Bab. 4

Sore Hari Sepulang Kerja

Sore itu, seperti biasanya, Azhar menepikan mobil dinasnya sebelum masuk ke area kampung.

Seragam tentaranya ia lepas dan diganti dengan kemeja santai serta celana kain sederhana. Semua itu ia lakukan demi menjaga rahasia, agar tidak ada yang tahu kalau dirinya adalah seorang mayor TNI sekaligus seorang pria dengan dua pernikahan.

“Abang yakin mau terus seperti ini? Bagaimana kalau Mbak Dian tiba-tiba datang ke sini dan tahu Abang menikah lagi sama perempuan kampung?” tanya Ikram sambil melirik ke arah Azhar yang sedang fokus mengemudi.

Azhar menarik napas panjang, lalu menggeleng perlahan.

“Kalau sampai itu terjadi, jelas akan jadi kekacauan besar dalam rumah tanggaku. Tapi, Ikram, aku nggak mau mikirin hal-hal buruk sebelum waktunya. Aku menikahi Nisa bukan karena main-main. Dia sudah menolongku, dan aku nggak mungkin tega membiarkannya sendirian. Soal Dian asalkan kamu bisa menjaga mulutmu, dia nggak akan tahu apa-apa.”

Ikram terkekeh, mencoba meredakan suasana.

“Jadi, enam bulan ke depan Abang jadi supir pribadiku dan aku pura-pura atasan Abang?”

Azhar tersenyum tipis sambil menepuk bahu adiknya itu.

“Benar. Enam bulan saja. Setelah itu kita kembali ke Makassar, dan besar kemungkinan kita dikirim ke Lebanon atau Suriah. Sementara ini, biar semua tetap aman.”

Ikram mengangguk mantap. “Baiklah. Insha Allah semua aman. Yang penting istri barunya Abang bisa diajak kerja sama. Jangan sampai dia merasa ditinggalkan.”

Tak lama kemudian, Azhar turun dari mobil dan melanjutkan perjalanan dengan ojek. Ia tidak ingin ada yang curiga jika terlalu sering terlihat dengan kendaraan dinas.

Setelah lima belas menit perjalanan, tibalah ia di depan rumah sederhana mertuanya.

Nisa sedang menjemur gabah kering, wajahnya teduh disinari matahari sore. Saat mendengar salam dari suaminya, ia menoleh dan menyunggingkan senyum hangat.

“Assalamu’alaikum,” sapa Azhar dengan wajah lelah namun sumringah.

“Wa’alaikumussalam, Mas. Naik ojek ya?” jawab Nisa lembut.

Azhar mengangguk. “Iya, Ikram buru-buru ke kantor. Maklum, sebentar lagi dia menikah, jadi pasti banyak persiapan.”

Nisa tersenyum sambil mendekat. Dengan penuh hormat ia mengecup punggung tangan suaminya.

“Saya siapkan air hangat dulu buat mandinya Mas Azhar.”

Azhar mengangguk, hatinya menghangat. “Makasih banyak, Nisa.”

---

Kebersamaan di Meja Makan

Setelah mandi, Azhar mendapati istrinya sudah menyiapkan pakaian ganti dan makanan hangat.

Mereka duduk berdua di meja makan, Nisa hanya menemani karena ia sudah lebih dulu makan.

“Nisa,” ucap Azhar hati-hati, “kalau aku minta kamu bawakan makanan ke kantor setiap hari, kamu keberatan nggak? Tapi, kamu nggak boleh bilang siapa dirimu sebenarnya. Anggap saja kamu pengantar catering.”

Nisa tersenyum lembut, matanya penuh ketulusan.

“Insya Allah, nggak apa-apa Mas. Saya malah senang bisa melakukannya. Apapun yang Mas minta, selama itu baik, saya akan sanggupi.”

Azhar tertegun. Dadanya terasa ringan mendengar jawaban itu.

“Alhamdulillah… aku sempat ragu menyampaikan hal ini, takut kamu tersinggung.”

“Mas,” ujar Nisa lembut sambil mengusap punggung tangan suaminya, “saya sadar, menikah dengan Abdi Negara itu berarti harus siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk jadi istri bayangan.”

Azhar menatapnya kagum. Dalam hati ia bergumam, Ya Allah, betapa beruntungnya aku memiliki istri yang sebijaksana ini.

“Boleh minta nomor ponsel kamu? Masa suami-istri nggak saling tukar nomor,” kata Azhar sambil tertawa kecil.

Nisa tersenyum lalu mengetikkan nomor ke ponsel suaminya. Saat hendak menyimpan, matanya tak sengaja membaca kontak bernama “Istriku”. Ia menahan senyum, berpura-pura tak melihat terlalu jauh.

Azhar buru-buru berkata, “Nanti kalau kamu hubungi aku, pakai nama Alfathunisa Catering ya. Jadi kalau ada yang lihat, nggak ada yang curiga.”

Bukannya kecewa, Nisa justru tertawa renyah. “Hahaha, saya malah senang Mas. Dari dulu memang pengen punya usaha sendiri. Lucu juga jadinya.”

Azhar mengernyit. “Kamu beneran nggak marah?”

“Nggak sama sekali. Malah saya bangga, seakan-akan saya punya usaha catering beneran,” jawabnya polos.

Mereka pun tertawa bersama. Azhar semakin terpesona melihat senyum tulus istrinya, lesung pipinya makin menonjol ketika ia ikut tertawa. Sementara itu, Nisa hanya bisa menunduk malu, dalam hati mengagumi ketampanan suaminya.

“Masya Allah, betapa beruntungnya aku menikah dengan pria sholeh dan bertanggung jawab,” batinnya.

Malam Harinya..

Saat malam tiba, Nisa membantu Azhar melepas perban di tangannya. Begitu hijabnya ia lepaskan, kecantikan alaminya membuat Azhar terdiam.

Nafasnya memburu, matanya kabur menahan gejolak yang tiba-tiba membara.

“Nisa…” suaranya berat, nyaris bergetar. “Bolehkah suamimu meminta haknya?”

Nisa menunduk malu, pipinya merona. Perlahan ia mengangguk.

“Silahkan, Mas. Saya milik Mas seutuhnya.”

Azhar menatapnya takjub. Hatinya bergetar hebat. Malam itu menjadi saksi penyatuan mereka dalam ikatan suci.

Bukan karena nafsu semata, tapi karena kesadaran bahwa keduanya kini terikat dalam sebuah amanah pernikahan.

Di sela dekapannya, Nisa sempat berbisik lirih, “Ya Allah, jadikan rumah tangga kami sakinah, mawaddah, warahmah hingga akhir hayat.”

Azhar mengecup kening istrinya dengan penuh syukur. “Alhamdulillah, aku bahagia, Nisa. Aku orang pertama yang kau berikan segalanya.”

Nisa hanya tersenyum malu, tubuhnya lelah namun hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia merasa aman dalam pelukan suaminya.

Sementara Azhar menutup mata dengan senyum lega, merasa doanya selama ini terkabul yaitu memiliki istri yang sholehah, pengertian, dan tulus menerima keadaannya.

Malam itu, udara terasa berbeda. Angin seakan berbisik lembut, menyelinap lewat celah jendela kamar kayu sederhana.

Lampu minyak temaram menjadi saksi, cahayanya bergetar pelan, seolah ikut menyimpan rahasia yang baru saja Allah titipkan di antara dua insan.

Aku duduk di tepi ranjang, jantungku berdetak kencang tak beraturan. Tangan ini bergetar, bukan karena takut, tapi karena sadar bahwa malam ini aku benar-benar menjadi milik seorang pria imam yang Allah pilihkan untukku.

Azhar menatapku lama, tatapannya teduh namun menyimpan gejolak. Senyumannya menenangkan, membuatku berani mengangkat pandangan.

“Nisa…” ucapnya perlahan, seakan takut suaranya merusak hening malam.

“Sejak awal aku menikahimu, aku tahu… kamu bukan sekadar istri kedua. Kamu adalah amanah Allah untukku. Malam ini, izinkan aku bukan hanya menjadi suamimu, tapi juga sahabatmu, tempatmu bersandar, dan pelindungmu dunia akhirat.”

Aku menunduk, malu, tapi hatiku mengembang oleh kata-katanya. Ada kehangatan yang menyelimuti seluruh tubuhku, bukan hanya karena genggaman tangannya, tapi karena aku merasa dihargai sepenuhnya.

Sentuhannya lembut, penuh kehati-hatian, seakan ia takut melukaiku. Dan ketika akhirnya batas itu terlewati batas yang hanya halal dalam ikatan suci aku merasakan bukan sekadar penyatuan raga, tapi juga jiwa. Seolah seluruh semesta malam itu turut mengucapkan doa.

Aku menggigit bibir, menahan haru. Tak pernah kusangka, memilih jalan menjadi istri kedua justru membawaku pada perasaan yang begitu dalam campuran antara takut, pasrah, tapi juga bahagia yang tak bisa kujelaskan.

Azhar menunduk, mengecup keningku penuh khidmat.

“Terima kasih, Nisa… kau wanita paling berani dan paling sholehah yang pernah kutemui. Kau rela menerima keadaan ini, rela membagi hatiku, padahal hatimu begitu suci. Demi Allah, aku akan menjagamu, mencintaimu dan memperlakukanmu seadil mungkin. Malam ini adalah awal ibadah kita bersama.”

Aku memejamkan mata, air mata syukur menetes tanpa kusadari. Pelukan hangatnya terasa seperti benteng, seakan tak ada satupun luka dunia yang bisa menembusku lagi.

Dalam hati aku berdoa lirih,”Ya Allah, jika inilah jalan takdirku, maka kuatkanlah aku. Jadikan rumah tanggaku bersama Azhar sebagai ladang pahala, meski aku hanyalah istri kedua.

Malam itu, cinta tidak diumbar dengan kata-kata manis semata, melainkan diwujudkan dalam kelembutan, doa, dan janji sederhana. Dan bagiku, itu lebih indah daripada apa pun di dunia.”

Malam itu setelah suasana reda, Azhar masih terbaring di samping istrinya.

Wajahnya serius, tatapannya penuh dengan rasa bersalah yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Tangannya menggenggam jari Nisa, hangat namun juga bergetar.

“Nisa…” panggilnya pelan.

Nisa menoleh dengan mata sayu, masih tersenyum meski tubuhnya tampak lelah.

“Iya, Mas?”

Azhar menarik napas dalam-dalam, suaranya terdengar berat.

“Kamu nggak pernah merasa terpaksa, ya? Menjadi istri keduaku bahkan istri bayangan yang nggak bisa kuakui di depan banyak orang?”

Ruangan mendadak hening. Pertanyaan itu seolah menyesakkan, tapi Azhar ingin mendengarnya langsung dari bibir perempuan yang kini sah menjadi istrinya. Ia takut, di balik senyum Nisa, tersimpan luka yang tak pernah ia lihat.

Nisa memandang suaminya dengan sorot mata teduh. Tidak ada amarah, tidak pula kekecewaan. Hanya ketulusan yang ditampakkan.

“Mas,” ucapnya lembut, “saya menikah dengan penuh kesadaran memang awalnya kita menikah karena insiden tanpa sengaja dan dipaksa, tapi aku sadar kalau pernikahan kita adalah ibadah. Saya tahu resikonya, saya tahu konsekuensinya. Walaupun harus jadi istri kedua, atau bahkan istri bayangan saya ikhlas. Karena saya percaya ini jalan Allah untuk saya.”

Azhar tertegun. Hatinya seperti diremas. “Tapi kamu pantas hidup lebih layak, Nisa. Pantas dicintai secara terang-terangan, bukan disembunyikan seperti ini.”

Nisa tersenyum tipis, menenangkan suaminya. Ia menggenggam tangan Azhar lebih erat.

“Bagi saya, yang terpenting bukan bagaimana dunia melihat saya. Yang penting bagaimana Mas memperlakukan saya. Asal Mas menjaga, menghargai, dan adil itu sudah cukup. Saya rela menjalani semuanya, Mas, karena yakin Allah bersama orang-orang yang sabar.”

Azhar menutup matanya sejenak, lalu menunduk mengecup kening istrinya dengan penuh khidmat.

“Ya Allah, Nisa… aku benar-benar bersyukur bisa memilikimu. Demi Allah, aku akan berusaha adil dan menjaga kamu sebaik-baiknya. Maafkan aku kalau jalannya harus begini.”

Nisa hanya tersenyum, meski matanya berkaca-kaca. Tidak ada penyesalan. Justru ada keyakinan yang makin menguat dalam hatinya yaitu menjadi istri kedua bukan berarti ia tidak berharga, karena di hadapan Allah, yang dilihat adalah ketulusan niat dan kesabaran dalam menjalaninya.

Terpopuler

Comments

Eva Karmita

Eva Karmita

ya Allah jgn sampai ini menjadi awal yang menyakitkan Nisa kamu sudah menyerahkan diri mu ...,, tidak ada rumah tangga yang baik" saja apalagi diawal dengan keterpaksaan ingat Azhar berstatus suami orang , semoga saja Nisa bisa menjalani hari-harinya dengan baik

2025-08-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!