Konsekuensi

"Lebih dari itu ... apa yang akan terjadi? Padamu? Pada kekasihmu? Pada ... padaku?"

Dean menunduk sejenak, terlihat semakin serius. Raut murungnya yang sempat menghilang kini kembali, menyelimuti wajahnya seperti kabut malam yang pelan-pelan menelan cahaya bulan.

"Jika kita gagal membuat kekasihku bangun dalam 49 hari ke depan," ucapnya lirih, "aku akan terjebak selamanya di sini, menjadi arwah gentayangan dengan rasa bersalah yang tak pernah hilang."

Suri menahan napas.

Dean melanjutkan dengan suara yang lebih berat. "Kekasihku mungkin akan masuk ke fase mati otak. Dia hanya akan mengandalkan alat-alat medis untuk menopang kehidupannya, jadi ketika tim dokter menyerah dan memutuskan melepas alat-alat medis itu ... dia akan mati juga tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kami."

Ia menoleh, menatap Suri dengan sorot mata yang intens dan tampak sedih. Udara di sekitar mereka terasa lebih pekat, terasa mencekik dan membuat pengap.

"Lalu kau..." Dean menjeda cukup lama. Seakan sengaja membiarkan ketegangan membesar dengan sendirinya.

Suri mulai gelisah. Suaranya naik satu oktaf ketika bertanya. "Apa? Apa yang akan terjadi padaku, Dean?"

"Kau akan hidup dalam ketakutan selamanya, Suri," kata Dean pelan, "karena setelah gagal, semua hantu yang kau lihat akan muncul dalam keadaan paling buruk."

"Kenapa begitu?!" seru Suri, "Kenapa aku juga mendapatkan konsekuensi yang berat, padahal aku hanya membantumu?"

Dean hanya mengedik.

"Kalau begitu, jangan aku," kata Suri cepat, panik setengah mati. "Cari orang lain untuk membantumu, Dean."

"Tidak bisa, Suri."

"Kenapa tidak bisa?" desaknya.

"Yang di atas menunjukmu," jawab Dean mantap. "Aku tidak akan tiba-tiba datang padamu jika bukan karena petunjuk darinya."

Suri memicingkan mata, tatapannya menajam. "Yang di atas? Siapa? Tuhan? Malaikat maut," cerocosnya, kewarasannya mulai sedikit terganggu. "Bisakah kau pertemukan aku dengannya? Aku akan bernegosiasi!"

"Suri," Dean menyela. Tatapannya berubah prihatin. "Tidak ada yang bisa kau lakukan dengan hal itu. Dia ingin kau membantuku. Lagi pula, kau sudah setuju."

Keteguhan Dean membuat Suri mendadak curiga. "Kau yakin ini kehendaknya? Bukan karanganmu semata supaya aku setuju untuk membantu?" selidik Suri.

Dean menaikkan sebelah alisnya, lalu membalas, "Kau ingin membuktikan konsekuensinya sendiri? Boleh-boleh saja."

Suri terdiam, seperti mendadak disodori buah simalakama.

"Jangan bersikap seolah-olah kita akan gagal, Suri yang manis." Dean berucap lembut. Untuk pertama kalinya, dia berani mendekat pada Suri, duduk di sebelahnya. "Jika bisa bekerja sama dengan baik, kita semua akan aman."

Meski begitu, Suri tetap ragu. Ini kali pertama dia membantu hantu. Kali pertama ketenangan hidupnya dipertaruhkan untuk sesuatu yang—seharusnya tidak berkaitan dengannya sejak awal.

Tapi kata Dean, yang di atas sudah menunjuknya secara langsung!

"Tidak akan ada hal buruk yang terjadi selama kau percaya padaku," kata Dean. "Kita bisa menjadi partner yang keren, Suri."

Suri melirik sebal sambil mendengus. Gara-gara hal ini, ketampanan Dean jadi berkurang seribu kali lipat. Sial, kenapa Suri harus bangun dengan kemampuan melihat hantu?!

...🍃🍃🍃🍃🍃...

Memikirkannya saja sudah membuat Suri kesal. Apalagi kalau sampai ia benar-benar harus hidup selamanya dengan dikelilingi hantu-hantu buruk rupa? Rasanya lebih baik dia ikut Dean saja, mati, lalu pergi ke neraka.

Malam sudah semakin larut, namun Suri tak kunjung bisa tidur. Bukan hanya soal Dean dan misi konyolnya, tapi juga eksistensi Claire yang tidak pernah absen menyambangi dirinya.

Suri menarik selimut yang membungkus seluruh tubuh sampai ke kepala. Kepalanya menoleh cepat, memusatkan perhatian pada sosok Claire. Hantu itu sudah nangkring di atas lemari pakaian di pojok kamarnya, seperti biasa. Rambutnya jatuh terjuntai, menutupi seluruh wajahnya sehingga yang bisa Suri tangkap dari keberadaannya hanyalah suara tangis yang mendayu-dayu. Lirih, mengiris hati.

Biasanya, Suri masih punya energi untuk meladeni Claire. Dia akan duduk di meja belajar, lalu mulai bertanya apa kiranya yang membuat Claire selalu menangis—meski ujungnya tidak pernah dijawab. Malam ini, Suri kehabisan kesabaran.

"Diam!" sentaknya.

Kepala Claire terangkat sedikit, tangisnya terjeda sejenak. Mata merah di balik juntaian rambut legam Claire mengintip dengan sorot tajam. Suri harusnya merinding, tapi malam itu kekesalannya sudah sampai di ubun-ubun sehingga yang ia lakukan adalah menatap balik (dengan lebih galak).

"Aku sedang pusing, jadi tolong jangan berulah," ucapnya tegas.

Claire tidak menjawab, seperti yang sudah-sudah. Tangisnya hanya terjeda sebentar, lalu kembali mengudara seakan Suri tidak pernah memperingatkannya untuk berhenti.

Kesal, Suri menendang selimutnya hingga jatuh ke lantai. Ia duduk tegak di kasur, mengacungkan tangan. "Kubilang diam!" serunya. "Turun sekarang juga! Mulai malam ini kau dilarang nongkrong di sana lagi!"

Mula-mulanya, Claire tidak mau mendengarkan. Gadis bergaun merah itu tetap saja menangis. Semakin lama suara tangisannya membuat telinga Suri pengang. Kepalanya berdenyut hebat, rasanya seperti mau pecah.

Suri menutup telinga dengan kedua tangan, memejamkan mata sejenak. Namun suara tangis Claire masih saja bisa menerobos masuk melalui celah-celah kecil jemarinya.

Akhirnya, karena tidak punya pilihan lain, Suri turun dari kasur. Sebuah buku tebal disambarnya dari meja belajar, dilemparkan dengan kekuatan penuh pada sosok Claire di atas lemarinya.

Claire adalah hantu, wujudnya tidak solid, hanya bisa Suri lihat karena kemampuan spesialnya. Jadi, ia tidak heran saat buku tebal yang dilempar malah berakhir nyangkut di atas lemari. Akan sulit mengambilnya kembali, maka Suri semakin kesal.

"Akan aku hitung sampai tiga," ancamnya. "Jika dalam hitungan ketiga kau tidak berhenti menangis dan turun dari sana, aku bersumpah akan membawa pendeta ke sini besok. Akan aku pastikan kau diusir ke neraka!"

Rupanya berhasil. Claire agaknya takut masuk neraka, atau mungkin sekadar enggan diusir dari rumah yang sudah ia huni mungkin untuk belasan tahun lamanya. Tidak berapa lama setelah Suri berucap, tangis Claire berhenti. Gadis itu lalu mengangkat kepala. Wajahnya kini terlihat oleh Suri, tampak pucat, sorot matanya berubah sedih.

"Turun sekarang juga." Suri memerintahkan kembali.

Claire tidak beranjak dari tempatnya selama beberapa detik. Yang gadis itu lakukan hanyalah menatap Suri begitu intens. Seperti tidak ada hari esok untuk melakukannya lagi.

"Claire," Suri mulai menggeram. Tangannya terkepal erat di samping tubuh. "Cepat turun sebelum emosiku meledak dan menghancurkan tubuhmu jadi berkeping-keping."

Claire akhirnya menurut. Dia melompat dengan gerakan yang halus, mendarat sempurna di lantai kamar Suri. Namun lagi-lagi, gadis itu berhenti di hadapan Suri dan kembali menatapnya.

"Aku lelah," keluh Suri.

Entah betulan mengerti atau mulai iba karena wajah Suri terlalu menyedihkan, Claire pun beranjak. Ketika melewati tubuh Suri, ia berkata, "Tapi, Suri. Kau tidak pernah benar-benar berniat untuk tahu kenapa aku menangis." Kemudian sosoknya perlahan memudar sampai akhirnya hilang total.

Kepala Suri yang rasanya berisik sekali membuatnya tak menggubris ucapan Claire. Usai tak melihat eksistensi gadis merah itu, Suri kembali naik ke kasur. Selimutnya dipungut dan dipakai membungkus seluruh tubuhnya lagi. Matanya dipaksa terpejam. Entah bagaimana pun caranya, dia harus segera tidur.

Dean sialan. Buat apa tampan kalau menyusahkan?

Bersambung.....

Terpopuler

Comments

Cecilia 👶

Cecilia 👶

apa suri ada kaitan dg kecelakaan makanya dean minta tolong ke dia ? terus para hantu sebelumnya jg apa ada hubungan ?

2025-09-04

1

Zenun

Zenun

nyang sabar ya Suri😁

2025-09-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!