Bab. 2

“Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Azhar Rifqi Haris bin Abdul Aziz, dengan putri kandung saya, Alfathunisa Husna binti Muhammad Daud, dengan mas kawin satu buah cincin emas, uang senilai lima belas juta rupiah, serta seperangkat alat salat, dibayar tunai,” ucap Pak Daud dengan suara bergetar.

Azhar menjabat erat tangan calon mertuanya. Tatapannya dingin, namun bibirnya tegas mengucapkan, “Saya terima nikah dan kawinnya Alfathunisa Husna binti Muhammad Daud dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!”

“Bagaimana para saksi, sah?” tanya Pak Rusli, penghulu sekaligus imam desa.

“Sah!” serentak dijawab para saksi yang hadir.

Pak Daud tak mampu menahan haru. “Alhamdulillah,” cicitnya sambil menyeka air mata yang mengalir deras. Ia tak pernah membayangkan anak tunggalnya menikah secepat ini, tanpa persiapan adat sebagaimana kebiasaan orang Makassar.

Doa dipimpin dengan khidmat oleh Pak Rusli. Semua hadirin menundukkan kepala, mengamini doa kebaikan bagi kedua mempelai. Rumah sederhana itu menjadi saksi bisu, betapa sebuah pernikahan bisa terjadi begitu tiba-tiba.

Tak ada pesta, tak ada jamuan. Hanya ijab kabul yang sederhana, namun mengikat dua orang asing dalam ikatan yang suci.

Azhar tampil seadanya, hanya mengenakan kemeja putih kusam, celana hitam, dan kopiah. Tangan kirinya masih berbalut perban, tanda luka yang baru saja ditangani tenaga medis. Sementara Nisa duduk dengan gamis putih sederhana—pakaian yang sejatinya disiapkan untuk resepsi sepupunya, Dea. Kini, tanpa rencana, gamis itu menjadi pakaian pengantinnya sendiri.

Air mata tak berhenti jatuh membasahi pipinya. Baru saja siuman dari pingsan, ia langsung menyandang status istri dari lelaki yang sama sekali belum dikenalnya.

Usai para tamu pamit, tersisa hanya keluarga terdekat. Dea menggenggam tangan Nisa dengan mata berkaca-kaca. “Nisa, maafkan aku. Andai aku datang lebih cepat, kejadian ini pasti nggak akan terjadi,” ujarnya penuh sesal.

Nisa tersenyum getir, menyeka air matanya. “Nggak apa-apa, Dea. Mungkin ini memang jalan takdirku. Aku harus siap menjadi istri kedua dari pria yang belum aku cintai,” imbuhnya lirih.

Dea memeluk erat sepupunya itu. “Kamu harus sabar dan kuat. Kami semua ada buat kamu. Insha Allah pernikahanmu akan dipenuhi doa yang baik, sakinah, mawaddah, warahmah,” ucapnya meyakinkan.

“Amin ya Rabbal alamin,” balas Nisa dengan suara bergetar. “Aku akan berusaha jadi istri yang baik, meskipun mungkin cuma enam bulan saja.”

Dea menatapnya dalam-dalam. “Kamu perempuan baik. Jangan pernah merasa sendiri. Kebahagiaan akan datang dengan cara yang nggak selalu kita bayangkan,” serunya sambil menepuk bahu Nisa.

Malam makin larut. Pak Torik mendekati Azhar yang duduk diam dengan wajah tegang. “Nak Azhar, kami tau kamu sudah punya istri. Jangan khawatir, kami akan jaga rahasia ini,” ucapnya pelan.

“Kami janji nggak akan bocorkan ke siapa pun, Pak Azhar,” imbuh Dea ikut meyakinkan.

Pak Torik menatapnya serius. “Mungkin kamu nggak mencintai Nisa. Tapi tolong, jangan sakiti dia. Berlaku adillah pada istri-istrimu,” pesannya dengan nada tegas.

Azhar hanya tersenyum tipis. Tidak ada kata yang keluar, hanya genggaman erat di pelipisnya, menahan pening dan beban berat di dada.

“Ya Allah, semoga saja Dianti nggak pernah tau pernikahan ini. Aku nggak mau menyakiti istriku yang sangat aku cintai,” bisiknya sambil menutup wajah.

---

Larut malam, langkah Azhar membawanya ke kamar Nisa. Awalnya hanya untuk mengambil bantal, namun pandangannya tertumbuk pada sosok istrinya yang sedang bersujud. Nisa tengah menunaikan salat lail. Tubuhnya bergetar, air matanya menetes di atas sajadah.

Azhar duduk di tepi ranjang, memperhatikan kamar sederhana itu. Nisa selesai berdoa, lalu menoleh kaget melihat suaminya duduk di sampingnya.

“Mas Azhar belum tidur? Apa tangannya masih sakit?” tanyanya lembut. Ia mendekat lalu meraih tangan suaminya, menciumnya penuh takzim.

Azhar tertegun. Ia tidak menyangka perempuan asing yang baru dinikahinya memperlakukan dirinya dengan hormat begitu besar.

“Aku mau tidur, tapi bingung mau dimana. Alhamdulillah lukanya sudah agak mendingan,” katanya canggung.

“Tidur di sini aja, Mas. Saya nggak akan ganggu. Nih, saya kasih pembatas biar lebih nyaman,” ucapnya sambil menata bantal di tengah ranjang.

Azhar menatapnya lama, lalu berkata hati-hati, “Apa kita boleh bicara?”

“Silahkan, Mas. Saya dengerin,” balas Nisa dengan senyum tenang.

Azhar menarik napas dalam. Ia keluarkan ponselnya, lalu menunjukkan foto istrinya, Dianti, dan putri kecilnya, Bilqis. “Ini istriku dan anakku. Namanya Bilqis Zahra. Istriku Dianti. Aku sangat mencintai mereka,” ujarnya tegas.

Nisa menatap layar ponsel itu. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Masya Allah, cantik sekali istri Mas. Putrinya juga manis sekali,” pujinya tulus.

Azhar terdiam, hatinya sedikit luluh. “Apa kamu siap berbagi suami? Mungkin aku nggak bisa mencintaimu seperti aku mencintai Dianti,” tanyanya lagi, penuh ragu.

Nisa mengangguk pelan. “Saya sudah siap dengan semua resikonya. Ini jalan yang Allah kasih buat saya. Jadi istri kedua itu bukan pilihan, tapi saya akan berusaha ikhlas,” jawabnya tenang.

Ucapan itu membuat dada Azhar sesak. Ia tak menduga perempuan ini bisa sekuat itu menerima kenyataan pahit. “Mungkin pernikahan ini cuma enam bulan. Setelah itu aku harus balik ke Makassar. Kalau kamu mau ikut, mungkin lebih lama. Tapi ini harus dirahasiakan dari istriku dan orang tuaku,” katanya lirih.

“Kita jalani aja dulu, Mas. Waktu yang akan kasih jawabannya,” ucap Nisa sambil tersenyum getir.

Ia bangkit, mengambil pakaian lama dari lemari. “Ini baju peninggalan Bapak. Maaf seadanya. Besok saya ke pasar belikan yang baru,” ujarnya sambil menyerahkan pakaian itu.

“Udah, nggak usah. Besok ada teman kerja yang bawain barang-barangku,” sahut Azhar cepat.

Nisa dengan sabar membantu suaminya berganti baju. Jemarinya pelan menyentuh perban di lengannya. Azhar memperhatikan wajahnya dari dekat. Ada ketulusan, ada kehangatan yang anehnya membuatnya gugup.

“Makasih, Nisa,” ucapnya pelan.

Nisa tersenyum tipis. “Sama-sama, Mas,” katanya lirih, lalu menunduk menahan rasa canggung.

POV Nisa

Malam itu terasa asing, sunyi sekali. Lampu kamar redup, hanya suara detak jam dinding yang menemani. Aku duduk di ujung ranjang, menatap langit-langit dengan mata bengkak karena terlalu banyak menangis.

Hati ini masih sulit percaya. Baru sore tadi aku hanya seorang gadis biasa, kini sudah menyandang status istri. Dan ironinya, aku istri kedua dari seorang pria yang sama sekali tak kukenal.

Aku menarik napas panjang lalu menghela, lirih berdoa dalam hati, “Ya Allah, kalau ini jalan yang Kau pilihkan, tolong beri aku kekuatan. Jangan biarkan aku benci dengan takdirku sendiri. Bimbing aku untuk tetap ikhlas, meski hatiku hancur.”

Aku menoleh sekilas, melihat Mas Azhar sudah terlelap dengan tubuh setengah miring. Bantal pembatas ada di antara kami. Sosoknya tenang, dingin, seakan tak terganggu sama sekali dengan pernikahan mendadak ini.

Air mataku kembali jatuh. Aku berbisik pada diri sendiri, “Aku nggak akan pernah jadi cintanya. Tapi aku akan berusaha jadi istri yang baik. Mungkin hanya sebentar, enam bulan, tapi aku ingin bisa meninggalkan kesan bahwa aku nggak sia-sia pernah ada di hidupnya.”

Pelan aku menarik selimut, menutup tubuhku. Rasa takut, canggung, dan sedih bercampur.

Sebelum mataku benar-benar terpejam, aku kembali menengadah, “Ya Rabb, kalaupun aku tidak dicintai suamiku, tolong jadikan aku tetap pantas di hadapan-Mu.”

Air mata menetes, membasahi bantal. Malam pertamaku bukan dengan senyum bahagia, tapi dengan doa panjang yang lirih.

---

POV Azhar

Aku tidak bisa tidur meski mataku terpejam. Napasku berat. Bantal di antara kami seperti tembok besar yang membatasi, tapi justru aku tahu, tembok yang sebenarnya adalah hatiku sendiri.

Aku menoleh sekilas ke arahnya. Nisa sudah memejamkan mata, tapi aku bisa melihat jelas pipinya masih basah oleh air mata. Dadaku sesak melihatnya begitu tegar dalam diam.

Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. “Ya Allah, apa yang sudah aku lakukan? Aku punya istri yang sangat aku cintai di Makassar, Dianti. Aku punya anak yang menungguku di rumah. Tapi sekarang aku malah menikahi perempuan lain yang nggak salah apa-apa.”

Hati kecilku menjerit, “Aku cinta mati sama Dianti, aku nggak sanggup kalau dia tau. Tapi aku juga nggak tega biarin Nisa merasa dibuang begitu aja.”

Aku bangkit sebentar, berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Perasaan ini kacau sekali. Rasa bersalah, cinta, tanggung jawab, semuanya bercampur jadi satu.

Aku menatap wajah Nisa sekali lagi. Ia tampak damai, seolah menyerahkan seluruh dirinya pada Tuhan. Dalam diam aku kagum. Betapa perempuan ini kuat, betapa ia menerima nasib yang begitu pahit dengan ikhlas.

“Maafkan aku, Nisa,” bisikku lirih. “Aku nggak bisa janji mencintaimu. Tapi aku janji nggak akan menyakitimu.”

Aku kembali berbaring, memalingkan wajah ke arah tembok. Malam itu, aku tertidur dengan hati yang penuh pergolakan antara cinta yang tak tergantikan dan tanggung jawab yang tak bisa dihindarkan.

Terpopuler

Comments

Eva Karmita

Eva Karmita

😭 yg kuat Nisa.... Azhar plesss kalau kamu memang mencintai istri dan anak mu tolong jangan sampai kamu nyentuh Nisa kasihan Nisa anak yang baik kan kamu udah ngomong ngk bakalan jatuh cinta dengan Nisa

2025-08-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!