“Daftar Kematian Kelas 3-B”
Bab 3 – Rahasia Guru Sejarah
Riku Hayashida
“Tsune… gue nggak kuat lagi. Mereka terlalu banyak.”
Tatsune Arakawa
“Jangan berhenti! Terus baca namanya!”
Riku membalik halaman dengan tangan gemetar. Setiap nama yang ia sebut membuat satu tentara hantu hilang jadi serpihan cahaya, tapi jumlah mereka terus saja bertambah.
Riku Hayashida
“Kita bakal habis di sini…”
Tatsune Arakawa
“tidak, kalau ada cara lain.”
Tiba-tiba, suara langkah baru terdengar dari ujung lorong. Bukan suara sepatu bot tentara, tapi sepatu kulit biasa. Dari balik bayangan, muncul sosok Pak Hasegawa—guru sejarah mereka.
Riku Hayashida
“P-Pak Hasegawa?! Apa yang Bapak lakuin di sini malam-malam begini?!”
Pak Hasegawa
“Kalian berdua… seharusnya tidak membuka buku itu.”
Tatsune Arakawa
“…Jadi bener. Itu tulisan tangan Bapak.”
Pak Hasegawa berjalan pelan, matanya menatap lurus ke buku yang ada di tangan Riku. Ada ketakutan sekaligus kesedihan di wajahnya.
Riku Hayashida
Pak… buku ini kenapa? Kenapa ada nama kita di daftar tahun 1944?!”
Pak Hasegawa
“Itu bukan sekadar catatan. Itu kontrak. Sekolah ini… adalah penghubung.”
Tatsune Arakawa
“Penghubung?”
Pak Hasegawa
“ya, penghubung Antara masa lalu… dan masa kini.”
tiba-tiba Tentara-tentara hantu berhenti bergerak. Seakan-akan menunggu instruksi. Mata mereka kosong menatap Pak Hasegawa, seperti mengenali komandan mereka.
Riku Hayashida
“…Mereka kok nggak nyerang. Apa mereka nurut sama bapak?”
Pak Hasegawa
“ya, Mereka adalah murid-murid saya… tahun 1944.”
Kata-kata itu menghantam seperti petir. Riku langsung merinding, sementara Tatsune menggertakkan gigi, mencoba menahan emosi.
Riku Hayashida
“Maksud Bapak… tentara ini dulunya murid sekolah kita?!”
Pak Hasegawa
“…Ya. Waktu perang, mereka direkrut paksa. Tapi… bukan cuma itu. Sekolah ini dijadikan tempat eksperimen.”
Tatsune Arakawa
“Eksperimen apa?”
Pak Hasegawa
“Mencetak tentara yang bisa melampaui batas waktu. dan Tentara yang bisa bertarung bahkan setelah mati.”
Riku terdiam. Tatsune menatap lurus pada gurunya, dingin dan penuh amarah.
Tatsune Arakawa
“Kalau begitu… kenapa nama kita ada di daftar buku itu?”
Pak Hasegawa
“…Karena kalian dua adalah penerus. Warisan percobaan itu tidak berhenti di 1944. Kalian yang berikutnya.”
Tatsune Arakawa
“…Tebakan gue bener. Kita bukan kebetulan ada di sini.”
Tentara hantu di lorong mulai berbaris rapi, seolah-olah menunggu perintah dari Pak Hasegawa. Riku mundur selangkah, panik, sementara Tatsune maju menghadapi gurunya.
Riku Hayashida
“Tsune! Lo mau ngapain?! Itu guru kita, woy!”
Tatsune Arakawa
“Guru? Dia yang ngecap kita jadi korban berikutnya.
kau sebut itu guru?"
Pak Hasegawa
“…Aku tidak punya pilihan lain. Masa lalu tidak pernah mau mati. Kalau bukan kalian, akan ada murid lain yang akan dipilih.”
Suasana menegang. Bayangan tentara menutup lorong dari kedua arah. Tidak ada jalan keluar.
Riku Hayashida
“Tsune… kalau gini caranya… kita bener-bener tamat.”
Tatsune Arakawa
“Belum tentu.”
Riku Hayashida
“Lo masih bisa mikir positif?!”
Tatsune Arakawa
“Bukan positif. tapi Realistis. Kalau mereka semua nurut sama dia…”
Riku Hayashida
“…Maka kita harus lawan guru kita sendiri?”
Pak Hasegawa menunduk, seakan-akan berjuang melawan perasaannya sendiri. Tangan kanannya gemetar, memegang kapur putih yang entah dari mana muncul. Ia menulis sesuatu di udara, dan setiap goresan kapur itu memunculkan huruf bercahaya.
Pak Hasegawa
“Nama adalah senjata… tapi juga kutukan. Jika kalian baca sampai akhir… kalian akan menggantikan mereka.”
Riku Hayashida
“Lo denger itu, Tsune?! Kalau kita baca terus, kita malah masuk daftar kematian juga!”
Tatsune Arakawa
“Jadi pilihannya cuma dua: mati sekarang atau mati nanti?”
Riku Hayashida
“…Gue benci sama pilihan kayak gini.”
tiba-tiba Lorong bergetar, kaca jendela pecah bersamaan. Tentara hantu mengangkat senjata, siap menyerbu kapan saja.
Pak Hasegawa
“Tatsune, Riku… masih ada cara. Kalau kalian bisa menghapus nama kalian sendiri dari buku itu… kalian bisa selamat.”
Riku Hayashida
“Caranya gimana?!”
Pak Hasegawa
“…Dengan darah kalian sendiri.”
Hening kembali menyelimuti lorong. Hanya degup jantung Riku yang terdengar jelas. Tatsune memandang tajam ke arah gurunya, wajahnya tanpa ekspresi.
Riku Hayashida
“Tsune… jangan bilang lo kepikiran buat nyoba?”
Tatsune Arakawa
“…Kalau itu satu-satunya cara keluar hidup-hidup… gue siap.”
Kata-kata itu mengguncang hati Riku. Tragedi yang terkubur sejak 1944 kini kembali menuntut korban baru.
Comments