Yang terburuk ternyata belum berakhir. Baru lima menit Sofia Putri masuk ke kamar, pintunya langsung ditendang terbuka keras-keras.
Sofia menarik napas panjang. Ia tahu, masalah baru saja masuk tanpa diundang. Meski membelakangi, ia tidak perlu menebak siapa pelakunya. Dari suara napas terengah-engahnya, jelas sekali itu Cantika—dan sama sekali bukan dengan ekspresi ramah.
“Sekarang apa lagi?” Sofia mendesah, menoleh sebentar pada sepupunya. Sejujurnya, ia tak punya tenaga untuk drama Cantika. Ia hanya ingin istirahat.
“Apa kau barusan bicara begitu padaku?” Cantika mendengus tak percaya.
“Cantika, aku harus siap-siap kerja.” Sofia mencoba melewatinya menuju kamar mandi.
Namun baru saja ia berjalan, tangan Cantika mencengkeram lengannya lalu memutarnya kasar.
“Kamu benar-benar berani, ya!” bentak Cantika.
...
Sofia menyelipkan rambut ke belakang telinganya. “Sekarang apa? Salahku lagi?”
Cantika tertawa sinis. “Salahmu? Kamu masih bisa bertanya apa salahmu?”
Dan sebelum Sofia sempat menjawab, sebuah tamparan mendarat keras di pipinya. Kepalanya terpaksa menoleh ke samping, rasa perih menjalar seketika.
Sofia terdiam, terkejut. Seolah ini pertama kalinya Cantika berani mengangkat tangan padanya. Ia mengusap sudut bibirnya, mendapati bercak darah tipis.
Matanya berkilat, tapi ia menahan diri. Ini bukan waktunya terpancing. Ia masih punya pekerjaan.
“Kamu pasti senang, ya, lihat kita dipermalukan sama rentenir itu?!” teriak Cantika.
“Ya, aku senang. Lalu kenapa?” kata-kata itu lolos begitu saja dari mulut Sofia.
“Apa?!” Cantika melotot. Ia jelas tidak menyangka Sofia akan menjawab seperti itu.
Sofia melangkah maju, menatapnya lurus. “Ini salahku? Apa aku yang pinjam uang itu? Apa aku yang memaksa ayahmu berhutang? Apa aku yang bikin mereka nyumpal mulutmu? Hah? Aku yang minta semua itu?”
“Hei!” Cantika memotong, “Kamu sudah gila, ya!”
“Ya! Akhirnya aku gila!” Sofia membalas, suaranya meninggi. Ia sudah muak. “Siapa pun yang hidup bareng kalian, para iblis, di rumah neraka ini, pasti bakal gila!”
“Kurang ajar kamu!” Cantika mengangkat tangan lagi, tapi kali ini Sofia lebih cepat. Ia meraih pergelangan tangan sepupunya dan justru menampar wajah Cantika dua kali berturut-turut.
Cantika sempoyongan, dunia seolah berputar. Begitu sadar kembali, ia menjerit histeris.
“Ibu!!!” pekiknya keras, memegangi pipinya.
Seperti sudah diduga, bibinya langsung berlari masuk.
“Cantika!” teriaknya panik, memeluk putrinya. “Apa yang terjadi?”
“Ibu, dia nampar aku! Sofia nampar aku!” Cantika menunjuknya dengan mata berkaca-kaca.
“Apa?!” wajah bibinya memerah, menoleh tajam ke arah Sofia. “Kamu berani memukul putriku?!”
“Dia duluan yang mukul! Aku cuma bela diri,” Sofia menjawab mantap. Ia tidak akan lagi jadi gadis lemah yang hanya bisa diam diperlakukan semena-mena.
“Dasar penyihir!” bibinya meraung, seperti singa betina yang marah. “Kenapa nggak kubunuh saja kamu hari ini?!”
Dan wanita itu benar-benar menerkamnya, menjambak rambut Sofia sekuat tenaga.
“Bibi, cukup!” Sofia menjerit, berusaha melepaskan diri. Kulit kepalanya terasa seperti ditarik paksa.
Di sudut kamar, Cantika justru tersenyum puas. Bukannya melerai, ia menikmati penderitaan Sofia.
“Aku cuma balas, Sofia! Kamu ancam anakku, aku tunjukkan bagaimana nasib orang berbahaya! Orang seperti kamu nggak pantas hidup!” bibinya menggenggam lebih kuat.
Kesakitan, Sofia akhirnya mendorongnya hingga terhempas ke dinding.
“Aduh!” bibinya menjerit dramatis. “Sekarang kamu mau bunuh aku juga?!”
“Kurang ajar! Kamu berani mukul ibuku!” Cantika langsung menyerbu, tapi Sofia sudah lebih dulu meraih tongkat baseball di pojok kamar. Ia mengarahkannya ke mereka dengan tatapan membara.
“Sentuh aku lagi, dan kali ini aku nggak akan ragu!” suaranya parau tapi tegas. Rambut berantakan, mata merah, tubuh tegang—ia tampak seperti binatang yang terpojok, siap melawan mati-matian.
Cantika terdiam, langkahnya mundur setapak. Ia bisa merasakan aura berbahaya yang keluar dari sepupunya. Sofia benar-benar kehilangan kendali.
“Ayo! Dekat sini! Sentuh aku!” Sofia menantang, matanya liar. “Aku sudah cukup lama diam!”
Bibinya masih sempat berteriak histeris, “Inilah akibatnya kalau pelihara anak orang lain! Ujung-ujungnya mereka jadi durhaka!”
Tapi Sofia menutup telinga. Ia tak ingin mendengar racun itu lagi.
“Keluar. Sekarang juga!” bentaknya.
“Awas kamu, Sofia! Rumah ini milik kita, kamu nggak”
Belum sempat Cantika menyelesaikan kalimatnya, tongkat baseball itu sudah terayun keras. Suaranya memecah udara, cukup untuk membuat ibu dan anak itu lari tunggang langgang keluar kamar.
Akhirnya, Sofia benar-benar meledak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Shinichi Kudo
Satu kata buat cerita ini: keren abis!
2025-08-23
1