Bab 4

"Mana senjataku, Arga?" suara Akmal mendadak berubah riang, tapi matanya tetap gelap tanpa emosi. Nada bicaranya begitu dingin, seakan bisa membekukan sungai di hadapannya.

Namun Arga entah tak peka dengan tanda itu, atau memang sudah siap mati.

"Bunuh saja aku, brengsek!" bentaknya sambil menatap anjing kecil di tangan Akmal. Dalam pikirannya, begitu Akmal mati, anjing itu pasti akan dibebaskan. Kalaupun tidak, ia lebih rela mati daripada melihat makhluk malang itu disiksa.

Akmal justru tertawa, menunjuknya sambil berkata, "Oh, jadi ini trikmu. Kau mau memprovokasiku biar aku langsung menghabisimu..." Tatapannya melirik ke arah anjing kecil itu. "Kasihan, Ayahmu sepertinya mau meninggalkanmu. Tapi sayang, sebelum itu terjadi, mungkin kau harus lebih dulu mengucapkan selamat tinggal."

Moncong pistolnya menempel ke kepala anjing itu.

"Harus mulai dari mana, ya?" gumamnya pelan. "Dari kepala, biar cepat? Atau dari kaki dulu, biar mati pelan-pelan? Tentu saja yang kedua akan lebih menyakitkan buat ayahmu."

Arga tercekat melihat tangan Akmal mencengkeram pelatuk.

.....

Namun, bukannya menembak, Akmal justru mengelus kepala anjing itu sambil berbisik, "Kamu anjing yang baik... tapi senjataku jauh lebih penting."

"Tunggu, jangan!" Arga buru-buru menjerit, tepat sebelum Akmal benar-benar hendak menarik pelatuk.

Alis Akmal terangkat.

"Aku akan bicara," Arga cepat menambahkan. "Tapi janji dulu, jangan sakiti dia. Dia satu-satunya keluarga yang tersisa buatku."

Akmal menurunkan pistolnya perlahan, lalu tersenyum miring. "Masalahnya... aku tidak pernah menepati janji."

"Lalu apa jaminannya kau nggak akan menyakitinya?!" Arga semakin terpojok, emosinya meledak.

"Justru itu. Kau tak punya jaminan." Akmal menyilangkan kakinya santai. "Kau bisa memilih percaya padaku dan memberitahu di mana senjataku berada, atau diam saja sambil melihat anjingmu mati pelan-pelan tepat di depanmu. Pilihan ada di tanganmu."

Psikopat.

"Baiklah," akhirnya Arga menyerah.

Dengan isyarat tangan, Akmal memanggil seorang wanita. Ia menghampiri, mengambil anjing itu, lalu menghilang dari pandangan.

"Nah," Akmal menatapnya datar. "Sekarang, bicaralah yang sebenarnya."

Arga menjilat bibirnya yang pecah-pecah, "Aku… aku nggak punya senjatamu, Akmal."

"Jangan coba-coba permainkan aku!" suara Akmal mengeras, penuh amarah.

Senjata-senjata itu bukan sekadar barang dagangan. Kalau beredar di jalanan, nilainya bisa anjlok, bahkan menarik perhatian aparat. Itu jelas bisa jadi bencana.

"Aku hanya memberi mereka lokasi gudang," Arga akhirnya mengaku.

Mata Akmal langsung menyipit. "Kau kasih alamat gudangku? Ke siapa?"

"Erik," jawab Arga lirih. "Dia tentara bayaran. Tugasku cuma menunjukkan lokasi, lalu aku dapat bayaran..."

"Tapi kemudian kau malah tertangkap," potong Akmal sambil tersenyum puas. Ia lalu mengarahkan pistol ke dahi Arga. "Terima kasih atas informasinya."

Mata Arga melebar. "Tidak! Kau nggak bisa bunuh aku!"

"Tiga menit lalu kau justru memintanya," Akmal melirik jam tangannya, dingin.

"Aku masih bisa berguna! Aku bisa menghubungi mereka, aku bisa ambil balik senjatamu!" Arga memohon.

"Oh, jangan khawatir, Arga. Kau sudah lewat masa gunanya."

Arga menelan ludah, wajahnya pucat. "Kau nggak tahu Erik seperti aku. Dia hantu. Kalau dia nggak mau ketahuan, mustahil bisa dilacak!"

Akmal menyentuh rahangnya, berpikir sejenak. "Ya, aku memang curiga kau tak membawa senjataku. Tapi aku perlu konfirmasi. Dan sekarang aku dapat petunjuk baru berkatmu. Jadi, terima kasih."

Arga panik, "Tidak! Jangan"

Bang!

Peluru menembus tepat di antara matanya. Bersih.

Akmal melempar pistol itu pada anak buahnya. "Kau tahu apa yang harus dilakukan dengan mayatnya."

Tubuh Arga akan dikubur di tempat yang tak pernah ditemukan siapa pun. Itu jauh lebih murah hati daripada nasib pengkhianat lain yang biasanya dibuang ke laut jadi santapan hiu.

"Tuan, bagaimana dengan ini?" suara asistennya, Martin, terdengar dari belakang. Ia menggendong anjing kecil itu.

Akmal menatapnya acuh. "Bawa ke tempatku. Kalau Samson lapar, kasih saja padanya..." Ia berhenti sejenak saat anjing itu merengek, menatapnya dengan mata sedih seolah mengerti nasibnya.

Sial. Tatapan itu membuatnya jengah.

"Sudahlah," ia mendesah. "Simpan saja di kamarku. Pastikan Samson nggak menyentuhnya. Nanti aku pikirkan sendiri apa yang harus kulakukan."

“Dan satu lagi, Tuan,” Marten menahan langkahnya. “Anda punya janji.”

Akmal berkerut kening. "Janji apa? Setahuku aku nggak ada agenda."

“Itu keadaan darurat,” sahut Martin.

“Dengan siapa?”

“Tunangan Anda.”

Mulut Akmal terasa pahit. "Bagus sekali." Hidupnya benar-benar seperti mimpi buruk.

“Dia mengadakan pesta malam ini. Dia ingin Anda hadir,” tambah Martin.

“Katakan aku sibuk.”

“Dia bilang, kalau Anda tidak datang, lupakan saja pertunangan ini.”

Akmal mengacak rambutnya yang berantakan. "Baiklah, aku akan datang." Ia melangkah masuk ke mobil yang sudah menunggu.

“Kita ke mana, Tuan?” tanya sopirnya.

“Cari kopi paling kental yang ada.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!