"Aku ... baru saja menyadari sesuatu."
"Apa?" tanya Dean penasaran. Posisi mereka masih di dalam lemari, dengan telapak tangan Suri berdiam di dada Dean.
"Ini." Suri menepuk-nepuk dada Dean menggunakan kedua tangannya. Dean masih tampak tidak mengerti. Terlihat dari kerutan di dahinya yang semakin banyak.
"Aku bisa menyentuhmu, Dean. Kau juga bisa menyentuhku," jelasnya.
Sudah begitu pun, Dean masih kelihatan loading.
Suri berdecak pelan. "Ini tidak wajar!" sentaknya. "Kau hantu dan aku manusia. Bagaimana bisa kita berkontak fisik seperti ini?"
Meski akan kedengaran tolol atau tidak masuk akal, sejujurnya Suri berharap Dean membual soal kekuatan super. Katakan saja bahwa kemampuan Suri tidak hanya sekadar bisa melihat dan mendengar hantu, tapi juga bisa menyentuhnya. Tapi Dean malah mengatakan sesuatu yang membuat Suri kesal.
"Mungkin karena yang di atas? Karena kita punya koneksi?"
Mendengar nama yang di atas itulah yang membuat Suri kesal. Dia masih tidak terima yang di atas menunjuknya secara sepihak untuk membantu Dean, lalu memberikan konsekuensi berat jika misinya gagal. Tidak adil. Suri tidak pernah sign kontrak dengan yang di atas!
Kekesalan Suri yang besar memancingnya bertindak bar-bar. Ia mendorong tubuh Dean sampai terjengkang keluar dari lemari, kemudian dia berjalan santai mendahului. Dean menyusul tak lama kemudian.
Untuk beberapa lama, Suri hanya berdiri diam di sisi ranjang dekat kaki kekasih Dean. Tangannya terlipat di depan dada. Matanya mengamati.
Dari ujung kepala, Suri mencoba merekonstruksi sendiri fitur-fitur di wajah kekasih Dean yang tidak bisa ia lihat secara langsung. Visual yang muncul di kepalanya luar biasa. Dahi sempit, mata almond berhias bulu mata lentik alami, alis tipis rapi tanpa bubuhan tinta sulam, hidung kecil nan tinggi, juga bibir merah merona tanpa pewarna.
Ia lalu beralih pada Dean, menguliti penampilannya dari ujung kepala sampai kaki. Waktu pertama kali melihat pria itu, Suri kira Dean adalah korban pembunuhan yang dibuang ke jurang. Atau anak magang mencari pekerjaan tetap yang disingkirkan oleh rekan sejawat, mungkin karena terlalu jujur tak bisa diajak menguntit uang rakyat.
Setelah melihat betapa mewah fasilitas di kamar rawat kekasihnya, Suri kini mengerti Dean tidak berasal dari keluarga sembarangan. Karena bahkan untuk seseorang yang tidak memiliki ikatan darah, mereka rela merogoh kocek begitu dalam agar kekasih Dean selamat. Padahal Dean sendiri sudah mati. Mereka bisa saja tinggalkan perempuan ini.
"Aku harus apa sekarang?" tanyanya. Pandangannya sudah tidak lagi tertuju pada Dean, kini gantian fokus pada jemari lentik kekasih Dean yang kukunya dipotong rapi.
Ah, bahkan sampai urusan kuku pun diperhatikan dengan baik. Beruntungnya perempuan ini.
"Coba ajak dia mengobrol lagi."
Suri melirik antagonis, namun tetap setuju melakukan apa yang Dean minta. Dia kembali duduk di kursi samping ranjang, kedua tangan dan kaki menyilang. Punggungnya bersandar santai, posisi duduknya sedikit menyerong ke kanan.
"Kipas angin di ruang kelasku mati," ujarnya tanpa tedeng aling-aling. Melihat segala fasilitas jempolan di kamar rawat ini, yang muncul pertama kali di kepala Suri adalah kipas angin di ruang kelasnya yang bobrok. Keadaannya sangat kontras. Tak cukup hanya menimbulkan rasa iri, tapi juga kekesalan yang bercokol di tenggorokan.
Tidak, Suri bukan kesal pada kekasih Dean yang tidak tahu apa-apa. Dia hanya kesal karena harus terjebak situasi menyebalkan.
Dean, sudah kembali memosisikan diri di belakangnya, tampak tidak menduga TMI itu akan jadi topik pembicaraan yang Suri bawa.
"Ketua kelas bodoh dan bendahara pemalas itu sama-sama tidak becus bekerja," kesalnya, "Kau tahu tidak? Semua hal jadi berantakan sejak mereka berpacaran. Memang dasar anak-anak menyebalkan."
Di sana, Suri memanfaatkan kesempatan untuk menumpahkan unek-unek yang dia simpan seharian. Dean bilang dia boleh bicara apa pun. Asal suaranya terus terdengar, akan menambah kemungkinan kekasihnya merespons.
"Teman-temanku juga mulai tidak asik. Mereka merencanakan banyak hal tanpa mengajak aku. Ketika aku mencoba masuk ke dalam percakapan, mereka seolah menganggap aku tidak ada."
Suri kembali mengingat kejadian di kelas siang tadi. Saat teman-temannya membicarakan soal festival lilin di universitas. Jelas-jelas ada kuota untuk tiga orang, tapi temannya sama sekali tidak menggubris saat Suri bilang ingin ikut. Padahal biasanya mereka selalu pergi bertiga.
"Aku juga pernah koma sepertimu, tapi hanya sebentar," kata Suri lagi, "Ah, mungkin karena itu teman-temanku mulai berubah. Mereka mungkin mulai menjalani hidup dengan berbeda ketika aku absen dari kehidupan mereka untuk sementara."
Di belakang, Dean mendengarkan dengan serius. Raut wajahnya beberapa kali berubah. Riaknya begitu kentara, hanya jika Suri bisa melihatnya.
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, kau tahu?" Suri menurunkan kakinya, sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kubilang, aku juga pernah koma sepertimu, lalu bisa bangun dan beraktivitas seperti biasa. Jadi, kau pun bisa. Hanya...." Ia menjeda sejenak, sekadar menghempaskan kembali punggungnya ke kursi. "Berharap saja tidak memiliki kemampuan untuk melihat hantu setelah kau bangun nanti."
Setelahnya, hening merayap diam-diam. Suri putar otak. Mencari topik pembicaraan lain agar suasana tidak semakin senyap.
"Ah, sebenarnya, ada untungnya juga bisa melihat hantu," katanya.
Suri menoleh pada Dean, tersenyum miring. "Aku jadi bisa bertemu dengan kekasihmu yang tampan."
Dean tidak memberikan reaksi apa pun. Suri menganggapnya tidak asik. Jadi dia kembali berdecak sebelum membalikkan badan lagi.
"Kuharap kau segera bangun," ujarnya lagi. "Bangun, lalu beritahu aku kiat-kiat untuk bertemu pria setampan Dean, yang seluruh anggota keluarganya juga akan mencintaiku. Kudengar, kita para perempuan ini cenderung lebih sulit diterima di keluarga pria, kan? Tapi kau bisa melakukannya. Mereka bahkan...." Suri menjeda lagi, hanya untuk mengitarkan pandangan ke seluruh sudut kamar rawat.
"Mereka bahkan tidak ragu mengeluarkan banyak uang untuk merawatmu. Mereka ingin kau bangun lagi. Ingin kau kembali hidup seperti dulu, meski sudah tidak ada lagi Dean di sisi. Maka dari itu, bangunlah. Bangun dan tunjukkan rasa terima kasihmu kepada mereka karena sudah memperlakukanmu dengan baik."
Suri mengembuskan napas berat setelah kata-katanya tumpah. Tak ada jawaban. Hanya detak jam dan suara mesin medis yang mengisi ruangan.
Di belakangnya, Dean berdiri kaku. Bahunya merosot, wajahnya dipenuhi gurat sedih yang bahkan Suri tidak sempat lihat. Kedua matanya menatap kekasihnya lama sekali, seakan ingin berkata banyak hal, tapi bibirnya terkunci rapat.
Suri kembali duduk bersandar, pura-pura santai, padahal tenggorokannya terasa kering. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba mengendap di dadanya.
Hening semakin panjang—sampai akhirnya, nyaris hanya seperti bisikan, suara Dean pecah di udara.
“…Suri.”
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments