04. Rencana ibu mertua

Suasana rumah besar keluarga Malik terasa berbeda setelah kepergian Laudya. Rumah itu memang masih megah, penuh hiasan mahal dan aroma parfum bunga yang samar menempel di dinding, tapi hawa keangkuhan yang selalu dibawa Laudya perlahan menghilang.

Bagi Hana, keheningan ini justru membuatnya semakin resah. Setiap langkah kakinya menggema, seolah menegaskan bahwa ia hanyalah tamu asing di dalam rumah suaminya sendiri.

Sejak pagi, Hansel hampir tidak berbicara. Ia tenggelam dalam pekerjaan, duduk berjam-jam di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan wajah dingin. Hana hanya bisa menyiapkan teh atau kopi di meja, lalu mundur pelan tanpa berani membuka percakapan.

Di ruang belakang, Jamilah mencoba menenangkan hati putrinya.

“Sabar ya, Nak,” ucapnya sambil melipat kain. “Ini semua demi masa depanmu. Ingat, hanya setahun. Setelah itu, kamu bisa kembali ke pesantren, ke hidupmu yang tenang.”

Hana mengangguk, tapi dalam hati ia merasa kalimat itu terlalu mudah diucapkan. Ia yang harus menanggung malu, menanggung luka. Ia yang harus hidup dalam rumah tangga yang bahkan tidak benar-benar mengakui keberadaannya.

Menjelang sore, telepon rumah berdering. Seorang pelayan memanggil Hana, mengatakan kalau Nyonya Rohana ingin bicara dengannya. Jantung Hana berdegup lebih cepat. Dengan langkah pelan, ia mendekati telepon yang berada di ruang tamu.

[Halo, Hana?] suara Rohana terdengar dari seberang, lembut namun tegas.

“Iya, Nyonya…” jawab Hana hati-hati.

[Besok malam, keluargaku akan mengadakan acara kecil di rumah. Hanya kumpul keluarga inti, tapi aku ingin Hansel datang. Dan kau juga, Hana. Kau harus ikut bersamanya.]

Hana tercekat. Ia menoleh ke arah ibunya yang berdiri tak jauh, menunggu penjelasan. “T-tapi, nya … apakah itu … tepat?”

Rohana menghela napas. [Dengar, Nak. Pernikahan kalian harus tetap menjadi rahasia. Tidak boleh ada satu pun yang tahu, apalagi publik. Tapi untuk keluargaku sendiri, aku butuh alasan kenapa Hansel membawa seorang gadis muda. Jadi, aku ingin kau ikut seolah kau hanya menemani ibumu, Jamilah. Biarlah orang mengira kau sekadar putri pembantu yang dekat dengan rumah kami. Itu lebih masuk akal.]

Hana menggigit bibirnya. Hatinya semakin terjepit. “Kalau Hansel tidak setuju, Nyonya?”

[Dia anakku. Dia akan menurut. Aku yang meminta.] Nada Rohana terdengar mantap, tak bisa dibantah. [Lagipula, ini demi menjaga citra Laudya di mata keluarga besar. Tidak ada seorang pun yang boleh mencurigai apapun. Kau paham, kan? Satu lagi panggil aku ibu saja,] pintanya di ujung kalimat dengan senyum yang terukir tulus.

Hana hanya bisa menjawab lirih, “Baik, Bu.”

Setelah menutup telepon, Jamilah mendekat dan menggenggam tangan putrinya. “Lihat, betapa besar kepercayaan Nyonya Rohana padamu. Kamu harus kuat, Nak. Ini memang tidak mudah, tapi kita tidak punya pilihan lain.”

Keesokan malam, mobil hitam keluarga Malik berhenti di halaman rumah besar milik Rohana. Lampu-lampu kristal berkilau dari dalam, menandakan adanya jamuan. Hana duduk di kursi belakang, di samping Jamilah. Sementara Hansel mengemudi di depan, wajahnya tetap dingin, tak banyak bicara.

Sepanjang perjalanan, suasana hening. Sesekali Hana mencuri pandang, memperhatikan profil wajah Hansel yang diterangi cahaya lampu jalan. Tampan, tenang, tapi penuh jarak. Bukan suami yang bisa ia harapkan melindunginya.

Sesampainya di rumah Rohana, beberapa pelayan menyambut. Senyum mereka ramah, tapi tatapan mereka penuh rasa ingin tahu. Hana merasa tubuhnya kaku, seolah seluruh sorot mata menelanjangi identitas rahasianya.

Rohana menyambut di pintu, tampil anggun dengan kebaya hijau tua dan perhiasan berkilau di lehernya. Ia langsung menggenggam tangan Hana, seolah menyambut seorang anak sendiri.

“Akhirnya kalian datang,” katanya dengan nada puas. Lalu, sambil melirik Jamilah, ia menambahkan, “Aku senang kau ikut juga, Jamilah. Dengan begini, orang-orang akan mengira Hana hanya menemanimu. Tidak akan ada yang curiga.”

Jamilah menunduk hormat. “Terima kasih, Nyonya, sudah memberi alasan baik untuk kami.”

Hana hanya bisa terdiam. Rasanya pahit, ketika dirinya harus berpura-pura hanya sebagai bayangan, padahal hatinya sudah terikat dengan ikatan yang sakral.

Acara malam itu berlangsung hangat di mata orang luar. Musik lembut mengalun, hidangan mewah tersaji di meja panjang, dan keluarga besar Malik berkumpul sambil tertawa ringan. Hana duduk di samping Jamilah, mencoba bersikap biasa. Sesekali pandangan mereka bertemu dengan Hansel yang duduk agak jauh di sisi pria-pria keluarga. Wajah Hansel tetap kaku, nyaris tidak menoleh pada Hana.

Namun, di sela obrolan, Rohana mendekat, berbisik halus di telinga Hana. “Ingat, Nak. Kamu harus bisa segera memberiku cucu. Itu satu-satunya alasan kamu berada di sini. Setelah itu, kamu bebas kembali ke hidupmu.”

Kata-kata itu menusuk seperti belati. Hana menunduk, jemarinya mengepal di bawah meja. Suasana makan malam semakin ramai ketika seorang wanita anggun dengan gaun sutra biru menghampiri meja Rohana. Ia adalah Alisa, istri dari adik ipar suami Rohana. Senyum manisnya tersungging, tetapi sorot matanya penuh rasa ingin tahu saat melihat Hana yang duduk tenang di samping Jamilah.

“Kakak ipar…” Alisa mencondongkan tubuhnya sedikit, lalu melirik ke arah Hana. “Siapa gadis cantik berkerudung ini? Tatapannya sayu, tapi begitu memikat.”

Rohana, dengan tenang dan senyum penuh wibawa, menoleh ke Hana sebelum menjawab, “Oh, ini Hana. Anak Jamilah.”

Alisa sempat terdiam sejenak, sebelum bibirnya menyungging senyum sinis. “Oh … anak pembantu. Tapi cantik sekali, seperti bintang yang belum tersentuh. Hana, sudah menikah?”

Pertanyaan itu membuat Hana tercekat. Ia langsung menunduk, wajahnya panas. Kata-kata itu terasa seperti tamparan, meski diucapkan dengan nada manis. Belum sempat ia menjawab, Rohana dengan cepat menimpali, “Belum.”

Belum, kata sederhana itu menusuk dada Hana. Padahal baru semalam ia mengucap ijab qabul dengan Hansel. Tetapi demi menjaga rahasia, kenyataan itu harus dipendam. Belum sempat Hana menarik napas, suara seorang pria menyela dari meja sebelah.

“Kalau begitu … bisakah dijodohkan denganku?” goda pria itu dengan senyum menggoda.

Hana menoleh sekilas, pria tampan dengan setelan jas hitam, wajahnya segar dan berwibawa. Bisik-bisik langsung terdengar di sekeliling meja, sebab pria itu bukan sembarang tamu. Ia adalah Rayan Malik, sepupu Hansel yang baru kembali dari Turki setelah menyelesaikan studinya.

Ucapan itu membuat Hansel yang sejak tadi hanya sibuk mendengar percakapan para pria di mejanya, langsung menoleh cepat. Tatapan tajamnya menusuk ke arah Hana, lalu dengan suara berat ia berkata, “Hana, ambilkan saya minum.”

Hana tersentak, jantungnya berdegup kencang. Semua orang di meja itu ikut terdiam sesaat, sebelum kembali bercakap-cakap seolah tak ada yang terjadi. Hana pun segera berdiri, berjalan terburu-buru ke meja minuman.

Dia meletakkan segelas air di depan Hansel dengan hati-hati, namun ucapan pria itu membuatnya hampir kehilangan kendali.

“Jangan suka menggoda pria di rumah ini,” ujar Hansel dingin, matanya tak berpaling darinya. “Ini rumah keluarga Malik, bukan bioskop.”

Hana terdiam, hatinya perih. Kata-kata itu menusuk, merobek harga dirinya. Padahal ia sama sekali tidak bermaksud menggoda siapa pun. Ia ingin membela diri, ingin berkata bahwa ia tidak bersalah. Namun lidahnya kelu, hingga akhirnya sebuah kalimat meluncur begitu saja.

“Aku wanita single,” ucap Hana lirih namun jelas. “Tapi tak berniat menggoda siapapun di sini. Jika ada yang tergoda itu bukan salahku."

Hansel mendongak, menatapnya dengan mata terbelalak. Untuk pertama kalinya, ia tidak menduga Hana bisa menjawab seberani itu.

Keheningan singkat tercipta di antara mereka. Hansel terdiam, rahangnya mengeras, sementara Hana menunduk dalam-dalam, menggenggam jemarinya erat.

"Temui saya di taman belakang setelah acara makan malam selesai," bisik Hansel pelan, Hana hanya mengangguk sebagai jawaban dari perintah sang suami.

Terpopuler

Comments

juwita

juwita

enaknya hana egois. apa tega misahkan anak sm ibunya. mn si laudya ky gitu tkutnya mlh di siksa anak hana sm dia

2025-08-29

2

Ir

Ir

cocot nya ibu Rohana enteng banget, habis do tempelin koyo kah
" setelah kamu membrikan cucu, kamu bebas dengan kehidupan mu "
kalo aku jadi Hana pas hamil ku bawa minggat anak nya, jangan aku saja yg menderita kalian juga harus gitu sih

2025-08-31

1

Anindita keisha

Anindita keisha

aku gak skippp kaka.... lanjuttt

2025-08-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!