Udara malam menusuk lembut kulitnya ketika Hana tiba di taman belakang. Lampu-lampu taman berwarna kekuningan temaram, memantulkan bayangan pohon yang bergoyang pelan. Di bangku marmer panjang, Hansel duduk dengan santai, sebatang rokok terselip di antara jarinya. Asap putih mengepul ke udara, menebar aroma menyengat yang membuat kening Hana berkerut. Dia berdiri beberapa langkah dari Hansel, menatapnya ragu.
Hansel mengangkat pandangannya. Mata tajam itu menelusuri wajah Hana, dingin, tanpa sedikit pun kehangatan.
“Kau tidak suka asap ini, ya?” tanyanya, bibirnya melengkung tipis, entah mengejek atau sekadar menyatakan fakta.
Hana menelan ludah, lalu mengangguk kecil. “Saya tidak suka,” jawabnya jujur.
Hansel menarik napas panjang dari rokoknya, lalu menghembuskannya tepat ke udara di samping Hana, seolah ingin menunjukkan bahwa dia tak peduli. Tatapannya tetap menusuk.
“Dengarkan aku baik-baik, Hana,” ucapnya dengan nadanya berat. “Pernikahan ini … hanyalah permintaan orang tuaku. Jangan pernah salah sangka. Aku tidak akan jatuh cinta padamu ... jadi kau tidak perlu menganggap pernikahan ini serius.”
Hana memejamkan mata sejenak. Kata-kata itu menusuk telinganya, tapi ia sudah menduganya sejak awal. Hansel melanjutkan, “Dan jangan pernah berpikir kau akan merebut posisi Laudya. Sampai kapan pun, Laudya adalah istriku yang sah. Apa pun yang terjadi, tidak ada yang bisa menggantikannya.”
Hana menggenggam jemarinya erat, menahan getir yang membuncah di dadanya. Dia ingin diam, ingin menerima saja seperti biasanya. Namun bibirnya seakan tak tahan lagi untuk bungkam.
“Jika saya boleh memilih,” ucap Hana pelan tapi tegas, “saya tidak akan pernah menikah dengan Anda, Tuan Hansel.”
Hansel menegakkan tubuhnya, sedikit terkejut mendengar suara itu. Hana menatapnya lurus, sorot matanya bening tapi penuh luka. “Andai orang bertanya apakah saya setuju menikah dengan Anda? Maka jawaban saya tentu saja tidak. Saya tidak pernah membayangkan hidup berumah tangga dengan seorang pria yang bahkan minim menghargai orang lain.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu besar di dada Hansel. Rahangnya mengeras, matanya menyipit, seolah ingin membalas ucapan itu tetapi lidahnya kelu. Hana menghela napas panjang, lalu menunduk sedikit.
“Permintaan Nyonya Rohana membuat saya tidak bisa menolak. Bukan karena saya ingin … tapi karena ibu saya.”
Setelah itu, tanpa menunggu balasan, Hana membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Hansel sendirian di taman itu. Hansel hanya terdiam, rokok di tangannya dibiarkan membakar hingga abu jatuh berjatuhan ke tanah. Untuk pertama kalinya, dia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Bukan amarah semata, tapi semacam dorongan yang membuat pikirannya terus berputar.
Malam semakin larut. Hansel sudah berbaring di ranjang, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Kata-kata Hana di taman tadi terus berputar di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti. Dadanya sesak, pikirannya resah. Dia mencoba memejamkan mata, tapi tidurnya tak kunjung datang.
Akhirnya, dengan helaan napas berat, Hansel bangkit. Dia melangkah ke pintu, bermaksud pergi ke dapur untuk mengambil air. Baru saja keluar kamar, matanya menangkap sosok ibunya yang sudah berdiri di lorong dengan segelas wedang jahe hangat di tangan.
“Masih belum tidur, Han?” suara Rohana terdengar lembut, seolah penuh kasih. Ia mendekat, menyodorkan gelas itu. “Minumlah ini ... beberapa hari ini Mama lihat kamu kurang tidur. Wedang jahe ini bagus untuk badanmu.”
Hansel menggeleng pelan.
"Aku tidak butuh itu, Ma."
Namun Rohana tersenyum, tatapannya penuh arti. “Hansel, dengarkan Mama. Sekali ini saja, turuti permintaan Mama. Ayo, di minum ... mama ingin memastikan kamu menjaga kesehatanmu.”
Hansel terdiam, dia tahu, jika ibunya sudah berbicara dengan nada seperti itu, menolak sama saja dengan tidak menghormatinya. Dengan enggan, ia menerima gelas itu, mengangkatnya ke bibir, dan meneguk perlahan.
Hangatnya cairan jahe merambat ke tenggorokannya, namun ada sesuatu yang ganjil. Sedikit rasa pahit menyelusup di balik hangat dan manisnya jahe. Hansel menahan alisnya yang hendak berkerut, tapi ia tetap meneguk habis, demi melihat ibunya tersenyum lega.
“Bagus,” ujar Rohana sambil menepuk pelan lengan putranya. “Sekarang pergilah tidur, besok kamu masih banyak urusan di kantor."
Hansel mengangguk singkat. “Ya, Ma. Selamat malam.” Ia kembali masuk ke kamar, menutup pintu, sementara Rohana berdiri di lorong dengan senyum samar yang penuh arti. Minuman itu bukan sekadar wedang jahe. Ada tambahan kecil yang ia campurkan ke dalam minuman itu, hanya Rohana yang tahu.
Rohana melangkah ke dapur. Matanya segera menangkap sosok Hana dan Jamilah yang masih membantu beberapa pelayan merapikan sisa piring kotor. Rohana menghampiri, langkahnya tenang namun penuh wibawa.
“Hana,” panggilnya lembut, namun mengandung perintah yang tak bisa ditolak.
Hana berhenti dari pekerjaannya, menoleh ragu. “Ya, Nyonya?”
“Temuilah Hansel di kamarnya. Dia kurang sehat, sepertinya mau demam. Aku ingin kau menjaganya malam ini.”
Mata Hana melebar, tubuhnya tegang. “Nyonya … aku rasa itu tidak pantas. Aku ti...”
“Tidak ada tapi-tapian.” Rohana memotong dengan suara yang lebih tegas, namun tetap tersenyum. “Kamu istrinya, meski hanya untuk sementara. Laudya tidak ada di sisinya, maka kewajiban itu ada padamu. Ingat, ini permintaan Ibu mertuamu.” bisik Rohana kemudian, memastikan tak ada yang mendengar ucapannya.
Hana menunduk, jemarinya bergetar. Ia ingin menolak, ingin lari dari situasi ini. Namun tatapan Rohana membuatnya tak punya pilihan lain. Dengan langkah gontai, ia melangkah meninggalkan dapur, menuju kamar Hansel.
Saat pintu kamar dibuka, suasana remang menyambutnya. Lampu kamar hanya menyala redup, bayangan gelap memenuhi setiap sudut. Hana berdiri canggung, menelusuri ruangan dengan pandangan hati-hati.
Ranjang besar itu kosong. Selimut terlipat rapi, seolah tak pernah disentuh. Hana melangkah perlahan, mencari keberadaan suaminya.
“Tuan Hansel?” panggilnya lirih.
Tidak ada jawaban, dia menoleh ke sekeliling, matanya akhirnya tertuju pada pintu balkon yang sedikit terbuka. Angin malam berembus masuk, menggoyangkan tirai tipis yang menjuntai. Hana mendekat, jemarinya meraih gagang pintu itu.
Tepat saat ia berdiri di ambang balkon, sesuatu mengejutkannya. Dua lengan kuat melingkari pinggangnya dari belakang, menarik tubuhnya dalam pelukan yang mendadak erat.
Hana terperangah, aroma asap rokok samar masih menempel pada tubuh pria itu. Sebelum ia sempat menoleh, suara berat namun bergetar lirih terdengar di telinganya.
“Laudya…” bisik Hansel, lirih, penuh kerinduan yang salah alamat.
“Laudya … aku tahu kau di sini ... kau kembali bukan?"
Hana membeku, dadanya berdegup keras, matanya membesar penuh keterkejutan. Hansel memeluknya, tapi memanggil nama wanita lain. Hansel mengira orang yang dia peluk itu adalah Laudya istri sahnya.
Hana berbalik ingin mendorong pelan tubuh Hansel yang berusaha memeluknya lebih erat lagi, "Tu-Tuan ... Han..." Hansel mencium bibir Hana sebelum Hana meneruskan ucapannya. Bibir itu menyatu tidak ada penolakan ataupun perlawanan, saat ini Hana masih dalam keadaan terkejut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Ir
kalo aku jadi Hana :
" jika saya boleh jujur, saya juga tidak ingin menikah dengan anda tuan Hansel, maaf jika ini menyakitkan, tapi anda bukan lah suami idaman bagi saya, jangan kan menjadi suami idaman, surga pun rasanya terlalu jauh jika menghabiskan sisa hidup saya dengan anda "
setelah di tinggal pergi 😆😆
2025-08-31
1
Putri Dhamayanti
weleh.... koq ngenes banget nasibnya Hana. Suaminya manggil nama Laudya, dorong ajalah dorong.. enak ajah maen nyosor, tp yg diotaknya perempuan lain.
2025-08-29
2
Fitria Syafei
Waduh ntuh minuman jahe di campur apa
jadi Hanzel mabuk kepayang 🫢 Kk yang cantik kereeen 🥰🥰
2025-08-29
2