03. Menikah tapi terpaksa

"Hansel, menikahlah dengan Hana, anak Jamilah." ucap Rohana saat melihat anaknya duduk di meja kerjanya.

“Mama gila?!” Hansel membentak, berdiri dengan suara yang bergetar.

“Dia anak seorang pembantu! Apa mama ingin mempermalukanku?!”

Rohana melangkah mendekat, menatap putranya tanpa gentar.

“Justru karena itu dia pilihan terbaik. Hana tidak akan menuntut apa pun. Dia hanya akan menjadi ibu pengganti. Setelah bayi lahir, semuanya selesai. Perjanjian itu jelas. Laudya tetap istrimu di mata publik. Hana tidak akan pernah ada.”

Laudya tersenyum puas, lalu menambahkan dengan nada dingin, “Itu syaratku. Tidak ada yang boleh tahu. Tidak media, tidak publik, bahkan tidak keluarga besar. Hana hanya akan menjadi rahasia kecil di rumah ini. Kalau sampai terbongkar, reputasiku akan hancur. Dan aku tidak akan memaafkanmu, Hansel.”

Hansel mengepalkan tangan, menahan gejolak di dadanya. Dia ingin menolak, dia ingin berteriak. Namun di balik sorot matanya yang tajam, ada rasa sakit yang tak mampu ia ungkapkan.

Di sisi lain, Hana duduk bersama ibunya di kamar sederhana para pekerja. Wajahnya pucat, tangannya gemetar ketika mendengar penjelasan Jamilah.

“Mereka ingin kau menikah dengan Tuan Hansel,” suara Jamilah bergetar, matanya berkaca-kaca. “Hanya untuk setahun. Setelah bayi lahir, semuanya selesai. Kau bisa kembali ke pesantren, kembali ke hidupmu.”

Hana menggeleng cepat, air matanya jatuh. “Bu, tidak! Aku sudah katakan aku tidak bisa, bukan? Bagaimana mungkin aku masuk di antara mereka?”

Jamilah meraih tangan putrinya, menatapnya dengan penuh permohonan. “Nak, tolong mengerti. Ibu tidak punya pilihan. Mereka bisa menghancurkan kita kalau menolak. Ibu mohon, hanya setahun saja. Kau lakukan ini untuk ibu.”

Hana terisak, dadanya sesak. Ia ingin berlari, ingin kabur dari kenyataan. Namun melihat wajah ibunya yang penuh harap, ia tak sanggup berkata tidak. Air matanya mengalir deras, membasahi jilbabnya.

Hari itu juga, tanpa pesta, tanpa gaun mewah, pernikahan itu berlangsung.

Hanya ada seorang penghulu, dua saksi yang tak lain adalah pelayan rumah, dan beberapa orang kepercayaan Rohana. Di ruang tamu yang luas namun terasa asing, Hana duduk dengan tubuh bergetar, mengenakan kebaya sederhana berwarna putih. Tangannya terasa dingin, bibirnya pucat.

Hansel duduk di hadapannya, wajahnya datar, tanpa ekspresi. Hatinya berkecamuk, tapi suaranya tetap tegas saat ijab kabul dilafalkan.

“Saya terima nikahnya Hana binti Syukri dengan maskawin tersebut, tunai.”

Kalimat itu menggetarkan ruangan. Hana menunduk, air mata mengalir di pipinya. Ia kini resmi menjadi istri Hansel Malik, meski hanya dalam ikatan yang disembunyikan. Nikah siri yang tak seorang pun boleh tahu.

Setelah doa dipanjatkan, penghulu pergi. Rohana tersenyum puas, sementara Laudya hanya menatap Hana dengan tatapan penuh kemenangan, seolah dia telah terbebas dari keinginan ibu mertuanya.

Malam itu, Hana duduk sendiri di kamar pengantin yang telah disiapkan untuknya. Kamar itu indah, ranjang besar dengan sprei putih, lampu gantung berkilau, dan aroma mawar memenuhi udara. Tapi bagi Hana, kamar itu terasa seperti penjara. Dia menunggu, menanti Hansel datang. Waktu berjalan lambat, jam demi jam berlalu. Hingga jarum jam menunjuk pukul dua belas malam, pintu itu tetap tak terbuka.

Di sisi lain rumah, Hansel berada di kamar Laudya. Istrinya menyambutnya dengan senyum menggoda, membelai wajahnya, menariknya ke pelukan. Hansel menutup matanya, membiarkan dirinya larut dalam dekapan Laudya.

Namun jauh di dalam hatinya, ada rasa bersalah yang mengganjal. Ia tahu, di kamar lain, seorang gadis polos yang baru saja sah menjadi istrinya sedang menunggunya. Seorang gadis yang bahkan tak pernah ia beri pilihan.

Hana menatap kosong ke arah pintu, matanya sembab. Ranjang pengantin terasa dingin, selimut yang membalut tubuhnya tak mampu menghangatkan hatinya. Malam pertama yang tak pernah ia harapkan, ia lewati dalam sepi, ditemani air mata.

Keesokan paginya, sinar matahari masuk lembut melalui jendela besar ruang makan keluarga Malik. Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi udara. Hana sudah sejak subuh membantu pelayan lain menyiapkan sarapan. Tangannya cekatan menata buah-buahan di atas piring kristal, namun hatinya berdebar keras. Malam yang ia lewati masih terasa seperti mimpi buruk dan sunyi, sepi, dan penuh air mata.

Dia tak tahu bagaimana harus bersikap pagi ini. Bagaimana cara menatap Hansel yang kini sah menjadi suaminya, meski hanya dalam pernikahan yang tak boleh ia sebutkan pada siapa pun. Hana merapikan meja makan, menundukkan wajah, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

Tak lama, suara langkah sepatu bergema di lantai marmer. Hansel muncul dari arah tangga, mengenakan kemeja putih dan jas abu-abu muda. Wajahnya datar, seakan malam tadi tak pernah ada pernikahan, seakan Hana tak pernah duduk di kamar pengantin menunggunya dengan sia-sia.

Tak lama kemudian, Laudya menyusul. Wanita cantik itu tampak elegan dengan gaun kasual berwarna krem, kacamata hitam menggantung di rambutnya. Di tangannya, sebuah tas mewah diletakkan begitu saja di atas meja makan, seolah meja itu bukan tempat makanan melainkan pajangan untuk barang-barang mahalnya.

Hansel mengikuti di belakang, menarik koper besar berwarna hitam.

“Kamu sudah siap?” tanya Hansel singkat.

“Tentu saja,” jawab Laudya ringan, lalu meraih segelas jus jeruk yang sudah tersedia. Ia meneguknya setengah, kemudian menoleh pada Hana yang berdiri di sisi meja. Tatapan matanya penuh makna, seolah ingin menegaskan posisi siapa yang paling berkuasa di rumah itu.

“Aku akan terbang ke Inggris hari ini,” ucap Laudya sambil tersenyum tipis. “Ada acara launching produk baru brand internasional yang bekerja sama denganku. Beberapa minggu aku tidak akan di rumah.”

Hana hanya menunduk, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia bisa merasakan arah pembicaraan itu. Laudya menaruh kembali gelasnya dengan suara kecil yang terdengar nyaring di telinga Hana.

“Selama aku tidak ada, kau harus merawat suamiku. Pastikan dia mendapatkan semua yang dia butuhkan. Mengerti?”

Kalimat itu seperti duri yang menusuk. Hana menahan napas, menelan ludah dengan susah payah. Belum sempat ia menjawab, Laudya melanjutkan dengan suara dingin, “Dan kau tahu apa yang ku inginkan, Hana. Aku tidak ingin pernikahanmu dengan Hansel berlangsung lama. Selesaikan tugasmu secepat mungkin. Hamil, melahirkan, lalu keluar dari kehidupan kami. Itu saja.”

Ucapan itu membuat Hana terpaku. Bibirnya gemetar, matanya membelalak penuh terkejut. Ia berani menoleh ke arah Hansel, mencari sedikit pembelaan, atau setidaknya penjelasan. Hansel menatapnya sekilas. Tatapan itu bukan kemarahan, bukan pula kasih sayang, hanya kosong. Ia menarik kursi, duduk, lalu berkata pelan namun tegas, “Aku tidak ingin buru-buru punya anak.”

Keheningan mendadak menyelimuti meja makan. Laudya tertawa kecil, sinis, seolah mempermainkan kalimat Hansel. “Oh, jadi kau ingin memperpanjang waktu? Kau kira aku punya kesabaran sebanyak itu, Hansel?”

Hansel meletakkan sendoknya dengan suara beradu ke piring. Tatapannya tajam, namun tetap dingin. “Aku yang memutuskan kapan. Bukan kau ... bukan siapapun.”

Laudya terdiam sejenak, lalu tersenyum licin, meneguk sisa jusnya tanpa bicara lebih lanjut. Ia tahu, meskipun Hansel membantah, pada akhirnya keluarga akan selalu menekan sampai tujuan mereka tercapai.

Hana berdiri kaku, tangannya gemetar memegang serbet di sudut meja. Ia merasa sesak, terperangkap dalam permainan besar yang tidak pernah ia pilih. Ia ingin berteriak, ingin menangis, tapi semua tertahan dalam kerongkongannya.

Sementara itu, Hansel hanya menunduk, menyendok sarapannya tanpa gairah. Namun dalam hati, ia merasakan perih yang sulit dijelaskan. Ia tidak pernah ingin menjadikan Hana korban. Tapi keadaan, desakan, dan cinta butanya pada Laudya telah menyeret semuanya menjadi rumit.

Laudya bangkit, meraih tas mewahnya dan berjalan anggun menuju koper yang sudah siap. Hansel ikut berdiri, menarik koper itu tanpa banyak bicara.

“Jangan lupa, Hana,” ucap Laudya sambil melewati gadis itu. “Tugasmu hanya satu, pastikan kau mengandung anak suamiku. Setelah itu, kau tidak lagi ada di sini.”

Setelah pasangan itu berjalan keluar, Hana terduduk di kursi dengan tubuh lemas. Matanya panas, tapi ia menahan air mata agar tidak jatuh. Ia sadar, sejak hari itu hidupnya bukan lagi miliknya. Ia hanya pion dalam permainan keluarga kaya raya.

"Hana," panggil Jamilah, Hana menoleh lalu merentangkan tangannya untuk memeluk sang ibu.

"Ibu minta maaf," ucap Jamilah pelan, Hana menggelengkan kepalanya pelan, seakan akan mengatakan ibunya tak bersalah dan tak perlu meminta maaf.

Terpopuler

Comments

Ir

Ir

aiisss si Hansel sama kek si Wira habis menikahi istri kedua malam pertama nya sama istri pertama anjirr lahh, inget Hansel Allah Maha membolak balik kan hati manusia, dan kamu Laudya sombong lah sebelum pada akhirnya kamu di tendang dari rumah malik

2025-08-28

1

Nana Geulise

Nana Geulise

pling juga pergi ke inggris buat bertemu selingkuhannya laudya..hansel aja yg bodoh krn cinta sama laudya...istri selingkuh ga tahu buta krn cinta🤭🤭🤭

2025-08-28

2

A.M.G

A.M.G

hadeh laudia bukan kandau lu punya suami malah asik dengan dunia mu sendiri... ntar giliran hans berpaling ngedrama lagi 🤭curiga 🫠🫠🫠🫠

2025-08-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!