“Daftar Kematian Kelas 3-B”
Bab 1 – “Nama yang Tak Pernah Ada”
Tatsune Arakawa
“Riku, lo masih di kelas?”
Riku Hayashida
“Iya, lagi beresin buku. Kenapa?”
Malam itu, gedung sekolah tampak lebih sunyi dari biasanya. Hanya ada derit jendela tua yang bergerak tertiup angin.
Tatsune Arakawa
.“Jangan keluar dulu. Gue mau nunjukin sesuatu.”
Riku Hayashida
“Halah, itu lagi? Kalau prank lagi, sumpah gue gampar lu.”
Tatsune Arakawa
“Bukan. Kali ini serius.”
Tatsune membuka loker paling ujung di lorong kelas 3-B. Loker itu berkarat, engselnya nyaris copot, tapi di dalamnya ada sebuah buku bersampul kain kusam. Warna merah gelapnya tampak seperti noda darah yang sudah mengering selama puluhan tahun.
Riku Hayashida
“Apaan tuh? Buku harian?”
Tatsune Arakawa
“ iya, tapi ini Lebih mirip arsip kelas. Tahunnya… 1944.”
Riku Hayashida
1944? Itu zaman perang, Tsune.”
Tatsune Arakawa
“Makanya itu, Riku gue nunjukin buku ini karena gue penasaran sama isinya.”
Riku Hayashida
"coba buka, gue juga penasaran."
Tatsune membuka halaman pertama. Nama-nama tertulis rapi dengan tinta hitam yang sudah pudar. Sebelah kanan tiap nama ada cap merah bertuliskan: Hilang dalam pertempuran.
Riku Hayashida
“Ngeri amat… Ini nama-nama murid sekolah kita?”
Tatsune Arakawa
“Iya. Tapi liat halaman terakhir.”
Di halaman terakhir, tinta masih lebih segar, seperti baru ditulis beberapa tahun yang lalu. Dan di sana, jelas tertera:
> “Tatsune Arakawa – Hilang dalam pertempuran.”
“Riku Hayashida – Hilang dalam pertempuran.”
Riku Hayashida
“Gila lo, siapa yang nulis nama kita di sini?!”
Tatsune Arakawa
“Itu yang gue pengen tau. Soalnya…”
Riku Hayashida
“Soalnya apa?”
Tatsune Arakawa
“Tulisan tangannya persis kayak guru sejarah kita, Pak Hasegawa.”
Hening. Hanya bunyi detik jam tua di dinding kelas yang terdengar.
Riku Hayashida
“Tsune… ini sekolah atau medan perang sih?”
Tatsune Arakawa
“Mungkin dua-duanya.”
Tiba-tiba, lampu lorong padam. Gelap total. Hanya cahaya rembulan yang masuk dari celah jendela.
Riku Hayashida
“Sial, mati lampu lagi. Gue benci hal kayak beginian.”
Tatsune Arakawa
“Jangan panik. Pegang buku ini erat-erat.”
Tatsune Arakawa
“Karena gue yakin… ini kunci buat ngebuka masa lalu sekolah ini.”
Dari arah ujung koridor, terdengar langkah kaki berat. Suaranya teratur, seperti barisan tentara. Padahal, tidak ada siapa pun yang seharusnya ada di sekolah malam-malam begini.
Riku Hayashida
“Lo denger itu?”
Tatsune Arakawa
“Iya… suara sepatu bot.”
Bayangan hitam mulai muncul di ujung lorong. Siluetnya memakai seragam militer lama, membawa senapan dengan bayonet terpasang. Matanya kosong, tapi sorotnya menusuk ke arah mereka.
Riku Hayashida
“Tsune… gue nggak siap lawan hantu bersenjata.”
Tatsune Arakawa
“tapi Kita nggak punya pilihan.”
Tatsune meraih besi patah dari kursi rusak di kelas. Riku menelan ludah, tubuhnya gemetar.
Riku Hayashida
“Lo mau lawan? Itu gila.”
Tatsune Arakawa
“Kalau kita diem, kita bakal jadi bagian daftar itu lebih cepat.”
Bayangan tentara itu mendekat. Suara hentakan kakinya bergema makin keras. Angin dingin berhembus, membawa aroma mesiu dan darah.
Riku Hayashida
“Tsune… kalau kita kalah gimana?”
Tatsune Arakawa
“Kalau kalah, minimal kita bakal tau kebenaran sejarah sekolah ini.”
Riku Hayashida
“…Lo bener-bener gila.”
Tatsune Arakawa
“Atau mungkin… udah terlambat buat kita jadi waras.”
Tentara hantu itu berhenti tepat lima langkah di depan mereka. Senapannya terangkat perlahan, bayonetnya berkilau tertimpa cahaya bulan. Tatsune menggenggam besi patahnya lebih erat.
Riku Hayashida
“Tsune… lu harus janji sama gue.”
Tatsune Arakawa
"janji apa?"
Riku Hayashida
“Kalau salah satu dari kita hilang… jangan pernah lupa nama gue.”
Detik berikutnya, suara letusan keras menggema di seluruh gedung. Masa lalu dan masa kini bertabrakan di lorong sekolah itu—dan awal tragedi pun dimulai.
Comments