NovelToon NovelToon

Dipaksa Menjadi Istri Kedua

Bab. 1

“Pak, saya izin ke kali yah. Cucian udah numpuk, jadi mungkin agak sore baru balik,” pamit seorang gadis muda sambil menjinjing buntelan besar berisi pakaian kotor.

Pria yang dipanggil bapak itu menoleh, wajahnya penuh keringat karena sejak pagi ia sibuk memupuk jagung di ladang.

Dia menyeka keningnya dengan ujung lengan baju sebelum bertanya pelan, “Kenapa mesti nyuci di kali, Nak? Kan bisa di sumur saja. Jauh sekali jalannya.”

Nisa, putri semata wayangnya, hanya tersenyum tipis. “Banyak orang ngantri di sumur, Pak. Kalau ditunda, cucian makin menumpuk. Lagi pula ada Dea yang temanin, jadi nggak sendirian,” jawabnya lirih.

Pak Daud menghela napas, sorot matanya sendu. “Kalau begitu hati-hati, Nak. Jangan terlalu lama, selesai langsung pulang.”

“Iya Pak, Nisa pamit dulu,” sahutnya sambil menyambut kedatangan Dea, sahabatnya sejak kecil, yang juga menenteng tumpukan cucian.

Mereka berjalan beriringan menyusuri jalan tanah yang menurun ke arah kali. Musim kemarau membuat banyak sumur mengering.

Warga tak punya pilihan lain selain memanfaatkan air kali yang jaraknya cukup jauh dari pemukiman.

Di sepanjang perjalanan, canda ringan terdengar di antara mereka. Dea bercerita tentang rencana pernikahannya bulan depan dengan Ikram, kekasihnya yang seorang prajurit TNI.

“Undangan sudah jadi?” tanya Nisa hati-hati menuruni jalan setapak.

“Alhamdulillah, sudah. Besok mulai disebar,” jawab Dea dengan mata berbinar.

“Terus, nanti kamu ikut Ikram ke Makassar?” selidik Nisa lagi sambil meletakkan buntelan cucinya di atas batu besar.

Dea menggeleng. “Belum tentu. Ikram masih tugas di sini. Kalau pindah barulah saya ikut.”

Sambil mencuci, percakapan mereka mengalir santai, kadang diselingi tawa kecil. Namun, waktu berjalan cepat. Matahari sudah condong ke barat, langit berubah jingga.

Dea sudah menyelesaikan cucian, sementara Nisa masih berkutat dengan beberapa helai baju yang kotor sekali.

“Nisa, saya udah selesai. Kamu masih lama?” tanya Dea.

“Masih ada sedikit. Kamu pulang dulu nggak apa-apa kok,” jawab Nisa lembut.

Dea menolak, tapi kemudian teringat sesuatu. “Saya ke rumah Tante Ratna sebentar yah, mau buang air. Dekat sini kok.”

Nisa mengangguk. “Ya sudah, saya tunggu. Paling pas kamu balik, cucian saya sudah selesai.”

Senja makin pekat. Jam sudah menunjukkan lewat pukul lima. Kali mulai gelap, suasana hening. Nisa membereskan cuciannya, tapi Dea tak kunjung kembali.

“Kenapa lama sekali? Masa dia langsung pulang? Tapi cucian Dea masih di sini,” gumamnya gusar.

Ia mondar-mandir gelisah. Tiba-tiba, teriakan pecah dari kejauhan.

“Tolooong!”

Nisa terperanjat. Jantungnya berdegup keras. “Astaghfirullah… suara siapa itu? Ya Allah, jangan-jangan ada orang celaka yang butuh bantuan, tapi siapa?”

Ia menajamkan pendengaran, lalu melangkah cepat menyusuri pinggiran kali. Dalam remang senja, matanya menangkap bayangan samar sesosok tubuh terapung.

“Allahu Akbar! Itu orang!” jeritnya, lalu tanpa pikir panjang ia terjun ke kali.

Air dingin menyergap tubuhnya, namun ia terus berenang sekuat tenaga hingga berhasil meraih tubuh pria itu. Dengan susah payah, ia menyeretnya ke tepi kali.

“Apa bapak baik-baik saja?” Nisa menepuk pipi pria itu.

“Sa…ya… baik,” suaranya lirih, terputus-putus.

Begitu sampai di darat, Nisa baru menyadari tangan pria itu berlumuran darah. Luka dalam, seperti sabetan senjata tajam.

“Ya Allah!” desisnya panik. Kepalanya langsung berkunang. Sejak kecil ia phobia darah, tubuhnya otomatis gemetar.

Tapi ia menahan diri. “Saya nggak boleh pingsan. Nyawa orang ini harus diselamatkan.”

Dengan langkah goyah, Nisa mencari dedaunan yang bisa digunakan sebagai penahan darah. Ia menumbuknya, lalu kembali ke sisi pria itu.

“Pak, tahan yah. Sakit sedikit, tapi semoga darahnya berhenti,” bisiknya sambil menempelkan ramuan daun dan mengikatnya dengan sobekan gamisnya.

Pria itu meringis, namun matanya menatap Nisa penuh syukur. “Kamu… baik sekali. Kita nggak saling kenal, tapi ka-mu mau menolong sa-ya.”

Nisa tersenyum samar walau wajahnya pucat. “Sesama manusia harus saling bantu nggak usah dibahas itu sudah kewajiban, Pak.”

Belum sempat ia berdiri tegak, kepalanya terasa semakin berat. Tubuhnya limbung.dan jatuh menimpa paha pria itu.

Brukk!

Saat itulah, suara langkah tergesa datang. Pak Daud, Pak Torik, dan Dea muncul bersamaan.

“Nisaa!!” teriak Pak Daud histeris melihat putrinya tergeletak.

Pak Torik matanya membelalak, lalu menunjuk pria itu dengan geram.

“Hei! Apa yang kamu lakukan pada anaknya Pak Daud!”

Pria itu tergopoh, mencoba menjelaskan. “Pak, demi Allah, saya tidak,”

“Jangan bawa-bawa nama Allah!” potong Pak Torik. “Kami bertiga lihat sendiri kau memeluknya dalam keadaan tak sadarkan diri! Ini jelas-jelas perbuatan aib!”

Dea ikut menjerit kaget saat melihat noda darah di gamis Nisa. “Astaghfirullah ada bercak darah di bajunya! Apa yang kamu lakukan ke temanku!”

Pak Daud lemas, air matanya jatuh. “Ya Allah… Nisa… Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?”

Pak Torik menghela napas panjang lalu menatap Pak Daud. “Kalau begini, sebelum kabar ini tersebar, lebih baik dinikahkan saja malam ini juga. Supaya tidak menimbulkan fitnah.”

“Tapi… saya sudah menikah, Pak,” lirih pria itu, tubuhnya semakin lemah.

Kalimat itu membuat semua orang terdiam. Pak Daud menatap kosong, semakin putus asa.

“Menikah atau tidak, kau tetap harus tanggung jawab! Kalau tidak, kami laporkan kau ke polisi atas tindakan asusila!” bentak Pak Torik.

Pria itu terengah-engah, menahan sakit di lengannya yang terus mengucur darah.

“Pak… sungguh ini kesalahpahaman saya berani bersumpah tidak melakukan hal-hal yang tidak baik,” protesnya pria itu yang tak terima dituding melakukan perbuatan jelek.

Belum selesai kalimatnya, tubuhnya ambruk tak sadarkan diri.

“Argh tidak!!”

Semua orang sontak panik. Dea berteriak, Pak Daud berlutut sambil mengguncang tubuh Nisa yang masih pingsan, sementara Pak Torik mengusap wajahnya dengan gusar.

Suasana senja di tepi kali itu mendadak berubah mencekam antara darah, tuduhan, fitnah, dan nyawa yang dipertaruhkan.

Pak Daud berlari mendekat, napasnya tersengal. Ia melihat putrinya yang terkulai di pangkuan seorang lelaki asing yang sudah lemah penuh darah.

“Nisa! Ya Allah, kenapa anakku bisa begini?” serunya dengan mata yang memerah.

Dea ikut panik, langsung memeluk sahabatnya. “Pak, Nisa pingsan. Lihat pakaiannya, ada darah di sini,” ucapnya terbata.

“Cepat kita bawa pulang dulu. Kalau dibiarkan di sini bisa tambah parah,” ujar Pak Daud sambil mengangkat tubuh putrinya dengan hati-hati.

Sementara itu, pria yang ditolong Nisa hampir tidak sanggup bergerak setelah pingsan beberapa saat dan sadar karena dibangunkan dan tatapannya kabur dan pendengarannya samar-samar. Pak Torik menatapnya dengan curiga.

“Kenapa dia bisa bareng sama Nisa di tempat sepi begini? Jangan-jangan memang ada yang dia lakukan,” ujarnya dengan nada tajam.

Pria itu mencoba bicara, suaranya lemah, “Pak… saya tidak… ini semua salah paham.”

“Diam! Kalau bukan karena kamu, anaknya Daud nggak mungkin sampai kayak gini,” bentak Pak Torik.

Pria itu kembali pingsan setelah tersadar beberapa saat.

Dengan kondisi genting, mereka beramai-ramai membawa Nisa dan pria itu ke rumah Pak Daud. Suasana rumah sederhana itu berubah panik. Beberapa tetangga yang melihat mulai berbisik-bisik, bisikan yang mengiris hati.

“Kenapa ada laki-laki asing diangkat masuk rumah Daud?” tanya seorang ibu yang kebetulan lewat.

“Lihat tuh baju anaknya, penuh bercak darah. Jangan-jangan…” sahut yang lain dengan wajah penuh tanda tanya.

Bisikan itu sampai ke telinga Pak Daud. Ia terdiam, hatinya semakin berat. Di dalam rumah, Nisa direbahkan di atas kasur. Dea sibuk menempelkan kain basah di kening sahabatnya.

“Pak, kita harus cepat bawa lelaki itu ke puskesmas. Kalau tidak, lukanya bisa makin parah,” ucap Dea.

Akhirnya dengan tenaga seadanya, Pak Daud dan Pak Torik menggotong lelaki itu menuju puskesmas terdekat. Perjalanan malam itu terasa panjang. Sesampainya di sana, perawat langsung sigap menolong.

Namun, saat menunggu di ruang tunggu, ketegangan semakin terasa.

Pak Torik bersuara lantang, “Daud, kamu sadar nggak? Kalau orang-orang tahu anakmu ditemukan pingsan bareng lelaki asing, ditambah ada darah di bajunya, pasti mereka berpikir macam-macam.”

“Jangan asal bicara, Torik. Aku tahu anakku,” jawab Pak Daud lirih tapi penuh tekanan.

“Tahu? Kalau kamu benar kenal anakmu, kenapa bisa terjadi hal begini? Orang-orang bisa saja menuduh yang tidak-tidak. Nama baik keluarga kita bisa rusak. Jalan satu-satunya ya cuma satu, nikahkan mereka!” tegasnya.

Dea yang duduk di samping Nisa ikut menimpali, “Tapi Pak, gimana kalau benar ini cuma salah paham? Saya yakin Nisa nggak mungkin macam-macam.”

“Dea, bukannya kamu tadi sendiri yang lihat ada noda darah di bajunya Nisa? Itu bukti nyata! Apa mau bilang semua itu kebetulan?” sahut Pak Torik makin keras.

Pak Daud menunduk, wajahnya kusut. Pikirannya campur aduk antara menyelamatkan nama baik keluarga atau mempercayai putrinya.

Tidak lama, seorang perawat keluar membawa kabar. “Lelaki itu kondisinya stabil, tapi butuh perawatan lebih lanjut. Kalau terlambat sedikit tadi, bisa kehilangan banyak darah,” ujarnya.

Pak Torik malah memanfaatkan kabar itu untuk menekan. “Lihat kan, dia bersama anakmu saat kejadian. Orang bisa menuduh Nisa yang jadi penyebab. Sebelum gosip makin liar, kita selesaikan malam ini juga. Nikahkan mereka, biar jelas!”

Pak Daud terdiam lama, matanya berkaca-kaca. Ia menatap pintu ruang perawatan, lalu menoleh ke arah putrinya yang masih lemah. Hatinya seperti diiris.

“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?” lirihnya penuh sesak.

Suasana ruang tunggu itu mencekam. Kata-kata Pak Torik menggantung berat di udara, dan setiap orang tahu, keputusan malam itu akan mengubah seluruh hidup Nisa.

Bab. 2

“Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Azhar Rifqi Haris bin Abdul Aziz, dengan putri kandung saya, Alfathunisa Husna binti Muhammad Daud, dengan mas kawin satu buah cincin emas, uang senilai lima belas juta rupiah, serta seperangkat alat salat, dibayar tunai,” ucap Pak Daud dengan suara bergetar.

Azhar menjabat erat tangan calon mertuanya. Tatapannya dingin, namun bibirnya tegas mengucapkan, “Saya terima nikah dan kawinnya Alfathunisa Husna binti Muhammad Daud dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!”

“Bagaimana para saksi, sah?” tanya Pak Rusli, penghulu sekaligus imam desa.

“Sah!” serentak dijawab para saksi yang hadir.

Pak Daud tak mampu menahan haru. “Alhamdulillah,” cicitnya sambil menyeka air mata yang mengalir deras. Ia tak pernah membayangkan anak tunggalnya menikah secepat ini, tanpa persiapan adat sebagaimana kebiasaan orang Makassar.

Doa dipimpin dengan khidmat oleh Pak Rusli. Semua hadirin menundukkan kepala, mengamini doa kebaikan bagi kedua mempelai. Rumah sederhana itu menjadi saksi bisu, betapa sebuah pernikahan bisa terjadi begitu tiba-tiba.

Tak ada pesta, tak ada jamuan. Hanya ijab kabul yang sederhana, namun mengikat dua orang asing dalam ikatan yang suci.

Azhar tampil seadanya, hanya mengenakan kemeja putih kusam, celana hitam, dan kopiah. Tangan kirinya masih berbalut perban, tanda luka yang baru saja ditangani tenaga medis. Sementara Nisa duduk dengan gamis putih sederhana—pakaian yang sejatinya disiapkan untuk resepsi sepupunya, Dea. Kini, tanpa rencana, gamis itu menjadi pakaian pengantinnya sendiri.

Air mata tak berhenti jatuh membasahi pipinya. Baru saja siuman dari pingsan, ia langsung menyandang status istri dari lelaki yang sama sekali belum dikenalnya.

Usai para tamu pamit, tersisa hanya keluarga terdekat. Dea menggenggam tangan Nisa dengan mata berkaca-kaca. “Nisa, maafkan aku. Andai aku datang lebih cepat, kejadian ini pasti nggak akan terjadi,” ujarnya penuh sesal.

Nisa tersenyum getir, menyeka air matanya. “Nggak apa-apa, Dea. Mungkin ini memang jalan takdirku. Aku harus siap menjadi istri kedua dari pria yang belum aku cintai,” imbuhnya lirih.

Dea memeluk erat sepupunya itu. “Kamu harus sabar dan kuat. Kami semua ada buat kamu. Insha Allah pernikahanmu akan dipenuhi doa yang baik, sakinah, mawaddah, warahmah,” ucapnya meyakinkan.

“Amin ya Rabbal alamin,” balas Nisa dengan suara bergetar. “Aku akan berusaha jadi istri yang baik, meskipun mungkin cuma enam bulan saja.”

Dea menatapnya dalam-dalam. “Kamu perempuan baik. Jangan pernah merasa sendiri. Kebahagiaan akan datang dengan cara yang nggak selalu kita bayangkan,” serunya sambil menepuk bahu Nisa.

Malam makin larut. Pak Torik mendekati Azhar yang duduk diam dengan wajah tegang. “Nak Azhar, kami tau kamu sudah punya istri. Jangan khawatir, kami akan jaga rahasia ini,” ucapnya pelan.

“Kami janji nggak akan bocorkan ke siapa pun, Pak Azhar,” imbuh Dea ikut meyakinkan.

Pak Torik menatapnya serius. “Mungkin kamu nggak mencintai Nisa. Tapi tolong, jangan sakiti dia. Berlaku adillah pada istri-istrimu,” pesannya dengan nada tegas.

Azhar hanya tersenyum tipis. Tidak ada kata yang keluar, hanya genggaman erat di pelipisnya, menahan pening dan beban berat di dada.

“Ya Allah, semoga saja Dianti nggak pernah tau pernikahan ini. Aku nggak mau menyakiti istriku yang sangat aku cintai,” bisiknya sambil menutup wajah.

---

Larut malam, langkah Azhar membawanya ke kamar Nisa. Awalnya hanya untuk mengambil bantal, namun pandangannya tertumbuk pada sosok istrinya yang sedang bersujud. Nisa tengah menunaikan salat lail. Tubuhnya bergetar, air matanya menetes di atas sajadah.

Azhar duduk di tepi ranjang, memperhatikan kamar sederhana itu. Nisa selesai berdoa, lalu menoleh kaget melihat suaminya duduk di sampingnya.

“Mas Azhar belum tidur? Apa tangannya masih sakit?” tanyanya lembut. Ia mendekat lalu meraih tangan suaminya, menciumnya penuh takzim.

Azhar tertegun. Ia tidak menyangka perempuan asing yang baru dinikahinya memperlakukan dirinya dengan hormat begitu besar.

“Aku mau tidur, tapi bingung mau dimana. Alhamdulillah lukanya sudah agak mendingan,” katanya canggung.

“Tidur di sini aja, Mas. Saya nggak akan ganggu. Nih, saya kasih pembatas biar lebih nyaman,” ucapnya sambil menata bantal di tengah ranjang.

Azhar menatapnya lama, lalu berkata hati-hati, “Apa kita boleh bicara?”

“Silahkan, Mas. Saya dengerin,” balas Nisa dengan senyum tenang.

Azhar menarik napas dalam. Ia keluarkan ponselnya, lalu menunjukkan foto istrinya, Dianti, dan putri kecilnya, Bilqis. “Ini istriku dan anakku. Namanya Bilqis Zahra. Istriku Dianti. Aku sangat mencintai mereka,” ujarnya tegas.

Nisa menatap layar ponsel itu. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Masya Allah, cantik sekali istri Mas. Putrinya juga manis sekali,” pujinya tulus.

Azhar terdiam, hatinya sedikit luluh. “Apa kamu siap berbagi suami? Mungkin aku nggak bisa mencintaimu seperti aku mencintai Dianti,” tanyanya lagi, penuh ragu.

Nisa mengangguk pelan. “Saya sudah siap dengan semua resikonya. Ini jalan yang Allah kasih buat saya. Jadi istri kedua itu bukan pilihan, tapi saya akan berusaha ikhlas,” jawabnya tenang.

Ucapan itu membuat dada Azhar sesak. Ia tak menduga perempuan ini bisa sekuat itu menerima kenyataan pahit. “Mungkin pernikahan ini cuma enam bulan. Setelah itu aku harus balik ke Makassar. Kalau kamu mau ikut, mungkin lebih lama. Tapi ini harus dirahasiakan dari istriku dan orang tuaku,” katanya lirih.

“Kita jalani aja dulu, Mas. Waktu yang akan kasih jawabannya,” ucap Nisa sambil tersenyum getir.

Ia bangkit, mengambil pakaian lama dari lemari. “Ini baju peninggalan Bapak. Maaf seadanya. Besok saya ke pasar belikan yang baru,” ujarnya sambil menyerahkan pakaian itu.

“Udah, nggak usah. Besok ada teman kerja yang bawain barang-barangku,” sahut Azhar cepat.

Nisa dengan sabar membantu suaminya berganti baju. Jemarinya pelan menyentuh perban di lengannya. Azhar memperhatikan wajahnya dari dekat. Ada ketulusan, ada kehangatan yang anehnya membuatnya gugup.

“Makasih, Nisa,” ucapnya pelan.

Nisa tersenyum tipis. “Sama-sama, Mas,” katanya lirih, lalu menunduk menahan rasa canggung.

POV Nisa

Malam itu terasa asing, sunyi sekali. Lampu kamar redup, hanya suara detak jam dinding yang menemani. Aku duduk di ujung ranjang, menatap langit-langit dengan mata bengkak karena terlalu banyak menangis.

Hati ini masih sulit percaya. Baru sore tadi aku hanya seorang gadis biasa, kini sudah menyandang status istri. Dan ironinya, aku istri kedua dari seorang pria yang sama sekali tak kukenal.

Aku menarik napas panjang lalu menghela, lirih berdoa dalam hati, “Ya Allah, kalau ini jalan yang Kau pilihkan, tolong beri aku kekuatan. Jangan biarkan aku benci dengan takdirku sendiri. Bimbing aku untuk tetap ikhlas, meski hatiku hancur.”

Aku menoleh sekilas, melihat Mas Azhar sudah terlelap dengan tubuh setengah miring. Bantal pembatas ada di antara kami. Sosoknya tenang, dingin, seakan tak terganggu sama sekali dengan pernikahan mendadak ini.

Air mataku kembali jatuh. Aku berbisik pada diri sendiri, “Aku nggak akan pernah jadi cintanya. Tapi aku akan berusaha jadi istri yang baik. Mungkin hanya sebentar, enam bulan, tapi aku ingin bisa meninggalkan kesan bahwa aku nggak sia-sia pernah ada di hidupnya.”

Pelan aku menarik selimut, menutup tubuhku. Rasa takut, canggung, dan sedih bercampur.

Sebelum mataku benar-benar terpejam, aku kembali menengadah, “Ya Rabb, kalaupun aku tidak dicintai suamiku, tolong jadikan aku tetap pantas di hadapan-Mu.”

Air mata menetes, membasahi bantal. Malam pertamaku bukan dengan senyum bahagia, tapi dengan doa panjang yang lirih.

---

POV Azhar

Aku tidak bisa tidur meski mataku terpejam. Napasku berat. Bantal di antara kami seperti tembok besar yang membatasi, tapi justru aku tahu, tembok yang sebenarnya adalah hatiku sendiri.

Aku menoleh sekilas ke arahnya. Nisa sudah memejamkan mata, tapi aku bisa melihat jelas pipinya masih basah oleh air mata. Dadaku sesak melihatnya begitu tegar dalam diam.

Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. “Ya Allah, apa yang sudah aku lakukan? Aku punya istri yang sangat aku cintai di Makassar, Dianti. Aku punya anak yang menungguku di rumah. Tapi sekarang aku malah menikahi perempuan lain yang nggak salah apa-apa.”

Hati kecilku menjerit, “Aku cinta mati sama Dianti, aku nggak sanggup kalau dia tau. Tapi aku juga nggak tega biarin Nisa merasa dibuang begitu aja.”

Aku bangkit sebentar, berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Perasaan ini kacau sekali. Rasa bersalah, cinta, tanggung jawab, semuanya bercampur jadi satu.

Aku menatap wajah Nisa sekali lagi. Ia tampak damai, seolah menyerahkan seluruh dirinya pada Tuhan. Dalam diam aku kagum. Betapa perempuan ini kuat, betapa ia menerima nasib yang begitu pahit dengan ikhlas.

“Maafkan aku, Nisa,” bisikku lirih. “Aku nggak bisa janji mencintaimu. Tapi aku janji nggak akan menyakitimu.”

Aku kembali berbaring, memalingkan wajah ke arah tembok. Malam itu, aku tertidur dengan hati yang penuh pergolakan antara cinta yang tak tergantikan dan tanggung jawab yang tak bisa dihindarkan.

Bab. 3.

Azhar berbaring gelisah di atas ranjang. Tangannya yang terluka membuatnya sulit bergerak leluasa, ditambah lagi ia tak bisa tidur nyenyak jika udara kamar terasa pengap.

Dia sudah berkali-kali memiringkan tubuh, mengguling ke kanan dan kiri, tapi tetap saja mata ini enggan terpejam.

“Kenapa selalu begini sih… nggak bisa tidur pulas kalau nggak pake AC,” gumamnya lirih, suara penuh frustasi.

Dengan hati-hati, ia bangkit. Gerakannya lamban, seolah sedang bergerak dalam rekaman slow motion.

Bukan karena malas, melainkan agar tidak menimbulkan suara yang bisa mengganggu tidur Nisa istrinya yang sudah lelap di sisi ranjang.

Pandangan matanya kemudian terarah ke sudut kamar. Di sana, sebuah kipas angin berwarna hitam berdiri. Bibir Azhar perlahan melengkung, sebuah senyum kecil yang penuh harapan.

“Alhamdulillah… cuman kipas juga nggak apa-apa. Semoga adem,” desisnya pelan, lalu ia nyalakan kipas itu sebelum kembali masuk ke kelambu biru langit.

Begitu udara mulai berhembus, dada Azhar terasa sedikit lega. Walau tangannya nyeri setiap kali bergerak, setidaknya hawa panas tak lagi mencekik.

Ia melirik sekilas ke arah Husnah yang masih pulas, lalu menghela napas panjang.

“Yang penting tenang nggak perlu ganggu tidurmu,” bisiknya lembut.

---

Pagi pun tiba. Fajar baru saja merekah ketika Nisa sudah bangun. Ia berwudhu, menunaikan shalat Subuh dengan khusyuk, lalu bergegas ke dapur.

Tangannya cekatan, menimba air dari sumur untuk mengisi bak mandi, sebelum mulai menyiapkan sarapan untuk bapaknya dan juga sang suami.

Tak lama, langkah Pak Daud terdengar di halaman belakang. Lelaki paruh baya itu menghampiri putrinya yang sedang menimba air.

“Nis… kenapa nggak bangunin Bapak aja kalau mau isi bak mandi? Kasihan kamu sendirian,” tegurnya sambil menaruh beberapa kantong kresek hitam ke tanah.

Nisa menoleh, keringatnya menetes di kening. “Nggak apa-apa, Pak. Sudah biasa. Lagian bapak dari mana pagi-pagi begini?”

“Dari pasar,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Tadinya mau bangunin kamu, biar bisa bareng belanja. Tapi Bapak lihat kamu masih tidur, jadi langsung pergi saja.”

Mata Nisa berbinar. Ia meraih kantong kresek itu, lalu menatap bapaknya dengan haru.

“Masya Allah, Bapak beliin semua kebutuhan pokok padahal saya tadi rencananya mau ke pasar agak siangan.”

Pak Daud terkekeh. “Bapak paham apa yang kamu inginkan, Nak.”

Seketika Nisa memeluk tubuh bapaknya erat. Lelaki itu masih gagah meski usianya sudah melewati lima puluh tahun.

“Ya Allah, sehat-sehat teruslah Bapak. Panjang umurki, hanya Bapak yang saya punya di dunia ini,” ucapnya lirih, suara bergetar karena air matanya sudah mengalir.

Pak Daud menepuk punggung putrinya lembut. “Sudahlah, jangan cengeng. Nih, ada beberapa potong baju buat suamimu. Semoga cocok dipakainya.”

Nisa terdiam, tersentuh oleh perhatian sederhana itu.

---

Di dapur, ia mulai menata bahan belanjaan bapaknya. Udang segar, daging ayam, sapi, ikan semuanya lengkap.

Setelah menaruh sebagian di kulkas, ia menyiapkan menu untuk pagi ini.

“Mas Azhar sukanya apa, ya? Kemarin saya lupa nanya…” gumamnya, mengernyit kecil.

Ia berpikir sejenak, lalu tersenyum.

“Kayaknya enak kalau masak sup kimlo, ayam lalapan, sama udang tepung. Ditambah gulai udang biar lebih mantap. Semoga aja dia suka.”

Tangannya lincah mengupas, memotong, menumis. Nisa tak terlihat gugup sedikit pun. Baginya, dapur adalah dunia yang akrab, tempat ia bisa mencurahkan kasih dan tenaganya tanpa mengeluh.

---

Jam menunjuk pukul tujuh lebih sedikit. Azhar baru terbangun ketika aroma harum tumisan bumbu menyeruak ke dalam kamar. Ia bangkit pelan, berjalan menuju dapur.

Dari ambang pintu, ia berhenti. Pandangannya terhenti pada sosok istrinya yang sibuk memasak, wajahnya teduh diterpa cahaya pagi.

Azhar hanya berdiri terpaku. Ada rasa kagum yang menyelusup diam-diam ke dalam hatinya.

Namun ketenangan itu terputus ketika terdengar ketukan pintu depan. Azhar buru-buru beranjak, membuka pintu, dan mendapati seorang pria berwajah santai tersenyum lebar.

“Kenapa sekalian tahun depan baru muncul kemari!” sindir Azhar ketus.

Pria itu terkekeh tanpa malu. “Hehe, maaf, Pak Mayor. Baru sempat. Soalnya dapat kabar telat kalau Bapak nggak di rumah dinas.”

“Kamu ini selalu saja terlambat bergerak,” balas Azhar sambil mengambil koper dan ransel dari tangan pria itu.

Dari dapur, Nisa muncul sambil mengelap tangannya. Melihat tamu suaminya, ia langsung tersenyum ramah.

“Eh, Mas… ada tamu toh? Kenapa nggak diajak masuk sekalian. Biar makan pagi sama-sama.”

Azhar mendesah. “Pak Ikram katanya sudah kenyang.”

Ikram langsung menyela sambil tergelak. “Hehe… sebenarnya belum kenyang sih, Mbak. Tadi cuma sempat sarapan kue sama teh.”

Nisa tersenyum lembut. “Kalau begitu ayo, Pak Ikram. Biar lebih ramai. Kalau cuma berdua kan sepi.”

Mata Ikram berbinar, langsung setuju. Azhar hanya bisa menghela napas, menahan kesal melihat gaya cengengesannya.

---

Di meja makan, hidangan sudah tersaji lengkap yaitu berbagai macam masakan yang terkadang dimasaknya, yaitu ada gulai udang telur puyuh, udang goreng tepung, sup kimlo, ayam goreng, tahu-tempe, lalapan.

“Masya Allah… Mbak Nisa, ini sih sudah lebih mewah daripada makanan di rumah dinas!” puji Ikram sambil cepat-cepat menyendok nasi dan lauk.

Azhar menatapnya tajam. “Makan dulu yang bener. Jangan banyak omong.”

Nisa tersenyum, menatap suaminya lembut. “Nggak apa-apa, Mas. Itu tandanya Pak Ikram suka masakan saya.”

Nisa terdiam, menyimak dengan hati yang pelan-pelan diliputi rasa minder. Ia baru tahu keluarga suaminya ternyata berpendidikan tinggi, pekerjaannya mapan, sementara dirinya hanya lulusan SMA yang bahkan gagal kuliah karena harus mengurus ibunya yang sakit.

Nisa terdiam. Ia pura-pura sibuk mengaduk sup, padahal hatinya seperti diremas.

“Keluarga Mas Azhar hebat-hebat semua Mbak Dianti, Bella bahkan adik iparnya pun sudah dokter, perawat, atau kerja di kota besar. Sedangkan aku? Hanya lulusan SMA, bahkan kuliah pun gagal karena harus merawat Ibu dulu. Apa aku pantas jadi bagian keluarga mereka? Apa mereka akan menganggapku remeh?”

Ia menunduk, menahan rasa minder yang menyelinap, tapi kemudian menguatkan hatinya.

“Tidak, Nisa jangan kalah. Tugasmu sekarang adalah menjadi istri yang baik. Mas Azhar sudah memilihmu. Itu berarti ada alasan Tuhan menempatkanmu di sisinya. Kamu harus percaya diri.”

Ia tersenyum samar, berusaha menutupi rasa rendah diri yang tiba-tiba menyergap.

Setelah telepon selesai, Azhar dan Ikram bergegas. Hari itu ada pekerjaan penting di kantor, dan Azhar sudah merasa cukup kuat untuk ikut meski tangannya masih terluka.

Nisa menyambut mereka di pintu, mengecup tangan suaminya penuh takzim.

“Hati-hati di jalan, Mas.”

Pak Daud baru saja pulang dari sawah ketika melihat menantunya bersiap berangkat.

Ia mengangguk penuh wibawa, sementara Nisa hanya bisa menatap punggung suaminya yang kian menjauh, dengan doa lirih yang hanya ia dan Tuhan yang tahu.

Pak Daud berdiri di teras, keringat dari sawah masih menetes di pelipisnya. Pandangannya mengikuti langkah Azhar dan Ikram yang sudah bergegas meninggalkan rumah.

Di sampingnya, Nisa masih berdiri, menunduk penuh hormat sambil menahan perasaan.

Pak Daud menarik napas panjang, lalu menatap langit yang memutih oleh terik siang. Dalam hatinya, doa yang selama ini terpendam kembali menyeruak.

"Ya Allah… Engkau Maha Tahu jalan hidup anakku. Nisa bukan gadis yang sempurna, bukan pula perempuan yang berpendidikan tinggi seperti yang lain. Tapi Engkau tahu betul betapa besar hatinya untuk keluarga. Dari kecil dia lebih sering memikirkan ibunya yang sakit, bahkan rela berhenti sekolah demi merawatnya. Dan kini, dia Kau takdirkan menjadi istri kedua dari seorang perwira yang disegani banyak orang. Rahasia pernikahan ini hanya kami yang tahu, hanya Engkau yang benar-benar paham."

Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat menyembunyikannya.

"Ya Rabb, jangan biarkan anakku dihina atau direndahkan. Lindungi hatinya agar tidak patah oleh cibiran dunia. Jadikanlah Mas Azhar benar-benar pelindung sekaligus penuntun bagi Nisa, bukan sekadar nama yang disandang di buku nikah. Mudahkanlah langkah mereka, satukan cinta mereka dalam ridha-Mu, dan jangan biarkan air mata anakku jatuh sia-sia."

Pak Daud menoleh sekilas pada Nisa yang masih menatap jalanan kosong, kedua tangannya terlipat rapi di depan dada.

Senyum tipis terbit di wajahnya, seakan ia ingin menyembunyikan segala rasa minder yang tadi bergejolak.

Pak Daud menepuk bahu putrinya lembut.

“Nak, bapak nggak punya apa-apa buatmu selain doa. Tapi percayalah doa orang tua itu senjata paling kuat. Semoga rumah tanggamu, meski dimulai dengan jalan yang berat, akan berakhir dengan kebahagiaan yang panjang.”

Nisa menoleh, tersenyum sembari menahan tangis. “Makasih banyak, Pak…”

Dan di teras sederhana itu, doa seorang ayah berpadu dengan harapan seorang anak sebuah ikatan yang tak terlihat, namun lebih kuat daripada apa pun.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!