Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Ada Claire, si gadis cantik bergaun merah yang suka menangis tiap jam setengah dua belas malam; ada Kenneth, si bocah laki-laki berusia lima tahun dengan rambut kuning mentereng yang hobi menyembunyikan barang; ada Mirah, si nenek tua berkebaya hijau emerald dan bersanggul rapi—juga bau sirih; dan hantu laki-laki berkemeja putih dengan celana bahan longgar warna hitam yang baru-baru ini muncul dekat tangga. Suri tidak tahu siapa namanya, jadi dia memanggilnya Si Tampan.
Si Tampan keluyuran tanpa mengenakan alas kaki. Dia selalu terlihat kebingungan. Dalam beberapa kesempatan, tatapannya terlihat kosong, dan ketika bersirobok dengan Suri, kesedihannya terasa begitu dalam.
Dari semua hantu yang Suri temui di rumah, Si Tampan adalah yang paling pendiam. Jika Claire suka mencuri waktu untuk curhat sambil duduk di atas lemari pakaian, Kenneth sekonyong-konyong rebahan di kasur sambil mengenyot susu (yang botolnya entah dia curi dari mana), atau Mirah yang sesekali melambaikan tangan agar Suri datang lalu mulai bersenandung—maka Si Tampan hanya selalu diam memperhatikan.
Suatu kali, Suri pernah melemparkan lelucon—yang mana tidak biasa dia lakukan—dan Si Tampan hanya tersenyum sambil terus menatapnya lekat-lekat.
Suri pikir, Ah, mungkin dia memang tidak suka banyak bicara.
Hari-hari kemudian, Suri tak lagi memikirkan bagaimana caranya mengajak Si Tampan bicara. Kehadirannya hanya Suri anggap sebagai pemanis—hitung-hitung penyegaran di antara bisingnya suara tangis Claire dan tajamnya aroma sirih milik Mirah.
Sampai kemudian, sembilan hari sejak pertemuan pertama mereka, Si Tampan akhirnya buka suara. Dimulai dengan perkenalan diri. Dia mengaku bernama Dean (dibaca Din), berusia 29 tahun ketika dinyatakan meninggal dalam sebuah kecelakaan fatal. Dia tidak bisa ke atas karena ada urusan duniawi yang belum selesai. Itu sebabnya, dia selalu tampak kebingungan.
Berbekal empati yang terlalu tinggi, Suri lalu bertanya, "Urusan apa yang belum selesai itu?"
Dean bilang, kekasihnya masih terbaring koma. Mereka mengalami kecelakaan mobil setelah pulang dari makan malam keluarga. Sebuah truk menghantam mobil hingga berguling-guling dan jatuh ke jurang. Dean tewas di tempat setelah beberapa saat mencoba bertahan, sedangkan kekasihnya sekarat.
"Lalu, apa yang ingin kau lakukan?"
"Membantunya bangun," kata Dean. "Aku tidak akan bisa ke atas jika dia masih terbaring koma."
"Tapi, Dean," Suri menarik bantal, menaruhnya di atas pangkuan, "bukankah lebih mudah membuatnya mati? Dan bukankah itu akan lebih bagus untukmu, untuk kalian? Maksudku, kalian bisa ke atas bersama dan hidup kekal di sana."
Setidaknya, itu yang Suri tahu dari cerita orang-orang. Bukannya lebih bagus jika bersama di alam kekal, daripada terpisah dua dunia begini?
Dean menggeleng. "Tidak seperti itu konsepnya, Suri. Jika dia mati, aku hanya akan terbelenggu rasa bersalah dan akhirnya tidak bisa ke atas. Sedangkan dia bisa ke atas, tapi dengan ingatan yang sepenuhnya direset. Dia tidak akan ingat padaku, tidak akan ingat pada dirinya sendiri, teman-teman baiknya. Itu jauh lebih buruk daripada merelakan diri kami terpisah dua dimensi."
Suri tampak berpikir keras. Apa iya ada konsep seperti itu? Dia belum pernah mendengar teori ini sebelumnya. Apa hal ini bisa terjadi karena cinta Dean yang terlalu besar, atau sesungguhnya ada sesuatu yang lebih kompleks yang tidak Si Tampan ceritakan?
"Lalu," kata Suri, "apa yang bisa membuatnya bangun?"
Dean melangkah lebih dalam ke kamar Suri. Embusan angin dari ayunan kakinya yang tak kasat mata membuat pintu di belakangnya tertutup perlahan. Suri menoleh, sempat terkejut oleh suara engsel yang berderit lirih. Dean berhenti di sisi meja belajar, lalu menyandarkan bokongnya di sana dengan santai, meski hawa di kamar Suri mendadak terasa lebih mencekam.
"Keinginannya untuk hidup."
Suri melenguh panjang, lalu memutar tubuh hingga sepenuhnya menghadap Dean. "Dan bagaimana caranya membuat dia memiliki keinginan untuk hidup, Dean-ku yang tampan?" tanyanya, berupaya bersikap santai walau rasa penasarannya cukup besar.
"Dengan sering mengunjunginya."
Satu alis Suri naik, mendadak skeptis. "Lalu lakukanlah sendiri. Kau bisa berkunjung ke rumah sakit sesering mungkin, benar? Kau kan hantu, tentu mudah bagimu menyelinap ke kamar rawatnya tanpa diketahui siapa pun."
"Tidak," kata Dean. Ia menegakkan tubuh, nada suaranya berubah serius. "Harus ada seseorang yang mengajak raganya berinteraksi, itu sebabnya aku butuh bantuanmu."
Suri menyandarkan dagu di atas kedua tangannya, bersikap santai seolah perbincangan ini tidak menyangkut hidup dan mati seseorang. "Masalahnya, Dean," katanya lambat-lambat, "akan aneh jika gadis ingusan berseragam SMA sepertiku tiba-tiba datang menjenguk. Aku mengasumsikan dia seumuran denganmu, kecuali jika kau adalah pedofil menjijikkan yang halal dijadikan bahan bakar neraka."
"Aku bukan pedofil, itu yang pertama," ujar Dean tegas, sambil mengerucutkan bibirnya. "Yang kedua, aku bisa membawamu berkunjung tanpa diketahui siapa pun. Kita akan menyelinap ketika keluarganya tidak ada di sana, ketika perawat dan dokter sedang sibuk dengan pasien-pasien lain."
"Bagaimana caranya? Kau bisa membuatku menjadi tak kasat mata?" tanya Suri antusias, tubuhnya sedikit mencondong ke depan.
"Itu ... aku tidak bisa menjelaskannya secara gamblang, karena akan menyalahi aturan," kata Dean sambil berusaha mengalihkan pandangan. "Pokoknya, aku butuh bantuanmu."
"Dan jika aku tidak mau?"
"Aku akan menghantuimu selamanya."
"Tak apa, kau tampan."
Dean mencondongkan tubuhnya tiba-tiba, suara dan tatapannya berubah datar. "Aku akan datang dengan wajah rusak dan lengan yang patah, kepala berdarah-darah, kaki hampir putus, leher—"
"Stop!" Suri memotong cepat. Wajahnya menegang, sementara kepalanya mulai dipenuhi imajinasi liar.
Belum apa-apa, sudah terbayang bagaimana ngerinya penampilan Dean yang luka-luka. Selama ini, dia bisa beradaptasi dengan kemampuan barunya karena semua hantu yang muncul selalu menampakkan penampilan terbaiknya.
Satu-satunya yang paling buruk hanya hantu penunggu toilet sekolah, dengan goresan merah di leher—bekas gorokan pisau yang tidak lagi mengeluarkan darah. Wajahnya pucat dan jalannya agak pincang. Tapi, dia tidak menyeramkan. Tidak galak. Tidak dipenuhi amarah.
"Aku akan bantu," kata Suri mantap.
Dean tersenyum lega. "Terima kasih. Besok, sepulang sekolah, aku akan membawamu ke rumah sakit."
"Besok?!" Suri berseru, setengah terlonjak. "Kenapa terburu-buru? Setidaknya beri aku waktu untuk bersiap-siap. Beri aku jeda untuk menyiapkan alasan kalau-kalau terpergok seseorang!"
"Tidak, Suri. Kita tidak punya banyak waktu."
Nada suara Dean membuat bulu kuduk Suri meremang. Ia merapatkan tangan ke dada, merasakan jantungnya yang berdetak tak tenang.
"Maksudnya?" tanyanya takut-takut.
"Aku hanya punya 49 hari untuk membuat kekasihku bangun. Jika lebih dari itu...."
Suri mendadak resah. Suaranya merendah. "Lebih dari itu ... apa yang akan terjadi? Padamu? Pada kekasihmu? Pada ... padaku?"
Bersambung.....
Holla, Hai. Setelah dipikir-pikir, aku nggak pandai kali nulis cerita romantis. Jadi kali ini kita ikuti kata hati aja ya guys, nulis horor-misteri yang nggak perlu pusing mikirin adegan romance ala-ala Drakor.
Alright, selamat datang, selamat membaca. Semoga betah dan terhibur, di tengah huru-hara dunia.
Regards,
Rain.
"Lebih dari itu ... apa yang akan terjadi? Padamu? Pada kekasihmu? Pada ... padaku?"
Dean menunduk sejenak, terlihat semakin serius. Raut murungnya yang sempat menghilang kini kembali, menyelimuti wajahnya seperti kabut malam yang pelan-pelan menelan cahaya bulan.
"Jika kita gagal membuat kekasihku bangun dalam 49 hari ke depan," ucapnya lirih, "aku akan terjebak selamanya di sini, menjadi arwah gentayangan dengan rasa bersalah yang tak pernah hilang."
Suri menahan napas.
Dean melanjutkan dengan suara yang lebih berat. "Kekasihku mungkin akan masuk ke fase mati otak. Dia hanya akan mengandalkan alat-alat medis untuk menopang kehidupannya, jadi ketika tim dokter menyerah dan memutuskan melepas alat-alat medis itu ... dia akan mati juga tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kami."
Ia menoleh, menatap Suri dengan sorot mata yang intens dan tampak sedih. Udara di sekitar mereka terasa lebih pekat, terasa mencekik dan membuat pengap.
"Lalu kau..." Dean menjeda cukup lama. Seakan sengaja membiarkan ketegangan membesar dengan sendirinya.
Suri mulai gelisah. Suaranya naik satu oktaf ketika bertanya. "Apa? Apa yang akan terjadi padaku, Dean?"
"Kau akan hidup dalam ketakutan selamanya, Suri," kata Dean pelan, "karena setelah gagal, semua hantu yang kau lihat akan muncul dalam keadaan paling buruk."
"Kenapa begitu?!" seru Suri, "Kenapa aku juga mendapatkan konsekuensi yang berat, padahal aku hanya membantumu?"
Dean hanya mengedik.
"Kalau begitu, jangan aku," kata Suri cepat, panik setengah mati. "Cari orang lain untuk membantumu, Dean."
"Tidak bisa, Suri."
"Kenapa tidak bisa?" desaknya.
"Yang di atas menunjukmu," jawab Dean mantap. "Aku tidak akan tiba-tiba datang padamu jika bukan karena petunjuk darinya."
Suri memicingkan mata, tatapannya menajam. "Yang di atas? Siapa? Tuhan? Malaikat maut," cerocosnya, kewarasannya mulai sedikit terganggu. "Bisakah kau pertemukan aku dengannya? Aku akan bernegosiasi!"
"Suri," Dean menyela. Tatapannya berubah prihatin. "Tidak ada yang bisa kau lakukan dengan hal itu. Dia ingin kau membantuku. Lagi pula, kau sudah setuju."
Keteguhan Dean membuat Suri mendadak curiga. "Kau yakin ini kehendaknya? Bukan karanganmu semata supaya aku setuju untuk membantu?" selidik Suri.
Dean menaikkan sebelah alisnya, lalu membalas, "Kau ingin membuktikan konsekuensinya sendiri? Boleh-boleh saja."
Suri terdiam, seperti mendadak disodori buah simalakama.
"Jangan bersikap seolah-olah kita akan gagal, Suri yang manis." Dean berucap lembut. Untuk pertama kalinya, dia berani mendekat pada Suri, duduk di sebelahnya. "Jika bisa bekerja sama dengan baik, kita semua akan aman."
Meski begitu, Suri tetap ragu. Ini kali pertama dia membantu hantu. Kali pertama ketenangan hidupnya dipertaruhkan untuk sesuatu yang—seharusnya tidak berkaitan dengannya sejak awal.
Tapi kata Dean, yang di atas sudah menunjuknya secara langsung!
"Tidak akan ada hal buruk yang terjadi selama kau percaya padaku," kata Dean. "Kita bisa menjadi partner yang keren, Suri."
Suri melirik sebal sambil mendengus. Gara-gara hal ini, ketampanan Dean jadi berkurang seribu kali lipat. Sial, kenapa Suri harus bangun dengan kemampuan melihat hantu?!
...🍃🍃🍃🍃🍃...
Memikirkannya saja sudah membuat Suri kesal. Apalagi kalau sampai ia benar-benar harus hidup selamanya dengan dikelilingi hantu-hantu buruk rupa? Rasanya lebih baik dia ikut Dean saja, mati, lalu pergi ke neraka.
Malam sudah semakin larut, namun Suri tak kunjung bisa tidur. Bukan hanya soal Dean dan misi konyolnya, tapi juga eksistensi Claire yang tidak pernah absen menyambangi dirinya.
Suri menarik selimut yang membungkus seluruh tubuh sampai ke kepala. Kepalanya menoleh cepat, memusatkan perhatian pada sosok Claire. Hantu itu sudah nangkring di atas lemari pakaian di pojok kamarnya, seperti biasa. Rambutnya jatuh terjuntai, menutupi seluruh wajahnya sehingga yang bisa Suri tangkap dari keberadaannya hanyalah suara tangis yang mendayu-dayu. Lirih, mengiris hati.
Biasanya, Suri masih punya energi untuk meladeni Claire. Dia akan duduk di meja belajar, lalu mulai bertanya apa kiranya yang membuat Claire selalu menangis—meski ujungnya tidak pernah dijawab. Malam ini, Suri kehabisan kesabaran.
"Diam!" sentaknya.
Kepala Claire terangkat sedikit, tangisnya terjeda sejenak. Mata merah di balik juntaian rambut legam Claire mengintip dengan sorot tajam. Suri harusnya merinding, tapi malam itu kekesalannya sudah sampai di ubun-ubun sehingga yang ia lakukan adalah menatap balik (dengan lebih galak).
"Aku sedang pusing, jadi tolong jangan berulah," ucapnya tegas.
Claire tidak menjawab, seperti yang sudah-sudah. Tangisnya hanya terjeda sebentar, lalu kembali mengudara seakan Suri tidak pernah memperingatkannya untuk berhenti.
Kesal, Suri menendang selimutnya hingga jatuh ke lantai. Ia duduk tegak di kasur, mengacungkan tangan. "Kubilang diam!" serunya. "Turun sekarang juga! Mulai malam ini kau dilarang nongkrong di sana lagi!"
Mula-mulanya, Claire tidak mau mendengarkan. Gadis bergaun merah itu tetap saja menangis. Semakin lama suara tangisannya membuat telinga Suri pengang. Kepalanya berdenyut hebat, rasanya seperti mau pecah.
Suri menutup telinga dengan kedua tangan, memejamkan mata sejenak. Namun suara tangis Claire masih saja bisa menerobos masuk melalui celah-celah kecil jemarinya.
Akhirnya, karena tidak punya pilihan lain, Suri turun dari kasur. Sebuah buku tebal disambarnya dari meja belajar, dilemparkan dengan kekuatan penuh pada sosok Claire di atas lemarinya.
Claire adalah hantu, wujudnya tidak solid, hanya bisa Suri lihat karena kemampuan spesialnya. Jadi, ia tidak heran saat buku tebal yang dilempar malah berakhir nyangkut di atas lemari. Akan sulit mengambilnya kembali, maka Suri semakin kesal.
"Akan aku hitung sampai tiga," ancamnya. "Jika dalam hitungan ketiga kau tidak berhenti menangis dan turun dari sana, aku bersumpah akan membawa pendeta ke sini besok. Akan aku pastikan kau diusir ke neraka!"
Rupanya berhasil. Claire agaknya takut masuk neraka, atau mungkin sekadar enggan diusir dari rumah yang sudah ia huni mungkin untuk belasan tahun lamanya. Tidak berapa lama setelah Suri berucap, tangis Claire berhenti. Gadis itu lalu mengangkat kepala. Wajahnya kini terlihat oleh Suri, tampak pucat, sorot matanya berubah sedih.
"Turun sekarang juga." Suri memerintahkan kembali.
Claire tidak beranjak dari tempatnya selama beberapa detik. Yang gadis itu lakukan hanyalah menatap Suri begitu intens. Seperti tidak ada hari esok untuk melakukannya lagi.
"Claire," Suri mulai menggeram. Tangannya terkepal erat di samping tubuh. "Cepat turun sebelum emosiku meledak dan menghancurkan tubuhmu jadi berkeping-keping."
Claire akhirnya menurut. Dia melompat dengan gerakan yang halus, mendarat sempurna di lantai kamar Suri. Namun lagi-lagi, gadis itu berhenti di hadapan Suri dan kembali menatapnya.
"Aku lelah," keluh Suri.
Entah betulan mengerti atau mulai iba karena wajah Suri terlalu menyedihkan, Claire pun beranjak. Ketika melewati tubuh Suri, ia berkata, "Tapi, Suri. Kau tidak pernah benar-benar berniat untuk tahu kenapa aku menangis." Kemudian sosoknya perlahan memudar sampai akhirnya hilang total.
Kepala Suri yang rasanya berisik sekali membuatnya tak menggubris ucapan Claire. Usai tak melihat eksistensi gadis merah itu, Suri kembali naik ke kasur. Selimutnya dipungut dan dipakai membungkus seluruh tubuhnya lagi. Matanya dipaksa terpejam. Entah bagaimana pun caranya, dia harus segera tidur.
Dean sialan. Buat apa tampan kalau menyusahkan?
Bersambung.....
Semalaman tidak tidur membuat Suri jadi cranky. Semua hal jadi tampak menyebalkan di matanya. Bahkan tingkah usil Kenneth yang biasa ia jadikan bahan hiburan pun, pagi itu berhasil menyulut amarahnya. Suri jadi kelepasan mengomeli bocah tengil itu. Memintanya tidak muncul dalam waktu dekat, apalagi kalau sambil tertawa cekikikan atau menggondol barang curian.
Bukan hanya suasana rumah dan eksistensi para hantu di sana, kondisi di sekolah pun ternyata tidak jauh berbeda menyebalkannya. Tolong catat, ini masih awal musim panas, suhu terakhir yang Suri lihat dari ponselnya mencapai 30 derajat. Tubuh semakin mudah berkeringat. Semakin mudah pula amarahnya tersengat. Maka begitu menyebalkan untuk tahu bahwa kipas angin di ruang kelasnya mati. Sepanjang pelajaran, Suri hanya sibuk mengipasi dirinya dengan buku tulis. Itu pun tidak memuaskan karena angin dari kibasan buku tipis itu tidak terlalu banyak membantu.
Kipas yang mati hanyalah satu soal, jika Suri boleh menekankan. Keberadaan Dean yang perdana ikut ke sekolah juga membuat suasana hati Suri makin suram. Pria tampan itu seakan sengaja menguji kesabarannya, dengan duduk di jendela samping bangku Suri, mengayunkan kaki telanjangnya sampai ujung-ujung jemarinya tak sengaja menyentuh lengan Suri.
Suri kesal. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Menyuruh Dean pergi, atau mengomeli ketua kelas yang tidak becus merawat kipas angin, atau memakai guru Bahasa Jerman botak yang kini mengajar di depan kelas. Kepada siapa saja. Suri ingin melampiaskan amarahnya agar dadanya sedikit saja terasa lega.
"Akan ada festival lilin di lingkungan Universitas."
Bisikan pelan itu membuat Suri menoleh cepat. Teman satu kelasnya, duduk di sebelah kanan bangkunya, berbicara dengan teman lain yang duduk di depan Suri. Matanya sambil melirik ke depan, berjaga kalau-kalau guru botak di depan tiba-tiba balik badan.
"Kapan?" Teman yang diajak bicara menyahut antusias.
"Malam ini," kata teman yang pertama. "Tidak semua orang bisa datang, tapi Roger memberiku akses untuk tiga orang."
"Satu untukku." Suri menyerobot tanpa diminta.
Teman yang memberi informasi soal festival itu menoleh ke arahnya, tapi tidak menjawab. "Kita bisa datang," bisiknya.
"Denganku, kan?" tanya Suri lagi.
Belum ada jawaban ketika obrolan rahasia itu harus selesai begitu guru botak di depan berhenti menulis di papan. Dua teman Suri kembali ke posisi duduk masing-masing. Memasang postur sigap, wajah serius, kepala mengangguk mantap seolah menyimak pelajaran.
Mau tidak mau, Suri juga jadi harus kembali fokus ke depan. Tapi saat itu, suara Dean tahu-tahu terdengar begitu dekat dengan telinganya.
Suri terlonjak. Ia menatap tajam sosok Dean. Pria itu berjongkok di sebelah mejanya, merebahkan kepala di atas tumpuan kedua tangan, menatapnya lekat-lekat. "Kita akan pergi, kan?" ulangnya.
Bukannya menjawab, Suri justru mengalihkan pandangan, pura-pura tidak melihat Dean.
"Suri." Dean memanggil lagi.
"Jika ingin kita pergi, sebaiknya tutup mulutmu dan jangan ganggu aku." Suri bicara dengan bibir nyaris terkatup rapat.
Seumur hidup, baru kali ini dia merasa kesal setengah mati.
...🍃🍃🍃🍃🍃...
Sesuai janji, Suri temani Dean ke rumah sakit. Mereka ke sana naik taksi. Suri yang membayar ongkos, tentu saja. Padahal dia pikir Dean bisa mengajaknya berteleportasi seperti di film-film. Nyatanya tetap saja harus menggunakan cara konvensional yang menguras waktu dan uang jajan.
Rumah sakit sore itu tampak sibuk. Sudah tiga kali Suri dengar raungan sirine ambulans menuju IGD sejak ia menjejakkan kaki di sini. Selain paramedis yang sibuk dengan pasien gawat darurat, pasien-pasien yang berkeliaran di area taman tampaknya juga larut dalam kegiatan masing-masing hingga tak memedulikan eksistensi Suri.
Dean menggiringnya ke lantai delapan. Naik lift terlalu berisiko, maka mereka meniti satu demi satu anak tangga. Untuk tiba di depan ruang rawat VVIP yang biaya per-malam tidak bisa Suri bayar dengan uang jajan sebulan.
"Bukalah," pinta Dean.
Suri melirik Dean sekilas, kemudian beralih pada pintu geser di depannya. Sebelum melaksanakan permintaan Dean, ia melongok sedikit, mengintip keadaan di dalam kamar rawat melalui bagian kecil pintu yang terbuat dari kaca. Pandangannya mengedar, memastikan tidak ada orang lain di dalam sana selain kekasih Dean.
"Tidak ada siapa pun," sela Dean.
Suri melirik sinis dan berdecak. "Sabar. Sudah bagus aku mau bantu," omelnya.
Begitu pintu Suri geser, Dean langsung menerobos masuk. Pria itu juga mengisyaratkan kepada Suri untuk segera menutup kembali pintu, lalu mengikuti langkahnya. Suri menurut saja. Toh kedatangan mereka ke sini kan memang untuk menjalankan misi konyol Dean.
Selagi Dean memimpin di depan, Suri mengedarkan pandangan. Fasilitas di dalam kamar rawat ini memang jempolan. Selain bed pasien lengkap dengan berbagai macam alat medis, ada pula sofa panjang mewah, satu bed untuk keluarga pasien, kamar mandi, juga lemari berukuran cukup besar. Di sana juga ada televisi layar datar berukuran 21 inch, beberapa perabot elektronik lain seperti teko listrik. Di meja dekat ranjang, vas bunga dipenuhi tangkai bunga mawar. Dilihat dari kelopaknya yang mulai layu, bunga-bunga itu jelas sudah lama ada di sana.
"Mungkin kekasihmu betah ada di sini karena fasilitasnya terlalu oke," celetuknya.
Dean menghentikan langkah persis di sebelah ranjang. Tatapannya tampak datar, meski ada sedikit siratan tidak suka. Suri menyadari adanya kecanggungan berkat celetukan asalnya, jadi dia berdeham pelan kemudian berjalan mendekat.
Di atas ranjang pasien, kekasih Dean terbaring. Alat-alat medis tertempel di seluruh tubuhnya. Wajahnya pun tertutup masker oksigen, membuat Suri hanya bisa melihat kelopak matanya yang terpejam damai.
"Jadi," mulainya, "apa yang harus aku lakukan?"
Dean menarik kursi. "Duduklah," titahnya.
Tanpa banyak omong, Suri menurut. Ia duduk di sebelah ranjang pasien, dengan Dean berdiri di belakangnya.
"Coba ajak dia bicara."
Suri berdeham sekali lagi. "Hai," sapanya kikuk. Tangannya terangkat sebatas dada. "Namaku Suri. Umurku 17 tahun, kelas 2 SMA."
Kepala Suri menoleh. Sorot matanya menyiratkan tanya: apa lagi?
Dean memandang kekasihnya sejenak, lalu berkata, "Coba sentuh. Energi manusiamu mungkin bisa merangsang jiwanya untuk kembali ke tubuh."
"Memangnya ... jiwanya sedang berkeliaran di suatu tempat? Di mana?"
"Entah. Yang pasti tidak ada di sana."
Suri menelan ludah susah payah. Dia kembali memandang tubuh kekasih Dean yang terbaring tak berdaya. Embusan napasnya tampak teratur. Dadanya naik-turun dengan irama konstan. Terlihat seperti seseorang yang hanya sedang tertidur.
"Jika aku sentuh...."
"Coba saja."
Karena masih ragu-ragu, Suri mengepalkan tangan, menyisakan jari telunjuknya mengarah pelan pada lengan kekasih Dean. Gerakannya terlalu lambat, tapi Dean di belakang menanti dengan sabar. Tidak diburu-buru membuat Suri menambahkan lebih banyak keyakinan.
Dean menunggu sambil harap-harap cemas. Tapi begitu ujung telunjuk Suri berhasil menyentuh lengan kekasihnya, ia dibuat bingung sekaligus resah. Sebab Suri tiba-tiba menarik tangannya dan tampak terkejut.
"Kenapa, Suri?"
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!