Faizan mendidih. Dengan langkah lebar, ia keluar dari kamar, menuruni tangga menuju kamar ibunya.

“Mah!” suaranya terdengar di balik pintu, sedikit keras.

Ibu Maisaroh membuka pintu. Faizan masuk tanpa menunggu izin, wajahnya tegang.

“Kenapa wajahmu begitu, Nak?” tanya sang ibu pelan.

“Bagaimana Faiz bisa tidur satu kamar dengan dia? Faiz benci dia, Mah!” suaranya pecah, sarat amarah.

Ibu Maisaroh menatap anaknya dengan tenang. “Faiz, dia istrimu. Kau menikahinya di hadapan Tuhan dan sah secara negara. Hargai dia.”

“Dia itu… pelacur, Mah!” suara Faizan meninggi. “Dia bukan gadis baik-baik!”

“Faiz!” tegur sang ibu, nada suaranya mulai mengeras. “Jaga ucapanmu!”

Di luar kamar, Alea berdiri mematung. Ia mendengar semuanya. Setiap kata Faizan bagai palu godam menghantam hatinya.

Setelah percakapan di depan kamar, Faizan melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Pintu ditutup dengan keras, meninggalkan jejak amarah yang masih membara di wajahnya.

Tak lama kemudian, Ibu Maisaroh menyusul. Ia masuk tanpa mengetuk, wajahnya menahan emosi, namun nada suaranya tetap tegas dan terkontrol.

“Faiz, dengarkan Mama bicara,” ucapnya lantang.

Faizan yang sedang duduk di kursi kerjanya menatap sang ibu penuh frustrasi. “Mah, Faiz tidak mengerti jalan pikiran Mama. Bagaimana Mama bisa memaksa Faiz hidup satu atap dengan perempuan itu?”

“Perempuan itu adalah istrimu, Faiz,” potong Ibu Maisaroh, tatapannya menusuk.

“Faiz sudah menyuruh Dio menyelidiki dia,” balas Faizan, nadanya meninggi. “Dia bukan gadis baik-baik, Mah! Dia juga tidak pantas berada di keluarga kita.”

“Mama tidak percaya,” ujar Ibu Maisaroh dengan suara tegas, nyaris tak memberi celah.

Faizan mengepalkan tangan, berusaha menahan emosi. “Mah, harus pakai bahasa apa Faiz bicara? Dia itu… bekas orang banyak, Mah! Faiz bahkan tidak pernah menyentuh seorang wanita sekalipun, apalagi memperkosanya seperti yang dia tuduhkan. Dia itu—”

“Cukup, Faiz!” bentak Ibu Maisaroh tiba-tiba, membuat Faizan terdiam seketika. Suara ibunya kali ini bagaikan petir yang memecah langit malam.

Ibu Maisaroh melangkah maju, berdiri tepat di hadapan putranya. Sorot matanya bergetar, antara marah dan kecewa.

“Mama tidak mau lagi mendengar kamu menyebut Alea seorang pelacur,” suaranya bergetar, tapi penuh wibawa. “Kamu tahu apa tentang hidupnya? Dia hanya korban, Faiz. Korban dari kakaknya sendiri yang menjualnya demi uang. Tidak ada seorang gadis pun yang ingin dicap dengan status hina seperti itu.”

Faizan menunduk. Kata-kata ibunya mulai mengguncang tembok amarah yang ia bangun selama ini.

“Mama membesarkanmu dengan cinta dan kasih sayang, Faiz. Apa hatimu begitu keras sampai tidak bisa melihat kebenaran? Alea sudah cukup menderita. Jangan tambah bebannya dengan ucapanmu.”

Hening. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Ibu Maisaroh menarik napas panjang, lalu mengucapkan keputusannya dengan suara bulat.

“Mama sudah memutuskan. Bulan depan, kita akan mengadakan resepsi pernikahanmu dengan Alea di Hotel X. Ini bukan permintaan, Faiz. Ini keputusan.”

Faizan menatap ibunya tak percaya. “Mah…”

“Cukup!” Ibu Maisaroh memotong ucapannya. “Kamu boleh membencinya sekarang. Kamu boleh menolak seribu kali. Tapi ingat, Faiz, di mata Tuhan dan negara, dia adalah istrimu. Dan selama Mama masih hidup, Mama tidak akan membiarkan menantu Mama diperlakukan seperti ini.”

Tanpa menunggu jawaban, Ibu Maisaroh berbalik dan meninggalkan ruang kerja. Suara pintu yang tertutup perlahan meninggalkan Faizan sendiri, tenggelam dalam amarah, kebingungan, dan rasa bersalah yang samar mulai muncul di hatinya.

...----------------...

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!