“Daftar Kematian Kelas 3-B”
Bab 4 – Darah untuk Menghapus Nama
Riku Hayashida
“Lo gila ya, Tsune?! Masa iya lo mau nurutin perkataan dia?!”
Tatsune Arakawa
“Kalau memang itu satu-satunya cara…”
Riku Hayashida
“Itu bukan cara, itu namanya bunuh diri tau!”
Lorong sekolah bergetar makin kuat. Puluhan tentara hantu menatap tanpa suara, tapi aura mereka seolah-olah berteriak minta darah baru.
Pak Hasegawa
“Kalian tidak mengerti… buku itu haus pengganti. Jika kalian tidak melakukan itu , maka ada murid lain yang akan dipilih.”
Riku Hayashida
“Berarti sekolah ini cuma mesin pembunuh, Pak! Kita semua cuma tumbal sejarah?!”
Pak Hasegawa
“ya…dan Itu sudah ditentukan sejak lama.”
Tatsune menatap lurus pada buku yang bergetar di tangan Riku. Halaman terakhir, tempat nama mereka tertulis, bersinar samar. Seolah-olah menunggu konfirmasi akhir.
Tatsune Arakawa
“Riku… kasih gue bukunya.”
Riku Hayashida
“....oke, tapi Lo jangan macem-macem sama buku ini ya?.”
Tatsune Arakawa
“udah Percaya aja sama gue. Gue nggak bakal mati konyol kok.”
Dengan berat hati, Riku menyerahkan buku itu. Tangan Tatsune gemetar, tapi matanya tajam, penuh tekad. Ia merobek kain di lengannya, memperlihatkan luka sayatan dari pertempuran sebelumnya.
Riku Hayashida
“Tsune… jangan bilang lo mau—”
Tatsune Arakawa
“Kalau darah bisa jadi kunci…maka gue bakal pakai darah gue sendiri.”
Tetesan darah segar jatuh ke halaman. Seketika, cahaya merah menyala terang, huruf-huruf di samping namanya mulai meleleh, seakan-akan sedang terhapus.
Pak Hasegawa
“…Berhasil. Kau berhasil, Tatsune.”
Riku Hayashida
“Tsune?! Nama lo ilang dari daftar… berarti lo selamat?!”
Namun, cahaya yang sama kini merambat ke bawah, menuju nama berikutnya. Nama “Riku Hayashida” justru bersinar makin kuat, seolah-olah jadi korban pengganti.
Riku Hayashida
“Tunggu, kenapa nama gue malah makin jelas?!”
Pak Hasegawa
“Karena penghapusan butuh keseimbangan. Jika satu nama dihapus, nama lain harus ditetapkan.”
Tatsune Arakawa
“…Jadi, supaya gue selamat… lo yang dikorbanin, Riku?”
Riku melongo, wajahnya pucat. Tentara hantu mulai menoleh ke arahnya, senjata terangkat perlahan.
Riku Hayashida
“Sial… ini jebakan. Dari awal kita berdua nggak punya peluang sama sekali.”
Tatsune Arakawa
“Gue nggak bakal biarin lo masuk daftar itu sendirian.”
Riku Hayashida
“…Lo mau ngapain?”
Tatsune Arakawa
“Kalau buku ini cuma paham bahasa darah… maka kita harus nulis ulang ceritanya bareng-bareng.”
Tanpa ragu, Tatsune merobek bagian telapak tangannya, lalu meneteskan darah ke nama Riku. Riku menatap dengan campuran takut dan kagum.
Riku Hayashida
“Lo gila ya, Tsune… darah lo sendiri udah cukup buat ngilangin nama lo. Kenapa lo bagi ke gue juga?!”
Tatsune Arakawa
“Karena gue nggak percaya sama sejarah yang nentuin hidup gue. Kita yang nulis akhir cerita kita sendiri.”
Darah dari dua orang itu bercampur di atas halaman. Cahaya merah menyala lebih terang, tapi kali ini berbeda. Bukan cuma menghapus, melainkan membuat huruf-huruf baru terbentuk.
> “Tatsune Arakawa – Menolak hilang.”
“Riku Hayashida – Menolak hilang.”
Pak Hasegawa
“Tidak… mustahil! Buku itu tidak pernah menerima penolakan!”
Riku Hayashida
“Haha… kayaknya sejarah bosan nyuruh kita mati.”
Tatsune Arakawa
“Atau mungkin… sejarah lagi nunggu orang yang berani bilang ‘tidak’.”
tiba-tiba Tentara hantu berteriak bersamaan. Suara mereka memekakkan telinga, tubuh mereka mulai retak seperti kaca. Bayonet jatuh menghantam lantai satu per satu.
Pak Hasegawa
“Berhenti! Kalau kalian hancurkan buku itu… masa lalu akan runtuh!”
Tatsune Arakawa
“Kalau masa lalu cuma bikin generasi baru jadi korban, biarin aja runtuh.”
Riku Hayashida
“Setuju. Gue juga nggak mau sekolah gue jadi museum horor perang.”
Cahaya merah meledak, menerangi seluruh lorong. Tentara hantu lenyap jadi debu cahaya. Buku 1944 bergetar hebat, lalu menutup sendiri dengan bunyi keras.
Riku Hayashida
“Hah… hah… kita masih hidup?!”
Tatsune Arakawa
“Iya. Untuk sekarang.”
Pak Hasegawa berlutut, wajahnya hancur penuh putus asa. Ia menatap murid-muridnya dengan mata berkaca-kaca.
Pak Hasegawa
“Kalian… berhasil melakukan sesuatu yang tidak bisa murid-murid saya lakukan tujuh puluh tahun yang lalu.”
Tatsune Arakawa
“tentu saja, karena Kami bukan mereka. Dan kami nggak bakal jadi mereka.”
Riku Hayashida
“…Tapi, Pak… kenapa dari awal Bapak biarin tragedi ini terus berulang?”
Pak Hasegawa
“…Karena saya pengecut. Saya lebih memilih jadi penjaga buku, daripada menghancurkan warisan perang itu.”
Hening. Hanya suara detak jam tua yang kembali terdengar. Seakan-akan waktu sudah kembali berjalan normal.
Riku Hayashida
“Tsune… kayaknya ini baru awal deh.”
Tatsune Arakawa
“Iya. Buku ini masih nyimpen banyak rahasia. Dan kalau kita nggak selesain… tragedi kayak gini bakal muncul lagi.”
Tatsune mengangkat buku itu. Beratnya kini terasa lain—bukan sekadar arsip, tapi medan perang yang menunggu untuk dibuka kembali.
Comments