Kontak

Ketika ujung telunjuk Suri berhasil menyentuh lengan kekasih Dean, ada sensasi kejut seperti tersengat aliran listrik. Hal itu membuat Suri secara refleks menarik tangannya menjauh. Detak jantungnya meningkat secara signifikan dalam waktu singkat. Mual terasa sampai pangkal tenggorokan.

"Kenapa, Suri?" Dean bertanya dengan nada khawatir.

Suri memutar tubuh, mendongak menatap Dean sungguh-sungguh. "Sakit," adunya, "rasanya seperti saat aku tidak sengaja memasukkan jariku ke dalam stop kontak, tapi ini lima kali lipat lebih sakit dan mengejutkan."

Alis Dean bertaut. "Mungkin karena suhu tubuh kalian berbeda? Coba sekali lagi. Sekarang, kau seharusnya sudah terbiasa."

"Tidak," Suri menolak. "Kau tidak tahu, Dean. Aku bilang rasanya sakit."

"Ayolah, Suri, aku mohon. Coba sekali lagi." Dean sampai menangkupkan kedua tangan di depan dada. Mengiba sebisanya.

Namun keputusan Suri sudah bulat. Jantungnya saja sampai sekarang masih berdetak kurang ajar. Tega sekali Dean memaksanya mengulangi sesuatu yang membuat tidak nyaman?

"Suri...."

"Jika terus memaksa, aku tidak akan mau datang lagi ke sini."

Ancaman itu berhasil membuat Dean terpojok. Ia terpaksa mengalah. Mengingatkan konsekuensi soal digentayangi hantu seram seumur hidup pun Dean tak mampu.

"Baiklah, aku mengerti," lirihnya. "Maaf, aku terlalu bersemangat."

Suri tidak mengatakan apa pun. Ia kembali memandang kekasih Dean. Tangannya masih saling menggenggam. Otaknya mulai menganalisa sendiri, apa kiranya penyebab sensasi kejut menyakitkan ini bisa terjadi? Rasanya kalau hanya soal perbedaan suhu tubuh, tidak akan sampai seperti ini sensasinya.

Ketika otak Suri sedang bekerja keras mencari jawaban, derap langkah terdengar mendekat. Tubuh Suri yang biasa sigap seketika langsung on. Tanpa pikir panjang, ia bangkit. Kepalanya celingukan selama beberapa detik, dan berhenti di lemari yang sempat ia perhatikan ketika masuk tadi. Dibanding kamar mandi, lemari itu lebih cocok dijadikan tempat sembunyi.

Maka Suri menarik lengan Dean, menyeret pria itu masuk ke dalam lemari, kemudian menutup pintunya rapat-rapat. Beruntung tidak banyak barang yang disimpan di sana. Sehingga ia dan Dean bisa muat bersembunyi, meski harus sambil berpelukan.

Suri meremas bagian belakang kemeja Dean, sambil kepalanya sedikit meneleng dan pendengarannya dipertajam. Suara langkah tadi semakin terdengar mendekat. Ayunannya baru berhenti setelah beberapa saat. Suri asumsikan, seseorang (siapa pun itu) berhenti di samping ranjang. Mengisi ruang yang ia dan Dean tinggalkan.

Tak lama setelahnya, Suri mulai mendengar suara tangis perempuan. Ada racauan yang keluar di sela-sela isaknya, namun Suri tidak bisa menangkap dengan jelas kata demi kata dengan pasti. Ia hanya bisa memperkirakan si pemilik suara itu adalah perempuan berusia awal 30-an. Mungkin anggota keluarga kekasih Dean.

Cukup lama Suri dan Dean (teknisnya hanya Suri, karena Dean tak kasat mata) harus bersembunyi. Suri mulai merasa pengap dan gerah. Bulir-bulir keringat mulai menyebar di dahi dan pelipis. Membuatnya merasa lengket dan tak nyaman.

Di dalam pelukan Dean, tubuh Suri menggeliat pelan. Ia berusaha menciptakan ruang gerak lebih banyak. Mencuri kesempatan meraih udara serta semilir angin dari celah pintu yang tak seberapa.

"Jika terus bergerak, kita akan ketahuan." Dean berbisik lirih. Bibirnya dekat sekali dengan telinga Suri, membuat merinding.

Suri pun berhenti bergerak. Terima nasib terkurung di dalam lemari bersama sesosok hantu pria yang baru dikenal namanya semalam.

Untung tampan.

"Cih," tiba-tiba, Suri mendecih. Ia kemudian refleks membungkam mulutnya sendiri.

"Jangan berisik," bisik Dean lagi.

Mata Suri melirik sinis. "Aku juga tidak berniat untuk berisik," desisnya.

Di luar, tangis perempuan asing itu masih terus terdengar. Semakin lama semakin lirih, terasa menyakitkan. Sepertinya itu memang benar anggota keluarga kekasih Dean. Tapi tidak ada salahnya untuk mengkonfirmasi langsung, daripada sekadar menebak.

"Dean," panggilnya.

Dean tidak menjawab, kepalanya hanya sedikit merunduk.

"Siapa perempuan itu? Keluarga kekasihmu?"

"Bukan," jawab Dean.

Dahi Suri mengerut heran. "Lalu siapa? Teman?"

"Bukan juga."

Sebal, Suri mendorong dada Dean sedikit menjauh. Hampir saja tubuh Dean melesak keluar, lalu terbongkarlah persembunyian mereka. Untungnya Dean pandai menjaga keseimbangan sehingga tubuh mereka kembali menempel dan misi sembunyi tetap aman.

"Lalu siapa? Tidak mungkin orang gila yang kebetulan lewat, lalu menangisi orang asing yang sedang koma, kan?" Suri berkata sinis. Kalau tidak sambil bisik-bisik, nada suaranya pasti sudah naik dua oktaf sekarang.

Dean tampak menarik napas. Jujur saja Suri heran. Kenapa sesosok hantu harus menarik napas seperti itu? Toh tidak ada oksigen yang akan mengalir di tubuhnya lagi. Detak jantungnya saja sudah tidak ada sekarang ini. Suri tidak merasakan degup apa pun ketika menyentuh dada Dean.

Mungkin memori semasa hidup?

"Kakakku."

Saking sibuknya bertanya-tanya kenapa Dean harus menarik napas, Suri jadi lupa kalau dia sedang menunggu jawaban. Akibatnya dia berhah ria, tampang bloonnya terpampang nyata.

"Oh ... Ah...." Ia manggut-manggut setelah otaknya connect kembali. "Kakakmu pasti sangat dekat dengan kekasihmu. Makanya tangisannya sampai sesedih itu."

Suri perhatikan Dean betul-betul. Senyum getir muncul menghias wajahnya. Tatapannya sekilas tampak kosong, tapi ada bayangan kesedihan yang tidak mudah disembunyikan.

"Seluruh anggota keluargaku dekat dengannya," kata Dean, "Kami ... sudah menganggapnya seperti keluarga."

"Kekasihmu pasti adalah seseorang yang sangat baik."

Lagi-lagi, Dean tersenyum sumir. "Tentu, dia adalah manusia paling baik yang pernah aku kenal selama hidupku."

Karena itu jugalah kau sulit merelakannya, Dean.

Kaki Suri mulai kesemutan. Ia menggeliat lagi, memperbaiki posisi. "Lalu, bagaimana dengan keluarganya? Apa mereka datang setiap hari? Aku tidak melihat ada barang-barang di sekitar meja, jadi kuasumsikan mereka tidak berjaga sepanjang hari di sini."

"Tidak ada."

"Apa?" Suri menjauhkan tubuhnya sedikit. "Maksudnya tidak ada?"

Dean memalingkan wajah. "Dia tidak punya keluarga. Hanya aku dan keluargaku lah yang selama ini jadi keluarganya."

"Yatim piatu? Atau...."

"Entah ke mana orang tuanya." Dean menghela napas berat. "Dia tumbuh besar di panti asuhan. Aku bertemu dengannya pertama kali di sana, waktu ikut kerja sukarela."

Masih banyak pertanyaan di kepala Suri, namun wajah Dean sudah terlihat sangat rapuh sehingga ia putuskan menyimpan sisa pertanyaan itu di kepala. Akan Suri tanyakan nanti. Satu persatu. Seiring berjalannya waktu.

"Sepertinya sudah pergi," kata Suri. Belum lama, setelah Suri bertanya tentang kekasih Dean, suara tangis perempuan tadi mereda. Lalu disusul langkah kaki menjauh tidak lama setelahnya.

Dean mengangguk. Ia jadi yang pertama membuka pintu lemari, melongokkan kepala disusul Suri. Benar, kamar rawat kekasihnya sudah kembali kosong. Menyisakan kehampaan dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Berputar-putar di udara, menjadi pengganti pengharum ruangan aromaterapi.

"Dean,"

"Iya, sudah kosong." Dean mengonfirmasi, berpikir Suri hendak menanyakan situasi.

"Bukan itu."

Dean menoleh cepat, tampak bingung.  "Lalu?"

"Aku ... baru saja menyadari sesuatu."

Bersambung....

Terpopuler

Comments

Zenun

Zenun

apa? Tolong kasih tahu aku coba

2025-09-02

1

Zenun

Zenun

Iiih Dean, Suri nya sakit tuh😁

2025-09-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!