Rumah keluarga Malik berdiri angkuh di tengah kota, bak istana megah yang selalu menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Pilar-pilar tinggi berlapis marmer, halaman luas dengan air mancur, dan pagar besi berukir lambang keluarga yang berkilau setiap kali tertimpa cahaya matahari sore. Dari luar, semua tampak sempurna, kemewahan, kekuasaan, dan kehormatan menyatu di sana.
Namun, di balik dinding megah itu, ada kekosongan yang tak bisa disembunyikan. Lima tahun pernikahan Hansel Malik dan Laudya Prameswari, tak pernah terdengar tangis bayi, tawa anak kecil, atau suara riuh keluarga kecil yang semestinya mengisi setiap sudut rumah.
Hansel duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan wajah tegas dan dingin. Jas abu-abu membungkus tubuh tegapnya, rambutnya tersisir rapi, dan kacamata tipis bertengger di hidung mancung. Di balik ketampanan itu, banyak yang menganggapnya terlalu kaku, terlalu dingin, hingga dijuluki beruang kutub di dunia bisnis.
Sementara itu, Laudya istrinya sedang bersiap pergi. Dengan gaun elegan berwarna merah marun, rambut panjang bergelombang yang ditata sempurna, serta riasan wajah yang nyaris tanpa cela, ia bagai bintang yang baru turun dari langit. Sejak awal pernikahan, ia sudah menegaskan satu hal, karier dan tubuh indahnya adalah prioritas utama. Anak bukan bagian dari mimpinya.
“Masih dengan rapat-rapatmu?” tanya Laudya sambil mengenakan perhiasan berlian di tangannya.
Hansel mengangkat wajah, menatap istrinya singkat, lalu kembali ke layar.
“Ada presentasi penting besok. Aku harus siap.”
Laudya tersenyum tipis, senyum yang lebih banyak ditujukan untuk dirinya sendiri saat melihat pantulan wajah cantiknya di cermin besar ruang tamu.
“Aku ada acara fashion show malam ini. Jangan tunggu aku pulang.”
Hansel tak menjawab. Kebisuan itu sudah menjadi bahasa mereka sehari-hari. Pernikahan yang dulu diharapkan penuh cinta kini berubah menjadi kontrak tanpa gairah. Hansel masih mencintai Laudya, setidaknya itulah yang ia yakini, tapi keinginan kuat Laudya untuk tak memiliki anak selalu menorehkan luka di hatinya.
Sore itu, suara langkah sepatu berderap memasuki ruang tamu. Rohana Malik, ibu mertua Laudya, muncul dengan wajah tegas. Wanita itu anggun meski usianya sudah melewati lima puluh tahun. Dengan setelan kebaya modern berwarna hijau zamrud, ia terlihat berwibawa. Ahmad Malik, suaminya, tak ikut serta, namun semua orang tahu, suara Rohana adalah suara keluarga.
“Laudya,” panggilnya lantang.
Laudya menoleh dengan malas, lalu menghampiri.
“Ada apa, Ma?”
Rohana menatapnya tajam, mata yang menyimpan kegelisahan bercampur amarah. “Aku sudah cukup bersabar lima tahun ini. Kau tahu persis apa yang diinginkan keluarga ini, yaitu cucu. Pewaris nama Malik. Tapi sampai sekarang, kau bahkan tak pernah berniat memberikan itu.”
Laudya menghela napas panjang. Ia sudah menduga pembicaraan ini akan muncul lagi. “Ma, sudah berkali-kali aku jelaskan. Aku tidak mau punya anak. Aku sibuk, tubuh aku adalah aset. Aku tidak akan merusaknya dengan kehamilan.”
Kata-kata itu membuat wajah Rohana menegang.
“Kalau begitu, untuk apa kau menikah dengan Hansel? Kau pikir keluarga ini hanya butuh boneka cantik di rumah? Kami butuh darah daging! Kalau kau tak bisa, lebih baik kau lepaskan Hansel.”
Hansel yang sedari tadi diam, bangkit dari kursinya. “Ma, cukup! Aku mencintai Laudya. Jangan bicara soal cerai lagi.”
Namun Rohana tak bergeming. “Cinta saja tidak cukup, Hansel. Keluarga ini harus punya penerus. Kalau tidak darinya, maka dari perempuan lain.”
Kata-kata itu membuat Hansel terdiam. Dadanya sesak, seolah kata-kata ibunya adalah belati.
Laudya mendekat, senyum sinis menghiasi wajahnya.
“Kalau mama memang memaksa, aku punya solusi.”
Rohana mengangkat alis. “Apa?”
“Biar Hansel cari wanita lain. Cari perempuan yang mau mengandung anaknya. Setelah lahir, anak itu jadi pewaris keluarga Malik. Aku tetap istri sahnya, tak ada yang perlu diganggu.”
Hansel menatap istrinya dengan kaget dan marah. “Laudya, kau sadar apa yang kau katakan? Aku tidak butuh wanita lain!”
“Tapi aku tidak akan mau hamil, Hansel,” jawab Laudya dengan tenang, seakan keputusannya sudah bulat.
“Kalau kau mencintaiku, kau harus terima. Kau tetap milikku, tapi biar ada perempuan lain yang menanggung beban itu.”
Hansel mengepalkan tangan, menahan gejolak emosi. Dia tak pernah membayangkan istrinya akan merendahkan makna pernikahan seperti itu. Baginya, pernikahan adalah kesetiaan, bukan kontrak berbagi.
Rohana, di sisi lain, justru melihat celah. Ia tahu putranya tak akan setuju, tapi ia juga tahu cara untuk menekan keadaan. Senyumnya samar, seolah rencana mulai tersusun dalam benaknya.
Malamnya, Hansel duduk di balkon kamarnya. Lampu kota berkelap-kelip dari kejauhan, namun hatinya gelap. Ia terjebak antara cintanya pada Laudya dan kewajiban pada keluarga.
Dia ingin anak, ia ingin rumah yang dipenuhi tawa kecil, namun istrinya menolak mentah-mentah. Cintanya pada Laudya membuatnya bertahan, meski hatinya teriris sedikit demi sedikit.
“Kenapa semua jadi serumit ini…” bisiknya pada langit malam.
Dia meneguk gelas wine di tangannya, berusaha menenggelamkan resah yang kian menyesakkan dada.
Sementara itu, di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, Hana baru saja pulang dari pondok pesantren. Gadis berusia dua puluh tahun itu membantu ibunya, Jamilah, menyiapkan makan malam. Wajahnya lembut, matanya teduh, dan senyum tulus selalu terukir di bibirnya.
“Ibu, besok aku kembali ke pesantren. Banyak anak-anak yang menungguku mengajar ngaji,” ujarnya riang.
Jamilah tersenyum, meski dalam hatinya ada kegelisahan. Ia tahu apa yang baru saja disampaikan Nyonya Rohana sore tadi. Sebuah permintaan yang tak pernah ia bayangkan, menjodohkan Hana dengan anaknya, Hansel Malik.
Tangannya bergetar saat menyendokkan sayur.
“Nak … kalau suatu hari takdirmu berubah, kamu siap, kan?”
Hana menatap ibunya dengan bingung. “Apa maksud Ibu?”
Jamilah hanya menggeleng, menahan kata-kata yang ingin keluar. “Tak ada. Makanlah, besok kita harus kuat.”
Di luar sana, bulan bulat sempurna menggantung di langit. Seakan menjadi saksi bahwa sebentar lagi, takdir Hana akan ditarik paksa ke dalam dunia keluarga Malik dan dunia yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi bagian dari hidupnya.
'Jika Hana menikah dengan Tuan muda, maka Nyonya besar akan memberikan kebahagian kepada Hana, yang tak pernah Hana dapatkan sebelumnya, di rumah ini.' gumam Jamilah dalam hatinya sembari menatap putrinya yang tengah makan malam di meja sederhana itu.
Sore itu langit berwarna jingga, memantulkan cahaya keemasan ke halaman rumah besar keluarga Malik. Sebuah mobil hitam mengantar Jamilah bersama putrinya, Hana, turun di depan gerbang megah. Hana berdiri terpaku, memandangi bangunan yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan. Pilar-pilar tinggi menjulang dengan megah, dinding berlapis marmer berkilau, dan air mancur besar di tengah halaman memantulkan cahaya matahari yang mulai meredup.
“Rumah ini seperti istana, Bu,” gumam Hana dengan mata berbinar, meski tangannya terasa dingin.
Jamilah tersenyum kaku, seolah menutupi kegelisahan yang sejak tadi ia simpan. “Ya, Nak. Tapi ingat, di balik kemewahan istana, ada aturan yang keras. Jaga sikapmu, ingat siapa kita.”
Hana hanya mengangguk. Ia tahu ibunya tak main-main. Meski sejak kecil ia sering mendengar cerita tentang keluarga Malik, baru kali ini ia benar-benar masuk ke dalamnya. Ada perasaan canggung sekaligus takjub yang bercampur menjadi satu.
Begitu pintu kayu jati yang besar itu terbuka, aroma wangi bunga mawar menyambut mereka. Ruang tamu luas dengan lampu kristal raksasa tergantung di langit-langit, memantulkan cahaya berkilau di lantai marmer putih. Hana merasa langkahnya terlalu kecil untuk tempat sebesar ini.
Di tengah ruangan, seorang pria berdiri. Dengan kemeja putih yang lengan panjangnya digulung hingga siku, ia terlihat sederhana namun tetap berwibawa. Sorot matanya tajam, dingin, dan penuh kendali, dialah Hansel Malik.
Jamilah buru-buru menunduk hormat. “Tuan muda, ini putri saya, Hana. Ia baru pulang dari pesantren. Saya mohon izin, beberapa hari ke depan Hana akan membantu saya bekerja di sini.”
Hansel menoleh sekilas, matanya berhenti sesaat pada wajah Hana. Tatapannya membuat gadis itu spontan menunduk, seolah tak sanggup menahan sorot yang begitu menekan.
“Selama tidak mengganggu pekerjaan, silakan,” ucap Hansel singkat, suaranya dingin, lalu ia melangkah pergi tanpa menambahkan kata apa pun.
Hana menghela napas lega setelah sosok itu menghilang dari pandangan. Jantungnya masih berdebar cepat, dan ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia tak mengerti apakah itu rasa takut atau justru kekaguman yang tak semestinya.
Hari-hari berikutnya Hana mengisi waktunya dengan membantu ibunya. Membersihkan ruang makan yang sebesar aula, merapikan bunga di taman, hingga menyiapkan pakaian Laudya, istri Hansel, yang selalu ingin tampil sempurna. Laudya sering memandang Hana dengan tatapan meremehkan, seolah ia hanya serbuk debu di tengah kilau dunia gemerlapnya.
“Anakmu ini manis juga, Jamilah,” kata Laudya suatu kali sambil menyisir rambut panjangnya di depan cermin. Nada suaranya terdengar seperti pujian, namun senyum sinis di bibirnya menunjukkan sebaliknya. “Sayang, dia terlalu lugu untuk dunia sebesar ini.”
Hana hanya tersenyum sopan, menahan perasaan yang mengganjal di dadanya. Ia sadar betul dirinya bukan siapa-siapa di rumah itu.
Malamnya, untuk mengusir rasa sesak, Hana duduk di serambi kecil dekat taman belakang. Ia membuka mushaf kecil yang selalu ia bawa dari pesantren, lalu melantunkan ayat-ayat suci dengan suara lembut. Bacaan itu mengalun merdu, membawa ketenangan bagi hatinya sendiri. Ia tak tahu, dari balkon lantai dua, Hansel berdiri memperhatikannya. Wajah dingin pria itu tetap tak berubah, tapi telinganya seolah tak bisa menolak untuk mendengarkan lebih lama. Suara lembut itu meretakkan sedikit demi sedikit dinding keras dalam dirinya.
Beberapa hari setelahnya, Hansel bersama asistennya, Haris, berangkat untuk memberikan santunan ke sebuah pesantren besar. Tanpa disangka, Hana juga berada di sana. Ia ditugaskan membantu menyiapkan barisan anak-anak yang akan menerima bingkisan. Saat Hansel masuk, menyapa anak-anak dengan ramah, Hana hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Pria yang dikenal dingin, kaku, dan tak pernah tersenyum di rumah itu, kini menunduk dengan sabar, menyalami anak-anak yatim satu per satu, bahkan berjongkok sambil mengelus kepala mereka. Ada tawa kecil yang keluar dari bibirnya ketika seorang bocah berebut kotak hadiah. Senyum itu, meski samar, terlihat begitu tulus.
Hana terpaku, dunia seolah berhenti sesaat. Matanya tak lepas dari sosok itu, hatinya bergetar dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia tahu Hansel sudah menikah, ia tahu batas dirinya, tapi ia tak bisa menolak kekaguman yang tiba-tiba tumbuh begitu saja.
Hansel sempat melirik ke arahnya. Tatapan singkat itu membuat wajah Hana panas. Ia buru-buru menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya.
Malam harinya, sepulang dari pesantren, Hana mendapati ibunya tampak gelisah. Jamilah duduk di kursi kecil kamar para pekerja, menatap putrinya dengan mata yang berat, seakan menyimpan beban besar.
“Hana, ada yang ingin Ibu bicarakan,” katanya pelan.
“Apa, Bu?” Hana menoleh dengan penasaran.
Jamilah menggenggam tangan anaknya erat, lalu menarik napas dalam. “Kau tahu, keluarga ini menginginkan keturunan. Nyonya besar, Nyonya Rohana … ia menyebut namamu.”
Hana terdiam, matanya melebar. “Menyebutku? Maksud Ibu apa?”
Jamilah menelan ludah, suaranya bergetar. “Mereka ingin menjodohkanmu dengan Tuan Hansel.”
Seperti tersambar petir, Hana terperanjat. Suara ibunya bergema di kepalanya, menyesakkan dada. Ia, anak seorang pembantu, dijodohkan dengan Hansel Malik sang pewaris keluarga terkaya di kota ini itu mustahil.
“Ibu … itu tidak mungkin,” ucap Hana lirih, nyaris patah.
“Beliau sudah menikah, Bu. Aku tak bisa … aku tak bisa masuk ke dalam rumah tangga orang lain.”
Air mata Jamilah jatuh, menandai betapa beratnya kata-kata itu.
“Ibu tahu, Nak. Tapi ini permintaan Nyonya Rohana. Ibu tidak bisa menolak. Ibu hanya ingin kau tahu … mungkin ini takdir yang akan kau hadapi.”
Hana menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia merasa seluruh dunia menindih pundaknya. Bagaimana mungkin ia menjalani pernikahan seperti itu? Bagaimana mungkin ia menerima pria yang hatinya masih terikat pada istrinya?
Di luar kamar kecil itu, tanpa sepengetahuan mereka, Rohana berdiri di balik pintu, mendengarkan setiap kata. Senyum puas tersungging di bibirnya.
“Tak ada yang lebih cocok dari gadis itu,” bisiknya. “Suci, polos, dan sempurna untuk melahirkan cucu keluarga Malik.”
Dan di lantai atas, Hansel duduk di balkon, termenung sendirian. Suara lantunan Hana sore tadi masih terngiang di telinganya. Ia tak tahu mengapa suara itu mampu menembus dinginnya hatinya, tapi satu hal yang ia sadari ada sesuatu yang mulai berubah.
'Apa hidupku yang terlalu sepi selama ini? Tidak! Laudya bersamaku selama lima tahun. kehadiran Laudya adalah semangat hidupku,'
"Hansel, menikahlah dengan Hana, anak Jamilah." ucap Rohana saat melihat anaknya duduk di meja kerjanya.
“Mama gila?!” Hansel membentak, berdiri dengan suara yang bergetar.
“Dia anak seorang pembantu! Apa mama ingin mempermalukanku?!”
Rohana melangkah mendekat, menatap putranya tanpa gentar.
“Justru karena itu dia pilihan terbaik. Hana tidak akan menuntut apa pun. Dia hanya akan menjadi ibu pengganti. Setelah bayi lahir, semuanya selesai. Perjanjian itu jelas. Laudya tetap istrimu di mata publik. Hana tidak akan pernah ada.”
Laudya tersenyum puas, lalu menambahkan dengan nada dingin, “Itu syaratku. Tidak ada yang boleh tahu. Tidak media, tidak publik, bahkan tidak keluarga besar. Hana hanya akan menjadi rahasia kecil di rumah ini. Kalau sampai terbongkar, reputasiku akan hancur. Dan aku tidak akan memaafkanmu, Hansel.”
Hansel mengepalkan tangan, menahan gejolak di dadanya. Dia ingin menolak, dia ingin berteriak. Namun di balik sorot matanya yang tajam, ada rasa sakit yang tak mampu ia ungkapkan.
Di sisi lain, Hana duduk bersama ibunya di kamar sederhana para pekerja. Wajahnya pucat, tangannya gemetar ketika mendengar penjelasan Jamilah.
“Mereka ingin kau menikah dengan Tuan Hansel,” suara Jamilah bergetar, matanya berkaca-kaca. “Hanya untuk setahun. Setelah bayi lahir, semuanya selesai. Kau bisa kembali ke pesantren, kembali ke hidupmu.”
Hana menggeleng cepat, air matanya jatuh. “Bu, tidak! Aku sudah katakan aku tidak bisa, bukan? Bagaimana mungkin aku masuk di antara mereka?”
Jamilah meraih tangan putrinya, menatapnya dengan penuh permohonan. “Nak, tolong mengerti. Ibu tidak punya pilihan. Mereka bisa menghancurkan kita kalau menolak. Ibu mohon, hanya setahun saja. Kau lakukan ini untuk ibu.”
Hana terisak, dadanya sesak. Ia ingin berlari, ingin kabur dari kenyataan. Namun melihat wajah ibunya yang penuh harap, ia tak sanggup berkata tidak. Air matanya mengalir deras, membasahi jilbabnya.
Hari itu juga, tanpa pesta, tanpa gaun mewah, pernikahan itu berlangsung.
Hanya ada seorang penghulu, dua saksi yang tak lain adalah pelayan rumah, dan beberapa orang kepercayaan Rohana. Di ruang tamu yang luas namun terasa asing, Hana duduk dengan tubuh bergetar, mengenakan kebaya sederhana berwarna putih. Tangannya terasa dingin, bibirnya pucat.
Hansel duduk di hadapannya, wajahnya datar, tanpa ekspresi. Hatinya berkecamuk, tapi suaranya tetap tegas saat ijab kabul dilafalkan.
“Saya terima nikahnya Hana binti Syukri dengan maskawin tersebut, tunai.”
Kalimat itu menggetarkan ruangan. Hana menunduk, air mata mengalir di pipinya. Ia kini resmi menjadi istri Hansel Malik, meski hanya dalam ikatan yang disembunyikan. Nikah siri yang tak seorang pun boleh tahu.
Setelah doa dipanjatkan, penghulu pergi. Rohana tersenyum puas, sementara Laudya hanya menatap Hana dengan tatapan penuh kemenangan, seolah dia telah terbebas dari keinginan ibu mertuanya.
Malam itu, Hana duduk sendiri di kamar pengantin yang telah disiapkan untuknya. Kamar itu indah, ranjang besar dengan sprei putih, lampu gantung berkilau, dan aroma mawar memenuhi udara. Tapi bagi Hana, kamar itu terasa seperti penjara. Dia menunggu, menanti Hansel datang. Waktu berjalan lambat, jam demi jam berlalu. Hingga jarum jam menunjuk pukul dua belas malam, pintu itu tetap tak terbuka.
Di sisi lain rumah, Hansel berada di kamar Laudya. Istrinya menyambutnya dengan senyum menggoda, membelai wajahnya, menariknya ke pelukan. Hansel menutup matanya, membiarkan dirinya larut dalam dekapan Laudya.
Namun jauh di dalam hatinya, ada rasa bersalah yang mengganjal. Ia tahu, di kamar lain, seorang gadis polos yang baru saja sah menjadi istrinya sedang menunggunya. Seorang gadis yang bahkan tak pernah ia beri pilihan.
Hana menatap kosong ke arah pintu, matanya sembab. Ranjang pengantin terasa dingin, selimut yang membalut tubuhnya tak mampu menghangatkan hatinya. Malam pertama yang tak pernah ia harapkan, ia lewati dalam sepi, ditemani air mata.
Keesokan paginya, sinar matahari masuk lembut melalui jendela besar ruang makan keluarga Malik. Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi udara. Hana sudah sejak subuh membantu pelayan lain menyiapkan sarapan. Tangannya cekatan menata buah-buahan di atas piring kristal, namun hatinya berdebar keras. Malam yang ia lewati masih terasa seperti mimpi buruk dan sunyi, sepi, dan penuh air mata.
Dia tak tahu bagaimana harus bersikap pagi ini. Bagaimana cara menatap Hansel yang kini sah menjadi suaminya, meski hanya dalam pernikahan yang tak boleh ia sebutkan pada siapa pun. Hana merapikan meja makan, menundukkan wajah, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Tak lama, suara langkah sepatu bergema di lantai marmer. Hansel muncul dari arah tangga, mengenakan kemeja putih dan jas abu-abu muda. Wajahnya datar, seakan malam tadi tak pernah ada pernikahan, seakan Hana tak pernah duduk di kamar pengantin menunggunya dengan sia-sia.
Tak lama kemudian, Laudya menyusul. Wanita cantik itu tampak elegan dengan gaun kasual berwarna krem, kacamata hitam menggantung di rambutnya. Di tangannya, sebuah tas mewah diletakkan begitu saja di atas meja makan, seolah meja itu bukan tempat makanan melainkan pajangan untuk barang-barang mahalnya.
Hansel mengikuti di belakang, menarik koper besar berwarna hitam.
“Kamu sudah siap?” tanya Hansel singkat.
“Tentu saja,” jawab Laudya ringan, lalu meraih segelas jus jeruk yang sudah tersedia. Ia meneguknya setengah, kemudian menoleh pada Hana yang berdiri di sisi meja. Tatapan matanya penuh makna, seolah ingin menegaskan posisi siapa yang paling berkuasa di rumah itu.
“Aku akan terbang ke Inggris hari ini,” ucap Laudya sambil tersenyum tipis. “Ada acara launching produk baru brand internasional yang bekerja sama denganku. Beberapa minggu aku tidak akan di rumah.”
Hana hanya menunduk, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia bisa merasakan arah pembicaraan itu. Laudya menaruh kembali gelasnya dengan suara kecil yang terdengar nyaring di telinga Hana.
“Selama aku tidak ada, kau harus merawat suamiku. Pastikan dia mendapatkan semua yang dia butuhkan. Mengerti?”
Kalimat itu seperti duri yang menusuk. Hana menahan napas, menelan ludah dengan susah payah. Belum sempat ia menjawab, Laudya melanjutkan dengan suara dingin, “Dan kau tahu apa yang ku inginkan, Hana. Aku tidak ingin pernikahanmu dengan Hansel berlangsung lama. Selesaikan tugasmu secepat mungkin. Hamil, melahirkan, lalu keluar dari kehidupan kami. Itu saja.”
Ucapan itu membuat Hana terpaku. Bibirnya gemetar, matanya membelalak penuh terkejut. Ia berani menoleh ke arah Hansel, mencari sedikit pembelaan, atau setidaknya penjelasan. Hansel menatapnya sekilas. Tatapan itu bukan kemarahan, bukan pula kasih sayang, hanya kosong. Ia menarik kursi, duduk, lalu berkata pelan namun tegas, “Aku tidak ingin buru-buru punya anak.”
Keheningan mendadak menyelimuti meja makan. Laudya tertawa kecil, sinis, seolah mempermainkan kalimat Hansel. “Oh, jadi kau ingin memperpanjang waktu? Kau kira aku punya kesabaran sebanyak itu, Hansel?”
Hansel meletakkan sendoknya dengan suara beradu ke piring. Tatapannya tajam, namun tetap dingin. “Aku yang memutuskan kapan. Bukan kau ... bukan siapapun.”
Laudya terdiam sejenak, lalu tersenyum licin, meneguk sisa jusnya tanpa bicara lebih lanjut. Ia tahu, meskipun Hansel membantah, pada akhirnya keluarga akan selalu menekan sampai tujuan mereka tercapai.
Hana berdiri kaku, tangannya gemetar memegang serbet di sudut meja. Ia merasa sesak, terperangkap dalam permainan besar yang tidak pernah ia pilih. Ia ingin berteriak, ingin menangis, tapi semua tertahan dalam kerongkongannya.
Sementara itu, Hansel hanya menunduk, menyendok sarapannya tanpa gairah. Namun dalam hati, ia merasakan perih yang sulit dijelaskan. Ia tidak pernah ingin menjadikan Hana korban. Tapi keadaan, desakan, dan cinta butanya pada Laudya telah menyeret semuanya menjadi rumit.
Laudya bangkit, meraih tas mewahnya dan berjalan anggun menuju koper yang sudah siap. Hansel ikut berdiri, menarik koper itu tanpa banyak bicara.
“Jangan lupa, Hana,” ucap Laudya sambil melewati gadis itu. “Tugasmu hanya satu, pastikan kau mengandung anak suamiku. Setelah itu, kau tidak lagi ada di sini.”
Setelah pasangan itu berjalan keluar, Hana terduduk di kursi dengan tubuh lemas. Matanya panas, tapi ia menahan air mata agar tidak jatuh. Ia sadar, sejak hari itu hidupnya bukan lagi miliknya. Ia hanya pion dalam permainan keluarga kaya raya.
"Hana," panggil Jamilah, Hana menoleh lalu merentangkan tangannya untuk memeluk sang ibu.
"Ibu minta maaf," ucap Jamilah pelan, Hana menggelengkan kepalanya pelan, seakan akan mengatakan ibunya tak bersalah dan tak perlu meminta maaf.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!