Bab 2

Kenyataan menghantam Sofia Putri begitu keras pamannya bukan hanya mengambil pinjaman, tapi dari rentenir? Apa yang sebenarnya ia pikirkan?

Terkejut, Sofia menoleh ke arah bibinya dan Cantika yang masih meringkuk ketakutan di sofa.

“Benarkah itu?” tanyanya lirih, hampir tak terdengar.

“Ayah menginvestasikan semua uangnya untuk riset perusahaan. Kami pikir hasilnya sudah dekat, tapi ternyata ada penundaan. Jadi beliau terpaksa mengambil jalan ini,” jawab Cantika akhirnya. Suaranya lembut, sangat berbeda dari biasanya padahal gadis itu hampir selalu membentaknya.

Sofia menggeleng tak percaya. “Kenapa kau tidak memberitahuku? Kau tahu ini masalah besar, tapi kau malah merahasiakannya dariku?”

“Kenapa harus kuberitahu?” dengus Cantika, wajahnya kembali dipenuhi kesombongan. “Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Berikan kami dana perwalianmu?”

Tentu saja. Ujung-ujungnya mereka pasti mengincar dana perwalian itu. Dasar serakah!

Sebelum ayah Sofia meninggal, ia mendirikan sebuah perwalian yang akan menjadi hak Sofia setelah ia berusia dua puluh empat tahun. Kini usianya baru dua puluh tiga, tinggal satu tahun lagi. Dan pamannya bersama istri rakusnya jelas menunggu saat itu tiba, agar bisa mengklaimnya dengan alasan “imbalan telah membesarkannya.”

Ayah Sofia dulunya seorang maestro bisnis. Setelah ia meninggal, semua bisnis itu diambil alih sang paman. Meski sudah meraup keuntungan besar, keluarga itu masih tega menuduh Sofia berutang budi pada mereka.

“Dasar gadis tak tahu diri! Kalau bukan karena rumah ini, kau pasti sudah jadi pengemis di jalanan!” bentak bibinya sambil menamparnya, seakan itu bentuk kedisiplinan.

Sofia selalu melawan. “Tidak, aku hanya menuntut apa yang memang milik ayahku! Bisnis itu bukan milikmu!”

“Kalau begitu, ambil saja! Kita lihat apakah kau mampu!” teriak bibinya lantang, memastikan tetangga mendengar. Seolah-olah ia wanita baik yang mengasuh keponakan nakal dan tak tahu terima kasih.

Sungguh munafik.

Keserakahan mereka terus tumbuh, dan kini mereka bahkan menjadikan uang perwalian itu sebagai harapan terakhir. Sofia bisa membaca rencana mereka dengan jelas.

“Keluarga yang menarik sekali,” komentar lelaki sombong itu sang kolektor yang memimpin para penagih. “Sayang, drama keluarga tidak bisa menghasilkan uang bagi kami.”

“Bangsat!” Cantika tak tahan lagi. “Pinjaman itu pasti sudah lunas separuhnya kalau saja kalian tidak menagih bunga gila-gilaan—empat puluh persen setiap dua minggu! Kalian semua seperti hiu yang memangsa mangsa tak berdaya!”

Sang kolektor hanya mendengus bosan, lalu berteriak pada anak buahnya, “Diamkan dia. Suaranya membuat telingaku sakit.”

“Apa?!” wajah Cantika pucat pasi. Tapi sudah terlambat.

“Ibu!”

“Putriku!”

Tangisan histeris terdengar saat salah satu anak buah memisahkan mereka. Cantika dibekap, mulutnya disumpal kain.

“Nah, lebih baik begini,” ucap sang kolektor sambil menyeringai, menatap Sofia yang jantungnya berdetak tak karuan. “Sekarang, biarkan aku bicara dengan orang yang waras di keluarga ini.”

“Ayahmu menggadaikan rumah ini sebagai jaminan. Sekarang jatuh tempo, jadi aku datang menagih,” katanya enteng, seolah ingin menguji reaksi Sofia.

Sofia mengangkat wajahnya, dingin. “Kalau begitu, ambil saja rumah ini. Kesepakatan tetap kesepakatan.” Ia tahu, menghadapi penjahat berarti harus berpikir seperti mereka.

“Dasar tak tahu terima kasih!” geram bibinya, “Inikah caramu membalas budi karena sudah kubesarkan?”

“Bekap mulutnya juga,” perintah sang kolektor pada anak buahnya.

“Apa?! Jangan berani sentuh aku! Aku ini orang tua!” teriak bibinya panik. Tapi protesnya sia-sia ia pun dibekap sama seperti putrinya.

Entah kenapa, pemandangan itu memberi Sofia sedikit kepuasan. Jarang sekali ia melihat keluarga pamannya berada di posisi lemah.

“Kau tahu,” suara sang kolektor kembali, menarik perhatian Sofia. “Ada cara mudah untuk menyelesaikan semua ini.”

“Maksudmu?” Sofia mengernyit, sedikit berharap.

Pria itu mendekat, mencengkeram dagunya dengan kasar. “Kau wanita cantik. Bos kami, Pangeran, sedang mencari istri. Kau akan jadi pengantin yang sempurna. Bagaimana?”

Sofia terbelalak. Baru saja ia memikirkan cara menyelamatkan keluarganya, tiba-tiba ia malah dilamar?

“Tidak!” jawabnya lantang. “Aku tidak akan menyerahkan diriku pada Pangeran atau siapa pun bosmu itu! Lepaskan aku!” Tatapannya menusuk tajam.

Pria itu justru terkekeh. “Keras kepala… aku yakin Pangeran akan menyukainya.” Ia akhirnya melepaskannya, lalu mendengus, “Sekarang, bagaimana kalian akan membayar? Kesabaranku hampir habis.”

“Beri kami waktu,” Sofia memohon.

“Waktu?” ia tertawa sinis. “Itu sudah habis.”

“Tolong, aku akan memastikan pamanku menyediakan uangnya,” Sofia mendesak.

“Aku tidak melihat pamanmu di sini,” ejeknya. “Kupikir dia ayahmu.”

“Kau salah. Dia pamanku. Dan dia tidak akan meninggalkan keluarganya.” Sofia berharap kata-katanya benar, meski hatinya sendiri ragu.

Sang kolektor mengamati sejenak, lalu memberi isyarat. “Baiklah. Kita pergi, tapi kita akan kembali. Ingat itu.”

Satu per satu, mereka keluar dari rumah, meninggalkan reruntuhan dan ketakutan.

Sofia akhirnya bisa menghela napas lega. Yang terburuk sudah lewat.

Atau… begitulah ia kira.

Terpopuler

Comments

Nami/Namiko

Nami/Namiko

Terima kasih author! 🙏

2025-08-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!