Bab. 5

Hubungan Azhar dan Nisa semakin dekat, meski keduanya tidak pernah menyadarinya secara utuh.

Rasa cinta itu tumbuh diam-diam, perlahan tapi pasti, menyusup di sela-sela kebersamaan singkat yang mereka jalani.

Azhar yang awalnya merasa pernikahan ini hanyalah keterpaksaan, mulai merasa nyaman dengan keberadaan Nisa.

Sedangkan Nisa, meski berulang kali berusaha menolak perasaan yang muncul, tak bisa menyangkal betapa dirinya semakin merindukan suaminya itu.

Suara Nisa tercekat. Hatinya hangat, seolah ada pelindung yang berdiri tegak untuknya. Ia hanya mengangguk, meski dalam hati air matanya nyaris tumpah.

Tangannya meremas ujung kerudung, berusaha menyembunyikan gejolak perasaan yang tak pernah ia duga akan muncul.

“Mas…” suara Nisa nyaris bergetar, “saya takut kalau saya jadi beban buat Mas. Saya nggak mau Mas sampai kesulitan gara-gara harus mikirin saya.”

Azhar menghela napas pelan, lalu duduk lebih dekat. Jemarinya terulur, menyentuh punggung tangan Nisa dengan hati-hati, seolah takut membuatnya salah tingkah.

“Beban? Nisa, jangan pernah lagi berpikir begitu. Kamu bukan beban. Kamu itu bagian dari hidup saya. Apa yang saya kasih ke kamu, itu bukan karena kasihan, tapi karena memang kewajiban sekaligus tanggung jawab saya.”

Nisa terdiam. Ia menunduk, menatap jemarinya sendiri. Suara hatinya berdentum lebih kencang dari biasanya.

“Tapi Mas…” ia kembali mencoba berkata, “saya sadar pernikahan kita ini berbeda.

Orang mungkin nggak akan pernah

paham, bahkan mungkin mereka akan mencibir saya. Kadang saya sendiri merasa, apa benar saya pantas jadi istri Mas?”

Mata Azhar melembut. Ia mengangkat dagu Nisa perlahan dengan jarinya, memaksa gadis itu menatapnya.

“Jangan pernah ragukan dirimu, Nisa. Justru saya yang sering merasa kamu terlalu baik untuk saya. Kamu sabar, kamu ngerti kondisi saya, kamu nggak pernah nuntut macam-macam. Kamu tahu nggak? Hal-hal kecil itu yang bikin saya nggak tenang kalau jauh dari kamu.”

Deg!!

Hati Nisa bergetar hebat. Kata-kata itu menusuk ke dalam sanubarinya, memecahkan tembok yang selama ini ia bangun untuk menahan perasaan.

Ia menunduk lagi, menyembunyikan senyum dan air mata yang hampir luruh bersamaan.

“Mas, jangan bilang begitu. Saya ini bukan siapa-siapa cuma perempuan biasa,” ucapnya lirih.

Azhar tersenyum tipis, menatapnya dengan penuh kesungguhan.

“Perempuan biasa yang istimewa di mata saya.”

Nisa benar-benar tak kuasa menahan air matanya. Setetes demi setetes jatuh membasahi pipinya.

DIa buru-buru menyeka dengan punggung tangannya, tapi Azhar lebih dulu mengulurkan tangan dan mengusapnya dengan lembut.

“Jangan nangis. Kamu tahu kan, saya paling nggak tega lihat kamu nangis.”

Tangis Nisa justru semakin pecah, meski ia berusaha menahannya.

“Maaf Mas… saya jadi cengeng begini. Padahal saya janji sama diri saya, nggak akan pernah bikin Mas susah hati.”

Azhar menghela napas dalam, lalu meraih bahunya, menepuk pelan dengan penuh pengertian.

“Bukan susah hati, Nis. Justru kamu bikin saya tenang. Kamu tahu nggak? Setiap kali saya pulang ke sini rasa lelah saya hilang. Seberat apa pun tugas saya, kalau sudah ketemu kamu entah kenapa hati ini jadi lebih ringan.”

Terjadi keheningan sejenak. Hanya ada detak jam dinding yang terdengar di antara mereka. Nisa merasakan jantungnya berdetak kencang, sontak wajahnya memanas, hatinya penuh dengan perasaan yang tak bisa didefinisikan.

Dalam hati ia berbisik, Ya Allah, apa ini yang namanya cinta?

Hari-hari berjalan tanpa terasa. Sudah empat bulan usia pernikahan mereka. Tapi, belum ada tanda-tanda kehamilan.

Azhar sendiri jarang menginap di rumah mertua, kebanyakan hanya datang sebentar, meminta haknya, lalu pergi lagi ke rumah dinas. Meski begitu, Nisa tetap setia, tetap sabar, tetap menanti.

Hari ini adalah hari akad nikah Dea dengan Ikram. Azhar tidak hadir dengan alasan dinas dan pulang ke kota.

Nisa tahu, alasannya bukan semata pekerjaan, tapi juga karena terlalu berbahaya bila Azhar muncul di acara itu. Hampir semua tetangga tahu Azhar adalah suaminya, sedangkan Dea adalah sepupunya.

Di balik telepon, Nisa mencoba menenangkan.

“Nggak apa-apa kok Mas, saya paham dengan posisi Mas Azhar. Lagian masih ada Bapak sama saya yang akan mewakili. Dea juga pasti ngerti.”

Azhar terdiam sejenak, lalu suaranya terdengar penuh syukur.

“Alhamdulillah… kamu memang selalu bisa memahami suamimu. Kamu jaga diri baik-baik ya. Jangan terlalu sibuk kerja sampai lupa kesehatanmu. Oya, Mas udah transfer uang, maaf kalau nggak seberapa.”

Nisa menutup matanya rapat-rapat, menahan rindu yang tiba-tiba menghujam dada dan relung hatinya yang paling terdalam.

“InshaAllah, Mas. Terima kasih banyak sudah dikirimkan uang belanja. Tapi Mas, sungguh, saya nggak butuh itu Mas masih punya Mbak Dian dan anak-anak yang juga harus dicukupi.”

Di seberang, suara rengekan Balqis, anak Azhar, terdengar.

“Papa, temani Balqis main dong… Mama capek jagain adek Kintan.”

Nisa terdiam, senyum kecil menghiasi wajahnya. Ada rasa haru sekaligus getir.

Bahagia mendengar Azhar jadi ayah yang baik, tapi juga sadar posisinya hanyalah “bayangan” dalam kehidupan suaminya.

Tak lama, suara Azhar kembali terdengar, sedikit tegas.

“Nisa, Mas matiin telponnya ya. Jangan sekali-kali kamu chat atau nelpon Mas, kamu tahu kan kenapa.”

“Insha Allah, Mas. Saya paham. Fokus saja dengan anak-anak, ya. Saya izin berangkat ke acara Dea dulu. Assalamualaikum.”

Nisa menutup telepon dengan senyum getir. Dadanya sesak, tapi ia menenangkan diri. Ia berdiri di depan cermin, memperhatikan penampilannya.

Semakin hari, semakin cantik ia terlihat, berkat masukan Dea. Setelah merapikan hijab dan menambahkan bros kecil, ia bergumam pelan, “Alhamdulillah sempurna.”

---

Di pesta pernikahan Dea, cibiran mulai terdengar.

“Itu kan Nisa, yang nikah sama supir pribadi,” celetuk seorang ibu dengan nada merendahkan.

“Cantik-cantik tapi sayang, suaminya cuma supir. Wajar lah, bapaknya juga cuma petani,” timpal yang lain.

Nisa menunduk sebentar, tapi segera menegakkan kepala. Bibirnya tersenyum, meski hatinya tertusuk. Ia memilih diam, memilih menelan semua hinaan itu dengan lapang dada.

Dalam hati ia berdoa, Ya Allah, berilah aku kesabaran. Biarlah ucapan mereka jadi ladang pahala untukku.

Untunglah Dea segera menghampirinya dan memeluknya erat.

“Kamu jangan hiraukan mereka, Nis. Mereka itu nggak tahu siapa sebenarnya Mas Azhar. Jujur, kami semua malah iri padamu. Suamimu itu orang yang sangat berada dan pekerjaan bagus. Jauh di atas suamiku bahkan.”

Nisa tersenyum, menggeleng pelan.

“Hush… jangan keras-keras. Ingat pepatah, tembok pun punya telinga. Nggak perlu kita jelaskan apa-apa, biar Allah yang tunjukkan kebenaran nanti.”

Beberapa hari kemudian…

Nisa berdiri terpaku di ambang pintu. Tangannya yang menggenggam rantang bergetar halus, jari-jarinya nyaris kehilangan tenaga.

Senyuman tipis yang coba ia paksakan tergores kaku, lebih menyerupai tameng rapuh untuk menutupi luka yang tiba-tiba mengoyak dadanya.

Dian yang membuka pintu memandangi Nisa dari atas ke bawah dengan sorot mata yang tajam namun terselubung.

Ada garis samar di bibirnya bukan senyum ramah, melainkan lengkungan tipis yang penuh selidik, seakan ingin mengukur, menimbang, dan sekaligus merendahkan.

Dari dalam, langkah berat terdengar mendekat. Beberapa detik kemudian, Azhar muncul. Rambutnya masih basah, tetesan air menuruni pelipis dan lehernya, sementara tubuhnya hanya tertutup handuk sebatas pinggang.

Saat matanya jatuh pada sosok Nisa, sekelebat raut kaget melintas, lalu berubah jadi sesuatu yang sulit terbaca antara bersalah, bingung, dan resah.

Nisa menunduk cepat, tapi sempat menangkap sorot itu. Hatinya seperti diremas.

Nafasnya terasa berat, dadanya naik turun tidak beraturan. Senyum kaku yang tadi ia pertahankan perlahan pudar, berganti guratan getir yang berusaha ia sembunyikan.

Azhar berhenti sejenak, pandangannya bergantian ke arah Nisa dan Dian. Sorot matanya berusaha tenang, tapi rahangnya yang mengeras dan tangan yang mengepal di sisi tubuhnya mengkhianati kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.

Di sisi lain, Dian berdiri tegak. Tatapannya pada Nisa tidak lagi sekadar selidik, melainkan berubah menjadi tatapan penuh kuasa, tatapan seorang istri sah yang merasa wilayahnya baru saja diinjak.

Udara di sekitar mereka seolah membeku. Nisa berdiri dengan tubuh kaku, wajahnya tertunduk, tapi matanya yang berkaca-kaca menyiratkan ribuan kata yang tak mampu diucapkan.

Azhar tampak terperangkap di antara dua dunia antara kewajiban dan rahasia, antara kenyataan dan rasa yang selama ini ia simpan rapat.

Rantang di tangan Nisa semakin berat. Bukan karena isinya, melainkan karena beban perasaan yang menekan dadanya hingga sulit bernapas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!